Sabtu, 29 Agustus 2009

DUA ORANG PEREMPUAN (Warata Klara 14 juni 2009)

DUA ORANG PEREMPUAN
Oleh Caecilia Rini Giri


Suatu pagi aku kedatangan tamu. Dua orang perempuan. Senyum dan ucapan mereka seramah sahabat. Mereka bertanya, apakah aku seorang kristiani. Tentu, jawabku. Aku mengenal Yesus sejak kecil bahkan dibabtis ketika bayi. Merekapun mengeluarkan beberapa buku rohani untuk ditawarkan. Judulnya menarik, bersampul indah, dan dilengkapi gambar-gambar menawan. Mereka bilang aku boleh mendapatkannya dengan membayar secara sukarela. Siapa yang tidak tertarik dengan tawaran seperti itu? Tanpa pikir panjang akupun memilih buku tentang keluarga dan cerita Alkitab untuk anak-anak. Toko buku terdekat belum tentu menyediakan bahan bacaan semenarik itu. Setengah jam kami ngobrol di ruang tamu dengan keakraban yang terbina seperti air mengalir. Saat pulang, aku mengantar mereka sampai pintu gerbang dan mengucapkan banyak terimakasih. Seorang ibu rumah tangga yang jarang bepergian sepertiku, lantas diberi bacaan bagus dengan harga murah, bukankah suatu anugerah? Aku sudah menghemat biaya transportasi untuk mendapatkannya.
Seminggu kemudian, dua perempuan itu kembali mampir ke rumah. Masih dengan senyum dan perkataan ramah yang membuat kami cepat akrab. Seperti teman lama rasanya. Mereka mulai mengajakku berdiskusi tentang segala kebobrokan dan kerusakan dunia akhir-akhir ini. Menurut mereka, Tuhan tidak menyebabkan segala kehancuran di bumi ini. OK, aku sependapat. Tuhan telah memberikan kebebasan secara bertanggung jawab kepada manusia untuk mengelola bumi seisinya. Tentu saja jika kemudian bumi ini mengalirkan banjir, melongsorkan tanahnya, membakar kayu-kayu hutannya, mengerontangkan sumber-sumber airnya, dan tidak membuahkan hasil panen yang baik lagi, kita tidak bisa menyalahkan Tuhan. Itu adalah kesalahan manusia sendiri yang terlalu rakus dan tidak menjaga keseimbangan alam.
Mereka bertanya apakah Tuhan akan diam saja dengan semua itu? Aku bilang, tentu saja Tuhan kan bertindak. Bukankah Tuhan hanya menyelamatkan Nuh dan keluarga ketika air bah menenggelamkan segala orang fasik? Bukankah Tuhan murka melihat kekejian di Sodom dan Gomora? Bukankah Tuhan menceraiberaikan Israel dan membuang mereka ke Babel karena umat pilihan-Nya itu memilih untuk menyembah allah lain? Salah satu perempuan itu bilang, inilah akhir jaman itu, dimana bangsa bangkit melawan bangsa, gempa bumi dimana-mana, dan penyakit serta kelaparan merajalela. Tuhan akan membiarkan sistem buruk ini berlalu dan segera mengakhirinya, lantas menyediakan firdaus baru bagi mereka yang tetap dalam kebenaran. Satu-satunya cara supaya tetap dalam kebenaran adalah mengenal Bapa dan Yesus secara benar melalui Alkitab. Aku menjadi tertarik dan menjanjikan waktu khusus di pertemuan berikutnya.
“Apakah kita perlu mempercayai Tritunggal? Apakah benar Maria itu bunda Allah? Apakah diperbolehkan berdoa di depan patung? Apakah Yesus itu Allah sendiri yang menjelma menjadi manusia? Apakah perayaan Natal itu perlu karena berasal dari tradisi kafir? Apakah Roh manusia itu bersifat kekal setelah manusia mati? Jawabannya tidak, Mbak Rini. Tidak ada satupun ayat dalam alkitab yang menyebutkan hal-hal itu. Ajaran-ajaran yang mendukung hal di atas tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bukankah hukum kita adalah hukum Allah yang tertulis dengan jelas dalam Alkitab? Coba renungkan masalah ini.” Darahku mendidih mendengar perkataan tamu itu ketika kami bertemu untuk ketiga kalinya. Mukaku pucat dan aku terdiam dengan kerongkongan mengering. “Kalau Mbak Rini belum bisa menerima, mari kita cari ayat dalam Alkitab yang bisa menjelaskan itu semua. Tolong tunjukkan jika memang ada ayat yang mendukung.” Terus terang aku jadi kebingungan untuk menentang atau memberi penjelasan tentang perbedaan pandangan antara apa yang aku percayai dengan apa yang telah mereka paparkan. Selama ini aku jarang membaca Alkitab. Firman Tuhan hanya aku dengarkan ketika mengikuti misa di gereja. Itupun hanya sayup-sayup sampai. Bagaimana aku akan menunjukkan bukti-bukti bahwa doktrin yang mereka sampaikan itu keliru kalau aku saja tidak bisa membuktikan kebenaran dari doktrin yang aku percayai? Sementara mereka hafat isi Alkitab di luar kepala. Aku gelagapan dan hanya menjawab seadanya.
“Saya bahagia dengan apa yang telah saya pelajari dan percayai.” Ujarku. Sungguh tidak bijaksana jika aku emosi. Padahal ingin kukatakan, segera pergilah dan kebaskanlah debu di luar sana agar tidak tertinggal di rumahku!
“Percaya saja tidak cukup, Mbak. Kita harus mengkajinya, harus mengujinya, apakah yang kita percayai itu benar-benar sesuai dengan kehendak Allah.”
“Saya menerima Allah Bapa dan Putra dan Roh Kudus dengan iman. Jadi biarlah tersisa misteri di dalamnya, namun saya sungguh percaya. Kalau saya berusaha membuktikannya, itu bukan lagi iman, tapi sudah menjadi ilmu pengetahuan.”
“Tapi Allah tidak menghendaki kita menjadi bodoh, Mbak.”
“Mungkin saya kelihatan bodoh di mata anda berdua, tapi pasti tidak di hadapan Tuhan, karena saya menerima Dia seperti seorang anak kecil menerima bapaknya. Tanpa banyak bertanya. Percaya saja. Bukankah Nuh tidak banyak tanya ketika disuruh membuat bahtera? Yesaya dan Yeremia juga tidak banyak tanya ketika diutus kepada bangsa Israel untuk bernubuat. Para rasul juga menjalankan begitu saja perintah Yesus ketika diutus pergi berdua-dua tanpa protes. Bukankah Musa yang banyak tanya dan sering meragukan Allah justru tidak diijinkah masuk ke Kanaan? Yunus yang menyangsikan perintah Allah untuk menyerukan pertobatan bagi warga Niniwe justru tenggelam, tertelan ikan, dan sampai di kota itu dengan perasaan menyesal?” Itu benteng terakhirku sebelum keduanya pulang dengan wajah tetap tersenyum. Padahal jantungku begitu meletup-letup menahan marah.
Tapi ada untungnya juga kedatangan kedua perempuan itu. Aku jadi tertarik untuk membaca Alkitab lebih teliti lagi. Bukti-bukti yang diminta kedua perempuan itu bisa kutemukan di sana. Mereka hanya beda menafsirkan. Tapi kita tidak boleh menafsirkan semau hati bukan? Aku tetap berpegang pada apa yang sudah diajarkan padaku dan kupercayai.
Ketika kedua tamu itu datang lagi, dengan sopan kukatakan,” Maaf, saya tidak bisa menerima anda lagi. Anggur lama harus disimpan di kirbat yang lama. Anggur baru harus disimpan di kirbat baru. Sebab jika anggur baru dituang ke kirbat lama, kulit kirbat itu akan robek. Anggur lama yang disimpan di kirbat baru malah tidak akan terjaga mutunya. Kita saling menghormati saja.” Keduanya tidak pernah datang lagi. Biarlah aku tetap seperti anak kecil dalam menerima-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar