Sabtu, 29 Agustus 2009

Domba Itu Tidak Sesat (Warta Klara 28 Juni 2009)

Dua tahun silam, saat berkunjung ke Santa Klara, Bapak Uskup Julius Darmaatmaja SJ pernah menghimbau agar para ketua lingkungan memperkecil lubang jalinan jala-nya dalam merangkul umat. Sehingga ikan-ikan kecil pun tertangkap. Dalam kunjungan tahun ini, kembali lagi Bapak Uskup menghimbau supaya para pengurus lingkungan rajin mencari domba yang hilang. Ikan-ikan besar sudah pasti terjaring walau lubang jalinan jala besar. Domba-domba yang tetap berada dalam kawanan sudah pasti aman. Sehingga ikan besar dan domba taat ini tak perlu dikejar-kejar lagi, karena mereka sudah setia dengan sadar dan ikhlas untuk tinggal di perahu atau kandang. Ikan-ikan kecil dan domba hilang inilah yang harus dirangkul supaya mau kembali dan bersatu dengan kawanannya di habitat yang telah disediakan. Wah, saya jadi tersentuh dengan himbauan yang sebenarnya tajam tapi memakai gaya bahasa perumpamaan yang santun itu. Malu malah! Masalahnya saya juga pernah jadi ikan teri yang sulit masuk jaring. Atau domba hilang yang ogah kembali. Kenapa begitu?
Dulu, waktu baru masuk menjadi warga paroki ini, anak-anak saya masih kecil. Bahkan yang bungsu masih bayi. Suami saya juga bekerja dari pagi sampai malam, bahkan kadang tugas ke luar kota. Wah, pokoknya keluarga kami repot banget. Ketemu tetangga saja jarang, apalagi ketemu saudara seiman dalam satu lingkungan. Para pengurus lingkungan sudah berusaha maksimal untuk menjaring kami. Jala-nya dijalin kecil-kecil supaya keluarga ikan teri kami terperangkap masuk. Jika ada kegiatan, undangan selalu diantar, Ibu Ketua lingkungan kadang menelpon, saudara selingkungan yang terdekat sering mengingatkan, bahkan kalau ketemu di mana aja selalu ada yang menyapa dan bertanya kenapa jarang kelihatan. Wah, anak saya ulangan, anak saya agak panas, anak saya agak rewel, nanti kalau diajak doa bakalan ribut, suami saya belum pulang, suami saya masih di luar kota. Bahkan saat diajak menengok orang sakit pun, anak-anak dan suami selalu jadi alasan saya. Ini nggak mengada-ada lho. Bener.
Mengacu pada himbauan Bapak Uskup, saya jadi kasihan pada para Ketua Lingkungan berikut para pengurusnya yang sudah bekerja keras memperkecil jalinan jala dan menebarkannya sampai ke pelosok danau, bahkan sampai ke tempat yang tersembunyi. Mereka juga sudah berusaha mencari domba yang belum kembali sampai ke penjuru ladang, bahkan sampai diantara semak belukar. Kerja mereka sudah maksimal. Jadi bukan salah mereka jika akhirnya kegiatan di lingkungan hanya dihadiri orang yang itu-itu juga. Tapi sebenarnya ikan teri seperti saya waktu itu, atau domba bandel seperti saya kala itu, yang jadi pangkal persoalan. Saya sadar sepenuhnya, bila saya masuk ke dalam jaring dan tinggal dalam perahu atau masuk kandang bersama domba lain, akan ada konsekuensi yang mengikuti. Misalnya : ikut dalam kegiatan lingkungan seperti doa, arisan, koor, sekolah minggu, rumah dipakai untuk doa, dan siap bantu ini itu. Belum lagi ada iuran dan kegiatan sosial. Tentulah butuh kerelaan untuk meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana. Kalau dana, mungkin masih bisa. Tapi waktu, tenaga, pikiran belum bisa saya bagikan karena tersedot habis untuk mengurus keluarga. Beberapa teman mengajak arisan wilayah, ikut koor WP, KEP, dan jadi lektor. Aduh, mungkin nanti kalau anak-anak sudah SMP jadi bisa saya tinggal, jawabku. Untuk lingkungan saja belum bisa, apalagi untuk wilayah atau paroki. Boro-boro!
Oh, Bapa Uskup yang budiman. Mungkin para gembala awam di lingkungan, wilayah, dan paroki seantero Santa Klara sudah bekerja keras untuk menjaring dan menemukan domba kecil seperti saya. Tapi memang saya sendirilah yang belum mau terjaring dan masuk kawanan. Saya masih ingin bebas. Belum mau terikat dengan aturan main dan konsekuensi di dalam perahu atau kandang yang akan melindungi saya. Para nelayan-Nya dan gembalan-Nya sudah berusaha, tapi saya yang sengaja sembunyi. Belum tepat saatnya.
Hingga suatu saat, anak sulung saya sudah masuk SD. Di sekolah dia ditanya guru agamanya, ikut sekolah minggu atau tidak? Dia merengek minta ikut sekolah minggu. Kalau minta baju atau sepatu baru mungkin saya bisa membuat alasan untuk menunda. Tapi dia minta lebih dekat dengan Yesus dan saudara seimannya. Apa saya mau menolaknya juga? Bukankah dalam sakramen perkawinan saya sudah berjanji untuk mendidik anak-anak saya sesuai ajaran kristiani? Akhirnya, adiknya yang masih bayipun saya bawa ke sekolah minggu. Dan di sanalah perubahan mulai terjadi. Anak saya mendapat banyak teman seiman. Ibu-ibu yang mengantar anak-anak mereka juga begitu baik dan perhatian pada saya. Padahal selama ini saya terus cari alasan untuk menghindar dari keterlibatan saya dengan mereka. Mungkin para nelayan dan gembala-Nya sudah lelah mencari saya. Tapi Dia sendiri, GEMBALA YANG SEJATI, menggiring dan membawa saya masuk ke dalam kawanan domba-Nya melalui perantaraan anak saya sendiri. Sejak saat itu saya berniat untuk mengabdikan diri bagi sekolah minggu di lingkungan saya. Anak-anakpun tidak pernah mengeluh diajak dalam kegiatan lingkungan. Melalui kegiatan kecil itulah, tangan besar-Nya telah membimbing saya untuk pulang ke kandang-Nya yang aman dan damai. Saya sudah tidak memikirkan lagi konsekuensi dan aturan main di dalam kawanan. Kalau tenaga, waktu, pikiran, dan dana yang saya punya hanya saya serahkan demi kemuliaan nama-Nya, tak ada yang terasa berat. Dia sudah begitu baik pada saya, jadi bukankah sayapun harus baik kepada-Nya? Sungguh. LORD is my SHEPERD, and I want to follow, where ever He leads me where ever He goes. Climbing the mountain and down to valley….selarik lagu itu selalu menyemangati saya untuk terus berada di dalam kawanan.
Bapak dan Ibu pengurus lingkungan, maafkan ikan teri dan domba kecil yang bandel ini ya. Mohon dimaklumi. Waktu itu mungkin timing-nya belum tepat. Sorry, udah bikin repot. Kami sangat menghargai dan mengacungkan jempol atas kerja keras Bapak dan Ibu sekalian. Bapa di sorga yang akan membalasnya.Yesus, terimakasih Kaukembalikan aku ke dalam kawanan domba-Mu. Domba kecilmu ini tidak tersesat kok, dia hanya bersembunyi saja. Bapak, Ibu, dan saudara terkasih, jangan pernah sembunyi seperti saya ya. Setiap orang pasti punya alasan khusus dan unik kenapa belum bisa aktif di lingkungan masing-masing. Saya maklum itu karena telah mengalami sendiri. Berada dalam perahu-Nya atau tinggal di dalam kandang-Nya jauh lebih enak kok dibanding sembunyi. Bener lho. Karena pertumbuhan iman kita butuh pupuk dan air mineral dari saudara seiman kita. Menurut saya, aktif itu bukan berarti selalu hadir dalam setiap kegiatan. Tapi menjaga hubungan baik dengan anggota komunitas, ambil bagian semampu kita, dan melakukan semua itu dengan hati gembira. Jangan ragu untuk terlibat. Salam damai dalam kasih Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar