Sabtu, 29 Agustus 2009

YESUS, PRIA PALING TAMPAN (Warta Klara 5 Juli 2009)

KITA BUTUH MEMAAFKAN
Oleh C. Rini Giri


Masa pensiun seharusnya dinikmati dalam kebahagiaan menimang cucu. Tapi seorang ibu justru jatuh sakit dan kesepian. Begitu berhenti kerja, sakit hatinya sangat terasa. Menyita seluruh waktu dan membuatnya digerogoti TBC kronis.
Semua bermula ketika putrinya mencintai pria beda agama. Beda pendapat membuat keduanya sering cekcok. Sang ibu ingin anaknya tetap dalam keyakian yang mereka anut. Sedangkan sang anak ingin dihormati pilihan hidupnya. Parahnya, sang putri akhirnya menikah diam-diam dengan tata cara di luar gereja.
Ibu ini sangat kecewa. Dia sudah mengandung, melahirkan, merawat, dan menyekolahkan hingga jadi sarjana. Tapi apa balasannya? Dia dikhianati. Hubungan mereka pun putus. Sang ibu tak sudi lagi melihat putrinya. Beberapa kali sang putri bertandang, ingin minta maaf, sekaligus memperkenalkan para cucu. Tapi pintu hati sudah terpatri rapat. Hati terlanjur hancur, sampai-sampai tak tersisa lagi untuk memaafkan.
Untunglah ibu itu punya sahabat dari lingkungan gereja yang mau mendengarnya, bahkan mau mengantar jika berobat. Ibu itu merasa iri, ”Anak-anakmu begitu mencintaimu. Sementara anak harapanku, malah pergi.” Sahabat itu menjawab dengan hati-hati,”Mungkin sudah saatnya kaumaafkan putrimu. Sebenarnya dia tidak meninggalkanmu, bukankah dia selalu ingin kembali? Mungkin bukan hanya dia yang butuh dimaafkan. Kaupun butuh memaafkannya.”
Memberi maaf jauh lebih sulit dijalani dibanding minta maaf. Minta maaf kalau tidak ditanggapi bisa langsung pergi dan bilang, “Yang penting aku udah minta maaf. Soal tidak dimaafkan, itu urusan dia!” Tapi orang yang dimintai maaf dan tidak memberi, rasa dendam dan bencinya akan merongrong terus seumur hidup.
Memaafkan butuh energi besar. Batin bergumul hebat. Enak sekali minta maaf, si peminta maaf itu kan tidak tahu bagaimana sakit dan kecewanya orang yang dirugikan. Yang butuh kan orang yang minta maaf, jadi biar saja dia memohon-mohon dulu. Kadang makan waktu bertahun-tahun untuk benar-benar memaafkan. Bahkan kadang sampai akhir hayatpun maaf tak diberikan. Memberi maaf bukan hanya sekedar kalimat,”Ya, saya maafkan. Jangan diulangi lagi ya.” Tapi merupakan kerelaan untuk menerima dan melupakan kesalahan orang lain. Untuk sampai pada tahap itu, kerendahan hati sangat berperan. Orang yang tulus memaafkan, akan mau tersenyum lagi pada yang dimaafkan. Sedangkan maaf semu akan menghindar dari si pelaku. Syukur-syukur nggak punya urusan lagi sama dia! Kapok deh!
Rasa gondok pada orang lain yang bersalah, lama-lama jadi tekanan batin. Jiwa yang sakit membuat tubuh jadi rapuh pula. Maka keikhlasan untuk memaafkan sangat dibutuhkan demi kesehatan jiwa dan raga. Memaafkan mampu menyembuhkan luka batin, walau orang yang bersalah tidak minta maaf. Apalagi jika minta maaf. Apakah hati akan dibiarkan makin luka dengan tidak memaafkan? Dengan mengampuni, dua batin tersembuhkan sekaligus.
“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Mat 5: 23-24) Memaafkan orang lain dibutuhkan untuk bisa hidup berkenan di hadirat Tuhan.
Kini si ibu tampak lebih sehat. Bahkan berseri-seri ketika menceritakan kebandelan cucunya. “Apa gunanya aku rajin misa dan berdoa Bapa Kami, tapi tidak mau memaafkan anakku sendiri.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar