Sabtu, 29 Agustus 2009

BERKAH DALAM PERBEDAAN (Warta Klara 16 Agustus 2009)

BERKAH DALAM PERBEDAAN
Oleh C. Rini Giri


Sejak ada latihan menari di rumah, teman anak saya bertambah. Sebelumnya dia hanya bermain dengan anak-anak tertentu. Kini, anak dari gang lain mau mampir ke rumah. Anak saya juga sering pamit bermain ke gang lain. Berkat latihan bersama menyongsong HUT RI ke-64 itu, sekat antar warga terbuka. Bukan hanya diantara anak-anak, tapi juga di kalangan orangtua.
Warga yang dulu diam saja jika berpapasan, sekarang mulai menyapa. Yang dulu belum kenal, sekarang mulai mengobrol. Kulit putih, kuning langsat, sawo matang, dan hitam manis berkumpul untuk rapat. Rambut lurus, berombak, keriting, panjang, pendek dan cepak bersama membentuk panitia. Orang Sunda, Jawa, Batak, Flores, Ambon, Makasar, Padang, dan Palembang berperan dalam iuran. Tak ada perbedaan. Semua satu tujuan untuk menyukseskan acara HUT RI ke-64 di lingkungan.
“Ibu pinjam sarung siapa ya? Kita butuh lima untuk lomba.” Ujar saya. Kebetulan saya termasuk panitia. “Besok aku pinjem dari teman-temanku yang ngaji deh!” Jawab anak saya spontan. Lomba makan kerupuk, makan bakwan, pindah bendera, lari sarung, lompat kodok, dan goyang bola telah mengikis segala perbedaan dan menyatukannya dalam tawa ria.
Karena hanya ada waktu 2 minggu untuk latihan, saya merancang tarian yang mudah dihapal. Yang penting lagunya ngetop. Tak Gendong Kemana-Mana-nya Mbah Surip. Jadilah sebuah tarian kocak. “Kita harus saling menggendong untuk pentas malam 17 Agustus nanti ya.” Ujar saya. Mereka semua tertawa hahahaha. Maksud saya, saling membantu, menyemangati, dan mengingatkan antar teman sehingga timnya kompak. Ternyata dalam 5 hari saja, mereka sudah hapal gerakannya.
“Seragam tarinya apa, Bu?” Tanya seorang anak. Yang penting tidak merepotkan orang tua dengan membeli baju baru. Saya memberi beberapa pilihan. Ternyata disepakati T-Shirt, rok pendek, dan leging. “Aku gak punya leging!” Keluh anak saya. “Pinjam punyaku aja. Aku punya banyak di rumah.” Usul salah satu temannya. Puji Tuhan. Anak itu punya banyak leging karena sehari-hari dia memakai kerudung.
Pesta kemerdekaan Indonesia, bukan sekedar makan-makan, bikin panggung, pasang umbul-umbul, goyang sampai pagi, dan aneka lomba lucu-lucuan. Pesta kemerdekaan adalah saat bagi semua kalangan untuk berbaur di lingkungan masing-masing. Pesta dimana keanekaragaman bisa menyatu tanpa sekat dan saling bekerjasama untuk kebahagiaan bersama. Perbedaan suku, agama, golongan, strata sosial, tingkat pendidikan, dan pandangan yang diagungkan selama ini, hancur mati kutu hanya oleh lomba lari sarung. Seorang ibu lulusan S2 pun berlari bersama dalam satu sarung dengan ibu rumah tangga lulusan SMEA.
Yesus bersabda :”Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya daripada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?” (Mat 5: 46-47) Kita diutus untuk mengasihi sesama tanpa pandang bulu.
Sebagai orang Katolik, perhelatan besar bangsa ini adalah kesempatan baik untuk mewartakan Kasih Yesus dalam keterlibatan positif. Sebab pohon dikenal dari buahnya. Mari membuka hati pada perbedaan. Ternyata berbeda itu membawa berkah. Bisa saling mengisi dan melengkapi. Jika rela membuka hati, ternyata orang lainpun menyambut. Nyatanya anak saya kian banyak teman. Seorang ibu di ujung gang yang selama ini tak saya kenal, kini tersenyum ramah setiap bertemu. Persatuan bangsa ada di tangan kita bersama. Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar