Kamis, 04 November 2010

Surat dari Sr Benedicte CB untukku, keluargaku dan SURAT CINTA BUAT GEMBALA

Yogyakarta, 29 Oktober 2010

Rini dan Mas Giri yang baik,

Banyak terimakasih atas SURAT CINTA buat GEMBALA.
Maafkan aku, bahwa baru sekarang menulis padamu. Keterbatasan
“melihat/membaca” membuatku mampu membaca 1 tulisan setiap hari.
Setelah membaca lebih dari separuh buku ini, ternyata ada
3 TULISANMU.
ROMO MANGUN KAU CINTAKU
ROMO PERTAMA DALAM KENANGAN
MENERIMA IMAM APA ADANYA

Ketiga tulisanmu, bukan saja bafus, tetapi juga “DALAM”,
Rin, kamu memang dianugerahi Tuhan dengan banyak talenta.
Aku juga yakin, bahwa anak-anak kalian dianugerahi Tuhan de-
ngan banyak talenta, yang diterima mereka leawt kamu dan lewat
Mas Giri.

Lebih-lebih sewaktu membaca ROMO PERTAMA DALAM KENANGAN, ter-
bayang dan teringat Rini. Kini aku semakin mengenal Rini.
Teringat juga Mas Giri yang dengan setia, jujur, sabar dan sopan
Menunggumu di parkitran setiap kali mau menjemputmu. Teringat
Juga, waktu aku mendapat kesempatan hadir dalam perayaan Eka-
risti dan dalam penerimaan Sakramen Pernikahan kalian di Bo-
yolali. Benar, letak Gereja dan rumah kalian tinggi sekali.
Rini dan Mas Giri, aku senang, keluarga kalian adalah keluarga
yang bahagia. Semoga keluarga kalian boleh menjadi saluran
berkat Tuhan untuk lingkungan dimana kalian tinggal.

Didiklah anak-anak dengan baik. Semoga mereka tumbuh dan berkem-
bang seperti bapak=ibunya.

Banyak salam untuk kalian sekeluarga dan
berkat Tuhan,


(tanda tangan Sr. Benedicte, CB)

Selasa, 02 November 2010

Naskah Drama Natal (Kisah Kelahiran Yesus)

NASKAH DRAMA NATAL
ANTONIUS TIGA 2008
Oleh Rini Giri
Yang akan dieksekusi oleh Tim Pembina BIA Antonius 3 Santa Klara Bekasi


ADEGAN I
Narator 1 :
Inilah kisah kelahiran Yesus Kristus menurut Injil. (Maria naik ke panggung dan duduk berlutut di tengah, tangannya mengatup)
Kala itu bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Orang-orang Yahudi percaya bahwa Allah akan memberikan seorang penolong yang disebut Mesias. Mesias inilah yang nantinya akan membebaskan mereka dari penjajahan. Tapi, tidak banyak yang tahu bahwa Mesias itu akan lahir dari seorang gadis sederhana bernama Maria.

(Malaikat Gabriel naik panggung, mengitari Maria sekali, lalu berdiri di samping maria seolah bicara padanya)

Narator 2 :
Pada bulan yang keenam, Maria dikunjungi oleh seorang malaikat bernama Gabriel. Kata Gabriel, “Salam untukmu, Maria.” Maria sangat terkejut dan takut. “Jangan takut, Maria,” kata Gabriel. “Ketahuilah, Allah telah memilihmu. Engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki. Hendaklah engkau menamai dia Yesus. Dialah yang akan menjadi Mesias.”

Narator 1 :
Maria bingung karena ia belum menikah. Bagaimana mungkin orang yang belum menikah akan melahirkan anak? Tetapi Maria sangat percaya kepada Allah. Maka ia menjawab,”Kalau Allah menghendakinya, aku bersedia.” Setelah itu malaikat Gabriel pun pergi. (Gabriel pergi)

Pemimpin lagu :
Marilah kita nyanyikan lagu Dengarkanlah Maria Puji Syukur 632

Dengarkanlah Maria, terima salamku
Dengan pujian syukur serta nyanyianku
Terpilihlah engkau
Terpanggilah engkau
Menjadi bunda Yesus, Sang juru slamatku (maria turun panggung)


ADEGAN II
Narator 2 : (Yusuf naik panggung dengan cara jalan yang santun, berdiri di tengah)
Di kota Nazaret ada seorang tukang kayu bernama Yusuf. Ia berasal dari keturunan Raja Daud. Yusuf seorang laki-laki yang jujur, baik, dan tulus hatinya. Ia mencintai Maria dan Mariapun mencintainya. Namun, pada suatu ketika Yusuf mengetahui bahwa Maria mengandung. Yusuf menjadi ragu-ragu dan bimbang. (Yusuf lalu tidur)

Narator 1 : (Gabriel datang mengelilingi Yusuf sekali lalu berdiri di samping Yusuf seolah bicara padanya)
Pada suatu malam, ketika sedang tidur, Yusuf bermimpi didatangi seorang malaikat. Dalam mimpi itu sang malaikat berkata,”Yusuf, janganlah kamu ragu-ragu dan bimbang. Ambilah Maria sebagai istrimu. Ia sedang mengandung atas kehendak Allah. Ia akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Berilah dia nama Yesus. Ia akan menyelamatkan manusia dari dosa.” (Malaikat pergi)

Narator 2 :
Setelah itu, Yusuf tidak ragu-ragu lagi. Ia segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah melalui malaikat-Nya itu.

Pemimpin lagu :
Marilah kita nyanyikan lagu Santo Yusuf Yang Menjaga Puji Syukur 644

Santo Yusuf yang menjaga keluarga Nazaret
Kau menjaga bunda kudus, juga Yesus penebus (Yusuf turun panggung)
Sudilah doakan kami pada Yesus, anakmu
Dan lindungilah selalu kami sekeluarga


ADEGAN III
Narator 1 : (Yusuf dan maria naik panggung berjalan keliling 2 kali)
Pada suatu hari, Yusuf membawa Maria pergi ke Betlehem. Sebab Kaisar Agustus penguasa kerajaan Romawi mengadakan sensus penduduk. Ia memerintahkan orang Yahudi mendaftarkan diri di kota asal masing-masing. Yusuf berasal dari Betlehem, maka ia harus kembali ke kota itu bersama istrinya.

Narator 2 : (Yusuf dan maria duduk berlutut, di tengah panggung ada palungan dan bayi Yesus)
Sesampai di Betlehem, Maria akan melahirkan. Yusuf segera mencari tempat untuk menginap. Sayang sekali, tidak ada tempat penginapan bagi Yusuf dan Maria. Untunglah ada seseorang yang menawarkan tempat pada mereka. Namun, tempat itu bukan sebuah kamar melainkan sebuah kandang ternak.

Narator 1 : (maria mengambil bayi Yesus dan menggendongnya)
Malam itu, terdengar jeritan tangis seorang bayi. Maria telah melahirkan. Betapa gembiranya Yusuf dan Maria menyambut anak mereka. Yusufpun memberi bayi itu sebuah nama yang bagus, yaitu Yesus. Ya, Yesus telah lahir. Tubuhnya yang mungil dibalut kain lampin dan diletakkan di palungan supaya tetap hangat. Malam itu adalah malam kebahagiaan.

Pemimpin lagu:
Marilah kita nyanyikan lagu Malam Kudus Puji Syukur 452

Malam kudus, sunyi senyap
Dunia terlelap
Hanya dua berjaga terus
Ayah bunda mesra dan kudus (Yusuf dan Maria turun)
Anak tidur tenang
Anak tidur tenang


ADEGAN IV
Narator 2 : (Para gembala naik panggung berjalan keliling satu kali lalu duduk) Di tengah kegelapan malam ada sekelompok gembala di padag. Mereka menjaga kawanan domba agar tidak dicuri orang. (Gabriel naik bersama bala tentara surga) Ketika malam kian larut, seorang malaikat berdiri di tengah-tengah mereka. Para gembala itupun ketakutan. Kata malaikat itu,”Jangan takut, hai gembala! Ada berita gembira. Sang penyelamat dunia telah lahir malam ini. Carilah dan temui Dia yang terbungkus kain lampin dalam sebuah palungan.”

Narator 1 :
Setelah itu tampaklah sepasukan malaikat menyanyikan puji-pujian bagi Allah,”Kemuliaan bagi Allah di surga, Damai bagi orang yang berkenan kepada-Nya.” Nyanyian mereka terdengar sangat indah dan merdu. Para gembala takjub. Mereka berlutut dan memuji Allah. Lalu mereka segera berangkat menuju Betlehem.

Pemimpin lagu:
Marilah kita nyanyikan lagu Hai Dengarkan kau Gembala Puji Syukur 454


Hai dengarkan kau gembala, kabar indah bagimu
Datanglah menuju gua dan menghadap Tuhanmu (Gembala dan Gabriel turun)
Damai, damai, damailah senantiasa
Bagi umat pilihan


ADEGAN V
Narator 2 : (Keluarga Kudus naik ke tengah panggung berlutut, gembala datang mengelilingi satu kali lalu duduk bersimpuh dekat keluarga kudus memberi hormat)
Sampailah para gembala di kandang yang berbentuk gua. Di sana mereka melihat bayi mungil sedang tidur lelap di palungan. Itu adalah bayi Yesus. Di samping-Nya ada kedua orang tuanya. Para gembala itu segera berdoa dan mengucap syukur kepada Allah.

Narator 1: (gabriel membawa bintang besar diikuti bala tentara surga naik panggung, kelilingi keluarga kudus dan gembala sekali lalu berdiri di belakang keluarga kudus)
Pada waktu Yesus lahir, ada sebuah bintang yang bersinar terang. Cahaya bintang itu sampai ke Persia yang letaknya jauh di sebelah timur Betlehem. (Tiga majus naik ke panggung mengelilingi yang ada di panggung sekali lalu berlutut menyembah bayi Yesus di sebelah kanan keluarga kudus dan menyampaikan persembahan) Tiga orang sarjana yang pandai dan bijaksana melihat bintang itu. Mereka adalah orang-orang majus. Pergilah mereka mengikuti arah bintang itu sebab mereka percaya bahwa bintang itu merupakan tanda kelahiran seorang raja.

Narator 2 :
Setelah menemui Raja Herodes yang berkuasa atas bangsa Israel di Yesrusalem, mereka pergi ke Betlehem mengikuti arah bintang itu. Waktu itu Herodes ingin sekali membunuh bayi Yesus. Dia takut Yesus akan menjadi raja bangsa Yahudi yang dapat meruntuhkan kekuasaannya. Tapi Allah selalu melindungi bayi Yesus sehingga luput dari niat jahat Herodes.

Narator 1 :
Di Betlehem, ketiga orang majus itu bertemu bayi Yesus. Sambil berlutut, mereka mempersembahkan hadiah untuk bayi Yesus. Orang pertama memberikan emas yang indah. Yang kedua memberikan wewangian. Dan yang ketiga memberikan dupa yang harum. Mereka sangat bahagia karena bias berjumpa dengan bayi Yesus.

Pemimpin lagu :
Marilah kita menyanyikan lagu Gita Surga Bergema Puji Syukur 457

Gita Surga bergema, Lahir Raja mulia
Damai dan sejahtera, Turun dalam dunia
Bangsa-bangsa bangkitlah
Permaklumkan segera
Kabar baik cemerlang
Lahir Kristus sang terang
Gita Surga bergema
Lahir Raja mulia

Narator 2 :
Demikianlah Kisah Kelahiran Yesus Kristus yang telah dipersembahkan anak-anak Antonius Tiga. Semoga damai dan terang natal selalu bersama kita semua. Terimakasih. (Semua pemain berdiri, hormat pada penonton)

Catatan :
1. Disusun oleh Rini Giri dan dilatihkan oleh Tim Sekolah Minggu Antonius 3
bersumber dari Alkitab Untuk Anak-anak terbitan kanisius.
2. Akan dimainkan anak-anak BIA Antonius 3 pada perayaan natal lingkungan 9
Januari 2010.
3. Penyanyi dalam paduan suara adalah umat
4. Pemain : narator 2 orang, pemimpin lagu 1 orang, Maria, Yusuf, malaikat
Gabriel, bala tentara surga 5-10 anak, gembala 4 anak, orang majus 3 anak
5. Boleh dipakai untuk naskah pementasan drama di lingkungan manapun. Boleh
digunakan untuk tujuan pewartaan.

Salam damai dalam kasih Tuhan

Rini Giri dan Tim Pembiana BIA Antonius 3 Santa Klara Bekasi Utara

Kamis, 14 Oktober 2010

RESENSI BUKU SURAT CINTA BUAT GEMBALA di Majalah HIDUP 3 Okt 2010

Category: Books
Genre: Religion & Spirituality
Author: POLAR
Menjadi imam berarti siap menjadi publik figur. Figur yang segala tutur kata dan polah tingkahnya menjadi perhatian umat yang digembalakannya. Menjadi imam juga harus siap mendapat pujian, tapi juga harus siap menerima kritikan, celaan, bahkan caci maki dari para dombanya. Jika imam membuat prestasi, ia akan disanjung. Tapi,bila imam dekat dengan seorang perempuan, gosip-gosip miring pun mengikutinya. Kadang kata-kata dan perbuatan seorang imam membuat sejuk di hati. Namun tak jarang, kata-kata dan perbuatan seorang imam justru membuat marah domba-dombanya. Ini sangat manusiawi, karena imam juga manusia.

Buku Surat Cinta Buat Gembala ini mengungkapkan beragam pengalaman penulis dengan imamnya. Tak hanya pengalaman dalam pelayanan pastoral, tapi juga pengalaman jatuh cinta pada sosok imam. Ada bangga, suka, kagum, cinta, marah, dan jengkel saat berelasi dengan imam. Ini pengalaman nyata dan sangat manusiawi. Aneka kisah itu pun diungkapkan dengan beragam cara, disajikan dengan berbagai rasa, dan menjelma dalam tulisan-tulisan di buku ini.

Buku bersampul kotak surat ini memuat 22 pengalaman berelasi dengan sosok imam. Buku ini ditulis oleh POLAR yang merupakan singkatan dari nama-nama penulisnya. Lantaran ditulis oleh beberapa orang, buku ini menyajikan beragam gaya tulisan sesuai dengan karakter penulisnya. Buku ini juga memuat dua lagu dan doa dari domba untuk para gembala.

Uskup Bandung Mgr Johannes Pujasumarta Pr, memberikan kata pengantar buku ini
"... para imam telah dikuduskan bagi Allah, namun tetap manusia juga dengan segala kelemahan dan kekurangannya," tulis Mgr Pujasumarta. Menurutnya, buku ini dapat menjadi bahan permenungan mengenai Kristus yang diimani, dihayati, dan Gereja yang dicintai. "Surat cinta ini kita tulis untuk memncintai para imam, gembala-gembala yang diberikan oleh Allah kepada umat-Nya. Surat cinta ini juga membuka hati kita untuk berdoa bagi para imam," lanjut Mgr Pujasumarta.

Kisah gembala dan domba memang tak pernah habis. Tentu masih banyak kisah dan pengalaman yang belum dituliis. Tapi, buku ini telah mengundang kita untuk selalu mendoakan para gembala agar tetap setia pada jalan panggilannya.


Resensi buku "Surat Cinta buat Gembala" yang ditulis Y. Prayogo ini dapat dijumpai di Majalah HIDUP edisi terbaru
yang terbit pada tanggal 3 Oktober 2010.

Tags: gembala, polar
Prev: Surat Cinta Buat Gembala (R1)

Rabu, 15 September 2010

APAKAH YESUS GEMBALA YANG LEBAI?

YESUS GEMBALA YANG LEBAI?
Oleh ini Giri

Apa tidak berlebihan jika satu domba kecil saja hilang, lantas sang gembala akan meninggalkan sembilanpuluh sembilan lainnya untuk mencari yang satu dan tak berguna itu? Sungguh kurang kerjaan si gembala ini.
Bukankah seharusnya dia tak perlu menempuh bahaya naik turun bukit dan jurang hanya untuk menemukan seekor domba yang lemah? Kalau dia domba yang kuat, sehat dan lincah, pastilah tidak akan tertinggal oleh kawanannya sampai-sampai tersesat.
Domba yang tersesat pastilah domba yang bandel dan kurang mau mendengar baik aba-aba dari sang gembala maupun embikan domba-domba lainnya. Pasti dia sangat nakal dan badung, sampai-sampai dia nekat menjauh terlalu lama dari kawanan sampai-sampai tidak tahu kalau kawanannya sudah lama berlalu dari tempat semula mereka berkumpul. Sungguh keterlaluan domba semacam itu! Buat apa dicari? Apa untungnya?
Bukankah sebaiknya sang gembala tetap saja tinggal di kandang menunggui domba-domba lain yang jauh lebih loyal padanya? Domba-domba ini toh kelak juga akan beranak pinak dan jumlahnya bisa lebih banyak lagi dari semula. Sehingga domba kecil yang hilang itu sudah tak ada artinya lagi! Lupakan saja! Dia pantas dilupakan karena ulahnya sendiri.
Tapi nyatanya si gembala lebih memilih mengambil resiko untuk meninggalkan kawanan untuk menemukan kembali domba yang hilang itu. Dia tahu konsekuensi bakal dipecat dari pekerjaannya karena telah lalai meninggalkan sejumlah besar domba yang mahal harganya itu.
Dia tahu bakalan kena marah majikan karena telah membahayakan kumpulan domba yang siap dipanen bulu, susu, daging, dan kulitnya itu. Bukankah pencuri bisa saja masuk ke kandang dan melarikan domba-domba itu ketika tanpa ada penjagaan? Bener-bener sudah nggak nalar si gembala ini. Dia bisa kehilangan mata pencaharian dan nafkahnya hanya demi mencari seekor domba kecil yang nggak jelas!
Tapi rupanya si gembala sudah punya perhitungan tersendiri. Sembilan puluh sembilan domba yang ditinggalkannya di kandang itu adalah domba-domba pilihan yang setia. Mereka tahu membedakan mana suara gembala dan mana suara orang lain, sehingga tak mungkin domba-domba itu menurut saja ketika akan digiring pencuri. Gembala juga sudah memastikan bahwa pintu kandang terkunci rapat ketika dia pergi. Hanya melalui dia sajalah domba-domba itu bisa keluar masuk. Jadi, menurut perhitungannya kondisi kandang seratus persen aman.
Maka diapun akan menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencari si domba yang tersesat. Naik turun bukit dan lembah pun akan dia lakukan asalkan dombanya bisa ditemukan kembali. Semua celah bukit diperiksa, semua lekuk jurang diintai, semua lobang goa digeledah, dan semua semak belukar disibakkan. Demi si domba kecil. Dengan sekuat tenaga dia berteriak memanggil si domba karena dia berharap domba itu masih mengenali suaranya.
Ketika didengarnya suara embikan lemah seekor domba, diapun buru-buru berlari menuju sumber suara. Mengangkat domba kecil itu, mengelusnya dengan kasih, dan dengan sukacita memanggulnya untuk dibawa pulang. Betapa girang hati sang gembala. Ternyata dombanya bisa ditemukan dalam keadaan selamat. Coba kalau dia terlambat, bukankah harimau dan serigala selalu siap memangsanya?
Terkadang ajaran Yesus tentang domba yang hilang ini memang tampak berlebihan. Tapi memang itulah yang dikehendaki-Nya. Untuk apa terus mengelus-elus orang-orang yang sehat jasmani dan rohani serta sudah memiliki kematangan iman? Bukankah yang butuh obat itu orang sakit bukan orang sehat? Mereka yang terlupakan dan jauh dari persekutan lah yang Dia ingin kita dekati dan ajak untuk kembali pada-Nya.
Apriori selalu terselip di hati, domba hilang itu kan tersesat karena ulahnya sendiri, karena kemalasannya sendiri, karena kelakuannya sendiri. Jadi ya harus tanggung resiko sendiri. Tapi rupanya Yesus tidak menginginkah hal seperti itu menjangkiti pengikut-Nya. Dia justru ingin umat-Nya mau merendahkan hati untuk menggandeng mereka yang selama ini menjauh dari komunitas kudus karena berbagai alasan. Yesus tak ingin umat-Nya selalu diselipi apriori dan sikap menghakimi orang lain. Yesus ingin umat-Nya menjadi gembala yang baik, yang mau mengorbankan kepentingan dirinya demi menemukan kembali saudaranya yang hilang. Sebab Dia bersabda bahwa seluruh isi surga akan bersukacita ketika satu saja umat-Nya di dunia ini mau bertobat.
Sudahkah aku mau merangkul saudaraku yang menjauh? Sudahkah aku bersedia menggandeng kembali saudaraku yang tersisihkan? Sudahkah aku mau menerima kembali saudaraku yang meminta maaf dan ingin bertobat? Sungguh, ajaran Yesus terdengar amat lebai dan sangat berat untuk diterapkan. Ajaran-Nya memang berat, namun hanya dengan merendahkan hati kita sedikit saja, maka ajaran itu akan terasa ringan untuk dilakoni. Dan dunia pun menjadi indah bersama-Nya. Amin.

Ditulis dalam sebuah permenungan pribadi,
Dikembangkan dari kotbah Romo Justinus OFM Cap.
Pada Minggu sore 18.00, 15 September 2010

Salam dan doa, Rini Giri

Minggu, 05 September 2010

MASIH JADI SINGLE FIGHTER? (pernah ada di Warta Klara)

MASIH JADI SINGLE FIGHTER?Oleh Rini Giri/ Antonius 3Sudah membaca SANDAL JEPIT GEREJA karya Anang YB, yang pernah dibuatkan resensi oleh saudara Panjikristo dan dimuat di Warta Klara beberapa minggu lalu? Saya sudah. Sangat terasa, saya menemukan teman seperjalanan setelah membacanya. Kebetulan suami saya juga ketua lingkungan. Seorang Anang YB yang masih sangat muda, siap melabeli diri sebagai sandal jepit kala menjabat sebagai ketua lingkungan di Paroki Arnoldus Bekasi..Menjadi ketua, dimanapun, bukankah harus menjadi yang paling siap untuk diinjak, agar yang lain tetap bisa berjalan. Begitu kira-kira pelajaran yang saya petik dari buku yang sangat laris itu. Tepat seperti ajaran Yesus. Yang terbesar adalah yang melayani. “Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang mampu membesarkan orang-orang yang dipimpinnya!” Tulis Anang YB di akhir buku. Jadi bukan yang malah jadi besar sendirian diantara yang dipimpinnya ya?Ini mengingatkan saya pada dua peristiwa. Sejak dulu saya memang paling senang jadi seksi acara dalam suatu pagelaran atau perayaan. Meskipun baru di lingkup sekolah saat perpisahan, kampus saat malam inagurasi, RT saat HUT RI, dan lingkungan saat natalan. Peristiwa pertama, saat saya dipercaya menjadi koordinator seksi acara natalan di lingkungan. Saya menganggap anggota seksi hanya berfungsi membantu saja, maka susunan acara, materi acara, berikut pengisinya saya tentukan semua sendirian. Yang lain hanya saya mintai tolong untuk menyiapkan properti. Itupun saya yang merancang dan yang lain tinggal melaksanakan.Semua berjalan baik, meriah, dan semua orang tampak senang. “Siapa yang menyiapkan tari anak-anak dan dramanya?” Saya dengar seorang ibu bicara pada salah satu anggota seksi acara. “Bu Giri.” Jawab anggota seksi acara itu. Serta merta sang ibu mendekati saya dan mengucapkan selamat serta pujian. Wah, bangga luar biasa. Saya jadi terkenal. Namun sesampai di rumah, saya merasakan kekosongan luar biasa. Semua pujian dilontarkan pada saya, padahal sebenarnya tanpa bantuan ibu-ibu anggota seksi acara, anak-anak yang turut pentas, orangtua anak-anak yang pentas, dan hadirin yang apresiatif, acara itu tak akan berjalan.“Kamu over acting! Kamu sombong sekali! Kamu lupa pada dukungan ibu-ibu yang lain! Kamu jadi gede rasa atas segala pujian itu! Tanpa mereka kamu nol sama sekali!” Nurani saya terus-menerus menuduh dan membuat hati gelisah. Saya jadi kapok dipuji dan jadi pusat perhatian. Saya disanjung tapi merasa gagal!Peristiwa kedua, kala menjadi koordinator seksi acara dalam HUT RI tingkat RT. Saya berusaha memperbaiki diri di sini. Anggota seksi acara yang lain saya libatkan dalam menentukan susunan, materi, dan pengisi acara. Masing-masing punya tanggungjawab untuk melatih anak-anak. Saya mengkoordinir anak-anak, Bu A melatih baca puisi, Bu B melatih tari, Bu C melatih fashion show, dst. Pokoknya bagi-bagi tugas. Acara lancar dan meriah. Semua yang hadir juga tampak senang. Dengan sangat bangga saya katakan pada ibu-ibu yang menanyakan siapa yang melatih tari, “Oh, Bu B yang melatih.” Merekapun berbondong-bondong menyalami Bu B. Entahlah, saya tidak cemburu meskipun tak ada yang memuji saya. Saya malah merasa sangat lega, lengkap, dan penuh. Ini kerja tim dan kebanggaan yang diperoleh adalah milik bersama. Lebih berbobot dan berisi.Sungguh, ternyata sebagai seorang pemimpin, sekecil apapun kelompok yang dipimpin, lebih baik untuk memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya daripada menjadi single fighter. Bekerja sendiri berarti belum bisa menjalin komunikasi dan kepercayaan pada yang dipimpin. Bisa bekerjasama dan membesarkan orang lain berarti orang-orang yang dipimpin benar-benar menaruh respek, kepercayaan, dan kepatuhan pada orang yang memimpinnya.Saya bisa dan berani menuliskan ini bukan karena saya sudah mahir soal kepemimpinan lho. Saya malah baru belajar. Justru ketika saya mengalami sebagai pemimpin kecil dan mendapatkan sentuhan dari buku Anang YB. Buku ini benar-benar inspiratif untuk dijadikan bahan referensi bagi para ketua lingkungan, calon ketua lingkungan, dan semua umat agar tidak keder untuk jadi ketua lingkungan. Tuhan memberkati.

Rabu, 01 September 2010

Anak-Anak pun Senang Mengenal Dia

ANAK-ANAK PUN SENANG MENGENAL DIA
Oleh Rini Giri


Malam itu Pastur akan mengunjungi umat. Anak-anak disuruh duduk bersila di depan altar. Katanya, agar lebih banyak mendapat berkat Tuhan. Orang-orang dewasa duduk di belakang. Rita kecil berdebar-debar hatinya. Itu adalah kesempatan pertamanya melihat Pastur dari jarak dekat. Ibunya selalu mengajak duduk di teras gereja jika misa, karena takut membuat kegaduhan kecil yang bisa mengganggu konsentrasi umat lain.
“Duduk yang manis ya, Anak-anak. Sebentar lagi Pastur datang. Selama misa, anak-anak harus tenang ya. Jangan ngobrol sendiri. Sebab saat berdoa, kita sedang bicara pada Tuhan. Jadi harus sungguh-sungguh.” Nasihat Bapak Ketua Lingkungan. Dengan masih sedikit bersuara, anak-anak mengangguk.
Tubuh Rita mungil, sehingga dia beberapa kali berdiri dan menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Pastur sudah datang atau belum. Di belakangnya, duduk sederet anak lelaki bertubuh bongsor. Dia penasaran dengan warna kasula Pastur yang berubah-ubah itu. Hari ini Pastur pakai warna putih, merah, atau hijau ya?
“Rita, duduk! Nanti Pastur marah!” Hardik ibunya dari belakang. Rita mendengus kesal lantas duduk kembali. Ah, nyatanya Pastur itu tidak pemarah kok. Buktinya begitu datang, anak-anak disalami satu-persatu dengan senyum ramah.
Ketika Pastur sedang berkotbah, Rita tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Pastur. Dia lebih tertarik untuk membahas warna jubah pastur dengan Andin yang duduk di sebelahnya. Pastur di sekolahnya memakai jubah putih tapi kenapa yang datang ini pakai jubah coklat? Lagi-lagi ibunya menghardik,” Rita! Diam! Nanti Tuhan marah! Tidak diberkati kamu nanti!” Hardikan ini membuat Rita terdiam. Lantas melirik gambar Yesus yang terpasang di dinding. Tangan kanan Yesus yang sedikit terangkat seolah menegurnya agar tidak berisik. Sejak saat itu, Rita tidak mau lagi duduk di depan dalam kegiatan lingkungan. Dia takut Tuhan marah dan tidak mau memberkatinya lagi. Lebih baik dia duduk di belakang, sehingga jika berisik, Tuhan tidak mendengar.
Setelah beranjak dewasa dan mengenal Kitab Suci, barulah Rita mendapat jawaban pasti. Tuhan itu Maha Baik. Dia menjadikan bumi seisinya dalam keadaan prima hanya untuk diberikan gratis pada manusia. Apa ada kerelaan cuma-cuma sebesar itu kalau bukan dari Tuhan? Diapun selalu memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat jika melakukan kesalahan. Meskipun bangsa Israel berkali-kali berpaling pada allah lain, namun dengan sabar Tuhan membimbing mereka sampai ke tanah terjanji. Bahkan dikirim-Nya nabi-nabi untuk memperingatkan mereka. Dan yang paling hebat lagi, Dia mengutus Putra-Nya Yang Tunggal untuk menderita sengsara demi penebusan dosa manusia. Ada cinta yang rela mengorbankan nyawanya demi sahabatnya, tapi apakah ada cinta lain yang rela mengorbankan nyawanya hanya untuk manusia yang pendosa dan tidak setia? Sungguh Tuhan itu baik, tidak menakutkan seperti yang selama ini dikenalnya.
“Sudah, Bu. Jangan dimarahi, nanti dia malah tidak mau ikut sekolah minggu lagi.” Tutur Rita pada seorang ibu yang menegur keras anaknya karena sedari tadi tidak mau duduk seperti teman yang lain. Gadis itu segera mengambil gambar Yesus yang sedang memberi makan limaribu orang dan memberikan pada anak itu supaya diwarnai. Tak apalah hari ini anak itu tidak mengikuti dinamika kelompok, yang penting dia tetap senang berada di tempat Bina Iman Anak itu.
Sungguh, Rita tidak ingin anak-anak mendapatkan gambaran yang menakutkan tentang Tuhan. Apalagi kalau hanya dipakai orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar menurut. Tuhan itu baik, sampai kapanpun sifat itu tidak akan berubah, dan Rita merasa punya hutang untuk mewartakan kabar gembira itu kepada anak-anak. Masa kecilnya dihantui gambaran Tuhan yang akan marah jika dia berisik dalam misa, tidak mau memberikan berkat jika dia ngobrol selama rosario, atau memotong lidah-tangan-kaki jika dia bicara buruk atau berbuat kenakalan. Dia tidak ingin anak-anak ketakutan seperti dirinya.
Rasa takut itu telah membuat imannya tidak bisa berkembang dengan baik. Dia melakukan segala kegiatan doa hanya karena takut. Bukan karena cinta-Nya pada Tuhan yang telah lebih dahulu mencintai dirinya. Bukankah hamba dengan satu talenta itu hanya menanam talentanya dalam tanah karena punya rasa takut luar biasa pada tuannya? Dia takut talentanya akan hilang dan akhirnya mendapat hukuman dari tuannya. Seandainya dia punya relasi yang baik dengan tuannya, pastilah dia akan lebih berani dan terbuka untuk melipatgandakan talentanya itu.
“Bang, Kitab Suci Untuk Anak-anak yang diceritakan kembali oleh Anne de Graaf itu harganya berapa ya?” Tanya Rita pada kakaknya yang menjadi staff marketing sebuah toko buku besar. Kakaknya hanya tersenyum. Mungkin perlu waktu dua bulan untuk menyisihkan uang jajan guna mendapatkan buku itu.
Menurut Rita, anak-anak juga harus mengenal kebaikan Tuhan secara benar sedari kecil. Satu-satunya cara adalah mendengarkan Sabda Tuhan supaya lebih mengenal Yesus. Sebab Yesus bersabda, barangsiapa mengenal Aku maka dia menganal Bapa yang mengutus Aku. Mereka akan kesulitan jika harus membaca Alkitab atau mendengar kotbah pastur di gereja. Satu-satunya sarana adalah cerita-cerita Kitab Suci dengan bahasa dan visualisasi yang mudah dimengerti anak-anak.
“Nih, bukunya.” Ujar kakaknya sambil menyerahkan sebuah buku tebal bersampul biru kelabu dengan gambar Yesus sedang memberkati anak-anak.
“Aku harus bayar berapa, Bang?” tanya Rita. Betapa gembira hati Rita menerima buku impiannya itu.
“Udah, nggak usah. Aku senang kok. Cuma itu yang bisa kuberikan. Aku salut pada orang-orang muda sepertimu yang peduli pada perkembangan iman anak-anak.” Rita tersipu.
Dalam pertemuan BIA, Rita menunjukkan buku baru itu pada anak-anak. Mereka sangat antusias ketika gadis itu mulai membuka halaman pertama dan mengisahkan Allah Menciptakan Semuanya Baik.
“Lihatlah gambar pohon-pohon, rumput, bunga, binatang di darat, ikan di laut, burung di udara, dan air jernih ini. Semua diciptakan untuk kita. Betapa baik Tuhan pada kita. Kitapun harus merawat dan memelihara ciptaan Tuhan ini sebagai tanda syukur kita.”
Rita berjanji akan menceritakan halaman berikutnya dalam pertemuan mendatang. Halaman demi halaman, hingga yang terakhir Dunia Baru Milik Allah. Dia bersyukur, dengan membacakan Sabda Tuhan berarti dia lebih mendengar-Nya. Mengajar mereka, berarti juga mengajar diri-sendiri. Dengan mengajarkan kebaikan Allah, kebaikan-Nya itu semakin nyata. Anak-anakpun senang mengenal Dia.

Minggu, 29 Agustus 2010

MENGENAL KITAB SUCI SEJAK DINI (pernah ada di Warta Klara)

MENCINTAI SABDA-NYA SEJAK KECIL
Oleh Rini Giri


Ayah dan Ibu saya dulu bukan Katolik. Suatu berkah istimewa jika akhirnya mereka menikah di Gereja Katolik. Tapi, kekatolikan yang diturunkan pada saya sangat minim. Bahkan saya baru mulai sering mendengar sabda Tuhan setelah SMA dan kuliah, dari para pembimbing retret. Dan setelah dewasa, barulah saya tergerak untuk lebih banyak belajar. Seperti rusa di padang tandus yang rindu akan air.
Mengenal dan mencintai sabda-Nya sangat penting. Sebab sabda Tuhan adalah kebenaran dan hidup. Pegangan kita. Maka saya sebagai seorang ibu, tidak ingin anak-anak saya memiliki nasib serupa dengan saya. Menjadi Katolik sejak lahir bahkan dibabtis ketika umur baru beberapa bulan, namun malang, hanya sedikit sabda Tuhan yang sampai ke telinga saya.
“Ibu, tadi di sekolah, Bu Guru Agama nanyain : Nabi Musa waktu bayi dibuang ke sungai mana? Nggak ada satupun temanku yang tau! Lalu aku bilang : Sungai Nil. Bu Guru nanya : kok kamu tau? Lalu aku bilang : kan Ibu saya udah ceritain ke saya.” Tutur anakku saat kelas 1 SD. Puji Tuhan. Saya memang menceritakan tokoh-tokoh Alkitab sebelum mereka tidur.
Ketika anak saya batita, di bawah tiga tahun, saya hanya memperlihatkan gambar-gambar sambil menceritakan sedikit intinya dengan kata-kata sendiri. Lalu mereka jadi mengenal tokoh hanya dengan melihat gambar. Kalau melihat orang dengan kapal besar dan banyak binatang, mereka jadi tahu,”Itu Nabi Nuh!”
Ketia anak saya balita, saat TK, saya mulai memperkenalkan tokoh dan peristiwa. Masih menggunakan gambar namun disertai narasi singkat dengan kata-kata yang mudah dipahami anak. Mereka mulai tahu, gambar malaikat dan gadis itu adalah Malaikat Gabriel dan Maria. Maria menerima kabar gembira dari Allah yang disampaikan Malaikat Gabriel. Dia akan mengandung dan melahirkan Yesus.
Ketika anak saya mulai masuk SD, sayapun mulai bertanya, “Dari tokoh Alkitab itu, apa yang bisa kita contoh, atau apa yang tidak boleh kita tiru?” Alkitab menguak kebenaran dan tidak menutupi kesalahan. Sangat jujur dan berimbang. Misalnya tentang Kain dan Habel. Yang layak ditiru adalah ketulusan Habel dalam memberikan persembahan pada Tuhan. Yang tidak boleh ditiru adalah sifat iri Kain pada adiknya.
Ketika anak saya mulai lancar membaca dan bisa paham apa yang dibaca, diapun membaca buku Alkitab untuk anak-anak. Kadang dia dengan bangga mengatakan,”Bu, aku udah sampai di Zakeus!” Lalu kamipun menggosipkan Zakeus. Misalnya, “Kok Zakeus mau ya memberikan hartanya buat orang miskin?” Anak sayapun nyeletuk,”Kan udah tobat.” O, iya, ya. Lalu lagu Zakeus Orang Pendek pun kami dendangkan. Lagu ini memudahkannya untuk mengenang peristiwa Zakeus.
Ketika anak saya makin besar, diapun mulai berkenalan dengan Alkitab yang diterjemahkan langsung dari aslinya. Alkitab dengan tanda panduan untuk tiap kitab adalah pilihan saya. Sehingga mudah mencari posisi suatu kitab. Anak sayapun mulai belajar cara membuka Alkitab. Misalnya mencari Injil Matius 5: 13-16. “Cari tanda MAT, buka, setelah itu temukan angka besar 5, baru kemudian angka kecil 13 sampaidengan 16.” Setelah ketemu, saya akan bertanya,”Apa judulnya?” Diapun menjawab,”Garam dunia dan terang dunia.” Hebat! Puji saya.
Lomba baca Alkitab BIA dan BIR, yang diadakan di Kapel Asri tanggal 6 dan 13 September 2009, oleh ibu-ibu WP, dalam rangka HUT Klara ke-11, juga bisa menambah rasa cinta anak-anak pada Sabda Tuhan. Merekapun punya pengalaman tampil di depan umat. Apalagi setelah selesai, ada tambahan dari Dewan Juri (Pak Ernest Maryanto) tentang tips menjadi lektor yang baik. Anak saya jadi ketagihan. “Adain lomba baca Alkitab di lingkungan dong, Bu.” Puji Tuhan.

Jumat, 27 Agustus 2010

O, SANTA KLARA YANG PERKASA (pernah ada di Warta Klara)

O SANTA KLARA YANG PERKASA
Oleh Rini Giri


Nama putri ketiga kami KLARA. Nama itu pemberian kakaknya. “Kalau adikku lahir perempuan, kita beri dia nama Klara ya, Bu.” Begitu pintanya.”Kenapa Klara?” tanya saya. “Soalnya di gereja ada lagunya dan lagunya bagus.” Ujar sang kakak. Saya sungguh salut kepada Bapak Ernest Maryanto yang pada tahun 2000 telah menciptakan lagu Himne Santa Klara yang indah itu. Santa Klara sungguh mulia namamu. Hanya Tuhan kauluhurkan di sepanjang hayatmu…
Saya juga sangat suka pada nama itu. Menurut Romo Alex dalam sebuah homili, nama itu berarti bersih, cemerlang, jelas, terang dan cerah. Nama yang indah. Saya pun bersyukur telah memberikan nama itu pada anak saya. Sebab, beberapa tahun terakhir ini, di sekitar kediaman kami….nama itu mendapat cercaan dan penolakan, sehubungan dengan perijinan pembangunan gereja yang sedang diusahakan. Tapi dua bulan terakhir sejak kelahiran putri kami, hampir semua orang di gang tempat kami tinggal mengucapkan nama itu ketika berpapasan dengan saya dan putri kecil kami…”Klara! Klara! Klara!” Oh, seandainya saja setiap orang juga mau membuka pintu hati dan rasa toleransinya kepada gereja kita seperti menerima kehadiran bayi mungil kami di tengah-tengah mereka.
“Klara? Kok Klara?” Tanya neneknya. Sebab menurutnya, dalam Bahasa Jawa, Klara itu artinya keloro-loro atau terlunta-lunta. “Klara itu nama seorang santa yang luar biasa, Bu. Dia itu perempuan yang sangat perkasa.” Jawab saya. Memang, gereja kita saat ini sedang keloro-loro, menjalani suatu perjalanan yang menyakitkan seperti yang dialami Santa Klara sendiri ketika memilih untuk keluar dari istana ayahnya dan pergi kepada Pastur Fransiskus di gereja tepi hutan Kota Azizi. Di sana dia harus mengenakan jubah kasar dan bermati raga. Namun ketika dia dengan rela melakoni itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk mengabdi pada Tuhan, dia diberikan suatu rahmat menjadikan doa sebagai suatu kekuatan.
Santa Klara adalah sosok yang pemberani dan perkasa. Keberanian dan keperkasaannya itu tidak didasarkannya pada kemampuannya sendiri, namun semua beralaskan kekuatan Tuhan. Melalui kekuatan doa lah dia dengan gagah perkasa bangkit mengangkat sibori, yang didalamnya bersemayam Sakramen Mahakudus, untuk menghadapi tentara Kaisar Frederick II yang akan menyerang biaranya. Pasukan pimpinan Jenderal Vitale de Aversa yang akan menggempur Kota Azizi pun dihadapinya dengan menghimpun para suster untuk bersujud dan berdoa. Keberanian Santa Klara ditunjukkan dengan mengambil suatu sikap untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Mengajak para suster untuk berhimpun dalam doa menandakan bahwa keberaniannya sungguh dilandasi kecintaan dan kepercayaannya kepada ajaran Yesus sendiri.”Barangsiapa dua orang atau lebih berdoa dalam nama Yesus, maka Yesus akan sungguh hadir di tengah mereka.” Dan nyatanya demikian lah yang terjadi.
Sungguh sebuah anugerah ketika gereja kita menjadikan Santa Klara sebagai santa pelindung, sebab umatnya, termasuk saya, diperkenalkan kepada spiritualitas Santa Klara yang selalu hidup dalam kesederhanaan dan pengabdian penuh pada Tuhan. Juga keberanian untuk hidup tidak enak, termasuk ketika mendapatkan penolakan bertubi-tubi saat mengajukan perijinan pembangunan gereja. Namun, jika kita tekun berusaha dan mengandalkan Tuhan sebagai kekuatan, saya percaya suatu saat nanti wajah Gereja Santa Klara dalam wujud fisik dapat terwujud.
Berakit-rakit ke hulu itu memang tidak mudah, karena kita harus mendayung sekuat tenaga untuk melawan arus. Berenang-renang ketepian pun rasanya masih jauh untuk dicapai. Namun sikap optimis, semangat merasa memiliki dan mencintai gereja kita, keberanian untuk keloro-loro seperti yang dijalani Santa Klara, dan semangat persatuan di antara umat, harus selalu kita miliki agar mimpi berwujud menjadi nyata. Suatu hari nanti. Sebab gereja sebagai kesatuan umat Allah tetap jauh lebih penting artinya dibanding gereja secara fisik.
Sebagai seorang umat yang tak pernah pergi ke gereja paroki lain karena gedungnya yang sudah mapan, tapi tetap memilih ke paroki sendiri karena rasa memiliki dan dimiliki, saya hanya bisa mempersembahkan tulisan ini sebagai ucapan SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-12 Paroki Santa Klara tercinta.
Semoga sebagai umat yang hanyalah domba kecil, saya bisa semakin mencintai paroki ini sesuai kesanggupan dan talenta saya. Semoga saya semakin rukun dalam menjalin silaturahmi dengan umat lain di paroki ini, semoga saya semakin tergerak untuk terlibat dalam kegiatan di lingkungan dan wilayah, semoga saya semakin giat mendukung usaha-usaha yang dilakukan panitia pembangunan termasuk dalam hal pengumpulan dana di lingkungan-lingkungan, semoga saya tak lupa untuk selalu menyisipkan doa untuk usaha pembangunan, dan semoga saya di dalam masyarakat selalu menunjukkan Kasih Kristus pada sesama sehingga Santa Klara dihormati dan pada akhirnya diterima di tengah-tengah kehidupan yang sebenarnya plural namun mengenal mayoritas dan minoritas ini.
Semoga permohonan kita dalam doa Novena Santa Klara yang kita doakan baik sendiri-sendiri di rumah maupun berkelompok dalam lingkungan pada tanggal 2 – 10 Agustus 2010 ini dikabulkan Tuhan. Sehingga impian dan kerinduan kita bersama selama 12 tahun ini dapat terwujud dan kita semakin meneladani hidup suci santa yang perkasa ini. O Santa Klara yang perkasa, doakanlah kami. Amin.

Rabu, 14 Juli 2010

UNTUKMU PARA GEMBALA (pernah ada di Warta Klara)

UNTUKMU PARA GEMBALA
Oleh Rini Giri


Dalam pesta penerimaan komuni pertama di paroki Santa Klara, Minggu, 6 Juni 2010, Romo Yustinus OFM, Cap. bertanya kepada 106 tunas gereja yang tengah menanti-nantikan tubuh dan darah Kristus dengan amat rindu untuk pertama kalinya. “Di antara sekian anak laki-laki, siapa yang ingin menjadi pastor? Ayo tunjuk jari!” Tak ada seorangpun yang tunjuk jari. Umat tertawa kecil dan Romo Yus pun tersenyum. “Kok nggak ada yang mau jadi pastor? Kenapa? Jadi pastor itu susah ya?” komentar Romo Yus dalam canda.
Saat Romo Alex dirawat di RS Elisabeth karena kena DBD, beberapa anak sekolah minggu kami ajak untuk menjenguk. Saat itu ada seorang suster biarawati yang kebetulan bertugas pula di rumah sakit itu. “Siapa yang mau jadi pastor atau suster? Nah, kamu yang senyum-senyum itu, pasti mau kan?” Tanya Romo sambil menunjuk seorang anak perempuan yang berdiri di samping ranjang rumah sakit bersama ayahnya. Anak kecil itu tersenyum malu merasa tersanjung, tapi ayahnya malah geleng-geleng. “Loh kenapa, Pak? Jadi romo atau suster itu susah ya, Pak?” Sang bapak hanya mengangguk mengiyakan.
Sepulang dari pesta penerimaan komuni pertama itu, anak saya langsung mengapresiasi pertanyaan Romo Yustinus seperti ini,”Misalkan aku laki-laki, aku juga nggak mau jadi romo.” Sayapun bertanya,”Loh kenapa? Bukannya jadi romo itu enak? Tinggal di pastoran yang bagus, disediakan mobil, fasilitasnya komplit?” Diapun segera menjawab,”Kan itu semua bukan punya dia sendiri, Bu. Lagipula apa enaknya mimpin misa tiap hari? Capek deh!” Dia memang pernah melihat jadwal kunjungan pastoral dimana tiap hari romo mempersembahkan misa di lingkungan-lingkungan.
Bahkan ketika saya menulis status di facebook, bahwa ketiga anak saya perempuan semua dan saya berdoa semoga ada yang jadi biarawati, salah seorang teman langsung kasih komentar,”Wah, jaman sekarang kalau mau jadi biarawati kayaknya tantangannya berat banget. Udah deh, doain aja anak-anakmu jadi orang-orang yang berguna. Itu sudah lebih dari cukup.”
Wah, di mata kami yang merupakan kaum awam ini, profesi sebagai biarawan atau biarawati ternyata kurang populer dan tampak begitu berat bila dijalani. Bahkan anak-anak pun jarang yang punya cita-cita jadi imam. Mungkin orangtuanya kurang restu atau kurang memperkenalkan profesi ini. Sebab di mata kami, ada anak yang jadi imam berarti keluarga itu harus siap kehilangan anak.
Lantas apa ya yang bisa kami lakukan untuk mendukung para gembala? Di sekolah minggu, saya selalu mempromosikan profesi ini kepada anak-anak. Lewat cerita dan lewat pujian. Jika ada anak yang mau suka rela memimpin doa, saya katakan,”Kamu memang pintar. Pasti kelak jadi pastor!” Tapi celakanya anak itu malah menjawab,”Saya nggak mau jadi pastor!” Loh? Lha mau jadi apa? “Mau jadi anggota legislatip!” Waduh! Rupanya anak-anak lebih banyak mengidolakan profesi-profesi yang bisa mendatangkan banyak penghasilan.
Kitapun tentunya memiliki talenta masing-masing yang unik. Ada baiknya talenta itu kita gunakan untuk berkarya di ladang Tuhan. Bukankah itu juga cara untuk mendukung para gembala dalam mewartakan Kerajaan Allah? Ada yang aktif dengan menjadi pengurus lingkungan, wilayah, dan paroki. Ada yang aktif dalam koor, prodiakon, lektor, komentator, dan putra-putri altar. Ada yang aktif dalam kelompok-kelompok kategorial. Semua tetap dalam satu Roh meski beda kemampuan. Termasuk mewarta lewat tulisan seperti ini. Semula saya tertarik untuk menulis di Warta Klara karena terinspirasi tulisan-tulisan Mbah Jito. Tulisanpun bisa bicara tentang iman dan mensharingkan pengalaman iman. Bukankah itu cara untuk mendukung para gembala dalam mewarta?
Sayapun termasuk orang yang beruntung sebab pernah berkesempatan memasak untuk makan siang dan malam para romo di paroki kita, meski hanya beberapa kali dan masakannya pun ala kadarnya. Maklum saya ini anak udik pegunungan yang hanya tahu bikin kluban (sayuran rebus) dan memasak tahu-tempe. Tapi saya yakin para romo menikmati buah tangan saya dengan suka-cita. Jadi, jika ibu-ibu mendapatkan kesempatan seperti saya, pakailah kesempatan itu sebagai cara untuk mendukung para gembala kita. Jangan pernah merasa direpotkan ya, Bu. Tapi kalau repot betulan ya jangan memaksakan diri. Lakukan dengan sukacita.
Untuk bapak-ibu di rumah, ceritakalah kisah-kisah orang kudus pada putra-putri kita. Sebagian besar dari mereka adalah para imam dan biarawati yang memberikan teladan iman begitu baik dan suci. Semoga lewat cerita-cerita itu, mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang selalu rindu untuk melayani Tuhan dan sesama. Syukur-syukur ada yang tertarik untuk jadi imam.
Seorang teman pernah menulis di blog-nya,”Siapakah yang paling butuh untuk kita doakan? Jawabannya adalah: para imam.” Marilah, kita senantiasa menyisipkan sepenggal doa untuk para gembala kita agar mereka selalu setia dalam panggilan dan menjadikan panggilannya sebagai perpanjangan tongkat penggembalaan Yesus di dunia ini. Dan selalu berdoa, semoga benih-benih panggilan tidak pernah kering di dunia ini. Sebab sampai kapanpun kita tetap butuh para imam untuk mempersatukan kita dengan kehadiran Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen kudus.
Dan bagaimana jika dukungan itu diwujudkan dalam sebuah buku berisi surat-surat cinta untuk para gembala? Sepertinya buku berisi kisah-kisah nyata seputar hubungan umat dengan imamnya itu akan segera terbit. Berisi kritikan, saran, dukungan, masukan, doa, lagu, dan kenangan bagi para gembala dari domba-domba yang digembalakannya. Mari kita terus dukung para gembala kita! Tuhan memberkati.

Selasa, 29 Juni 2010

ASRAMA MEMBUATKU GILA!! (ada di www.YukNulis.com)

Tanggal 23 September 1994, asrama resmi jadi rumahku. “Jangan lupa ember, gayung, piring, gelas, sendok-garpu, speri, sarung bantal, dan gembok.” Kata Suster Kepala ketika aku mendaftar seminggu sebelumnya. Wah, aku datang seperti orang pindah rumah. “Sil, antar adikmu ini ke kamarnya. Kasih tahu barang-barang apa aja yang jadi haknya!” Kakak angkatan yang dipanggil suster langsung menghampiriku dan membantu membawa barang-barangku.
“Namaku Silvi. Kamu pasti Rini ya. Kami sudah menunggu kedatanganmu. Aku pikir akan datang pagi. Ternyata baru sampai sore-sore begini.” Aku tersenyum. Hangat rasanya mendapat sambutan seperti itu. Setiap melewati warga lain di lorong-lorong, mereka selalu tersenyum. “Adik gua ni, baru datang.” Begitu Silvi memperkenalkanku. “Oya, kebetulan tadi aku ambil makan siang untukmu. Kamu pasti capek dan belum makan. Makan dulu aja ya, baru bebenah.” Ujarnya lagi. Oh, alangkah nikmatnya punya kakak angkatan seperti dia. Seramah dan seperhatian itu meskipun sama sekali belum pernah jumpa denganku.
Aku tinggal di sebuah unit yang terdiri dari dua kamar tidur dengan empat ranjang susun, dua kamar belajar dengan delapan meja kayu, dua ruang ganti dengan delapan almari kecil, dan sebuah teras dengan empat kursi santai dan bak cuci piring. “Kita di sini ada delapan orang, Rin. Yang seangkatan denganmu ada tiga orang. Tapi mereka belum datang. Mungkin besok” Kamipun meletakkan barang-barang bawaan di dekat meja belajarku. Wah, meja belajarku dekat jendela kaca sehingga bisa melihat kembang-kembang di taman. “O ya, nanti jam lima ada pertemuan anak-anak Fisipol di aula asrama. Mereka lagi open house. Ikutan aja biar kenal sama orang-orang sefakultasmu.” Bahkan dia bersedia mengantar jika aku masih malu.
Uh, aku memang sangat pemalu. Bagaimana Silvi bisa punya rasa percaya diri sebagus itu? Apa karena dia anak Jakarta? Atau karena sudah banyak menghirup hawa positif di asrama ini? Alangkah enaknya punya senyum dan gerak-gerik bersahabat seperti dirinya. Dan kulihat, anak-anak lain juga memiliki perangai sejenis. Ketika ada anak dari unit lain masuk ke unitku mencari Silvi, dia ketuk pintu dulu dan bilang permisi. Bahkan menyapaku dan mengajak berkenalan lebih dulu. Dia tampak menghormatiku meski aku anak baru. Kayaknya aku bakal krasan di tempat ini.
Usai mengikuti open house Fakultas-ku di aula, Silvi lagi-lagi memperkenalkan aturan-aturan yang telah disepakati di asrama. Harus selalu bilang terimakasih dan permisi, sekecil apapun yang telah diterima atau bantuan apapun yang ingin diminta. Pintu asrama tutup jam 22.00 sehingga kalau ada kegiatan melampaui jam malam itu harus ijin langsung ke suster piket. Jadwal kuliah dan kegiatan kampus harus diberikan pada suster piket. Jika akan pulang ke rumah harus lapor. Menggunakan fasilitas bersama seperti kamar mandi, bak cuci, dan seterika harus memperhatikan kepentingan orang lain. Jadwal bersih-bersih dan tugas doa di kapel tidak boleh terlewatkan. Jam makan dibatasi satu jam saja dan jika pulang melampaui jam makan harus titip pada teman seunit. Jika keluar kamar harus memakai baju yang sopan. Dan sederet aturan lainnya.
“Aturan ini tidak tertulis. Kau tak mungkin menghapalnya. Tapi aku dan kakak-kakak yang lain akan membantumu melaksanakannya. Setelah berada di sini sebulan saja, kamu pasti akan hapal sampai luar kepala.” Katanya. Suster Kepala memang pernah bilang bahwa selama satu bulan penuh aku tidak boleh pulang. Mungkin untuk penyesuaian.
Sehari, dua hari, hingga seminggu, rasanya aku betah. Apalagi menu asrama selalu berganti-ganti meski sederhana. Tumis toge, oblok daun singkong, bakso soon, telur sembunyi, rolade tahu, kering kentang, dan menu malam mingguannya ayam goreng. Buah seminggu dua kali. Pisang, semangka, nenas, atau pepaya. Kami dibiasakan minum air putih. Teh manis hanya ada di malam minggu. Wuah, bener-bener diet. “Pokoknya kalau udah enam bulan di sini, kita bisa jadi langsing dengan sendirinya. Kalau ada kiriman lauk dari rumah, kamupun musti bagi-bagi ke teman seunit.” Kata Silvi.
Semester ganjil akan segera dimulai, kakak-kakak yang lain serta kedua teman seangkatanku segera berdatangan. Ramai sekali unitku. Semua suka bercerita, kecuali aku. Tapi kakak tertua selalu bilang.”Hei, diam dulu! Ayo kita dengarkan cerita Rini!” Begitu dia memancingku agar mau ngomong. Yang lainpun penuh perhatian mengikuti apa yang kukisahkan. Dan ketika aku kebingungan memasang sprei, kakak tertua ini yang mengajariku. “Seorang kakak di sini punya kewajiban untuk membantu adiknya. Tahun depan kalau kau sudah jadi kakak, kamupun harus bantu adik kamu meskipun dia tidak meminta.” Ujarnya.
Minggu kedua, OPSPEK di Fakultas mulai digelar. Rambut musti dikuncir tujuh dengan pita tujuh rupa. Pakai topi kertas bekas dan tas kantong gandum. Kaus kakipun harus dua warna. Kakak-kakakku selalu siap membantu. “Kau tak perlu cemas hadapi ini. Santai saja. Anggap aja kau sedang mengikuti suatu permainan. Supaya kamu tidak tertekan. Kalau ada Raka yang ganteng, kecengi aja biar semangat! Kalau ada Rakanita yang mulutnya seperti cabe, cuekin aja. Belum tentu IP-nya kelak lebih bagus dari punyamu. Jadi santai saja. OK?” Kakak tertua menyemangatiku di hari pertama sambil mengulurkan bekal buatku. Jam lima aku harus sudah jalan supaya tidak terlambat. Sebab tidak terlambat aja diomelin, apalagi yang datang telat. Disuruh push up lah, lari jongkok, lompat-lompat. Huh, sok banget deh para Raka dan rakanita itu. Kuikuti saja nasihat kakak tertua dan enjoy the game. Untung ada beberapa Raka yang ganteng. Bisa menghilangkan dahaga sedikit.
Ketika OPSPEK Kampus baru berjalan tiga hari dan aku barus aja selesai mengerjakan tugas-tugas yang aneh-aneh. Tiba-tiba aku dikejutkan suara itu. Alarm asrama. Temanku yang tidur di dipan atas sampai loncat. Hampir semua anak baru kaget dan ketakutan dengan suara itu. Kami kira kebakaran. Tiba-tiba dari arah bak cuci kakak-kakak yang sudah KKN dan skripsi bermunculan sambil teriak-teriak menyuruh semua anak baru keluar dan berlari ke aula. Mereka berdandan sangat rapi lengkap dengan sepatu berhak tinggi yang suara ketukannya bikin pekak telinga.
“Tenang aja. Ini POSMA Asrama. Ikuti saja apa yang mereka bilang.” Ujar Silvi ketika aku bingung. Malam itu, pukul 03.00 dini hari, semua anak baru dalam baju tidur masing-masing digiring ke aula. Semua disuruh berbaris, berdiri tegab dan menunduk. Malam itu juga diumumkan bahwa sejenis OPSPEK di asrama akan digelar. What? Aku harus menghadapi dua OPSPEK sekaligus? Mendingan di kampus ada Raka-Raka ganteng yang sedikit melipur. Lha di sini? Yang ada tampang-tampang jutek kakak-kakak sesama jenis yang udah mau lulus ini?
Semua anak diberi sekantung plastik harta dan papan nama yang disebut nyawa. Dalam kantong harta terdapat benang dan jarum untuk menambal kasur, buku harian untuk daftar kesalahan, dan bolpen. Papan namaku bertuliskan COMOT. Itu namaku selama POSMA. RINI COMOT!!! Ketika aku bertanya pada kakak-kakak unit, kenapa aku dinamai seperti itu, Jawabannya : “Karena elo suka pinjam barang orang tanpa bilang permisi. Alias Comat-Comot!” Gila! Jadi mereka pun terlibat jadi mata-mata dalam gojlokan asrama ini? OPSPEK Kampus siang hari, POSMA Asrama malam hari. Lengkap sudah penderitaanku sebagai anak baru.
Hari pertamapun aku sudah kena tergur. “Comot! Tahu apa kesalahanmu pagi tadi?” Tanya kakak-kakak panitia khusus yang mukanya asem-asem itu. Aku mengingat-ingat lantas menggeleng. “Ini punya siapa?” Dia menyodorkan kantung plastik berisi pakaian dalam yang basah. Loh, itu punyaku. Kenapa bisa ada di tangannya? “Ingatkah kamu, dimana kamu menaruhnya sehabis mandi tadi?” Wah, aku sedang stress berat menghadapi dua penggojlokan sekaligus, jadi gak bisa berpikir apalagi mengingat. Aku menggeleng aja biar aman. “Kami menemukan ini di pinggir bak mandi!” Suaranya keras sampai2 yang lainpun mendengar. Bahkan ada yang terkikik-kikik. “Diam semua! Dengarkan kakak! Apa yang telah dilakukan Comot benar-benar memalukan! Tidak boleh terulang oleh siapapun! Kebiasaan buruk di rumah jangan dibawa ke asrama ini! Kita harus memulai suatu kehidupan bersama yang lebih baik! Dengar tidak? Bagaimana jika pakaian dalam ini terjatuh dan masuk ke dalam bak mandi? Padahal bak mandi dipakai bersama? Bagaimana Comot?”
“Menjijikkan. Kak.” Jawabku.
“Nah, udah tau kalo menjijikkan. Air seluruh bak bisa jadi asin semua! Tau! Ingat baik-baik peristiwa memalukan ini. Jangan sampai terulang lagi! Yang lainpun harus belajar dari kejadian ini! Paham?!” Oh, my God. Badanku jadi lemes. Belum pernah Aku dipermalukan seperti itu. Akupun dihukum menguras bak mandi esok hari. Malam itu juga, ada seorang anak yang nekat mau keluar saja dari asrama gara-gara tidak tahan. Suster sudah mencegah, bahkan telpon keluarganya, karena sudah larut malam. Tapi anak itu malah teriak-teriak dan memaksa untuk keluar. Akhirnya suster memperbolehkan keluar tapi esok hari setelah dia mendapatkan tempat kost yang jelas.
Hari kedua, aku ditegur lagi. Tak ada satu haripun tanpa teguran. Kali ini kakak yang lain lagi. “Comot! Lihat wajah saya baik-baik. Apakah kamu tadi pagi merasa bertemu dengan wajah ini?” Waduh, aku lupa. Lantas menggeleng. “Wajah ini adalah wajah kakak angkatan di Fakultasmu. Tadi pagi kita papasan di kampus. Kenapa ketika saya tersenyum padamu, kamu tidak menanggapinya?”
“Aduh, saya lupa-lupa ingat sama wajah kakak. Rasanya pernah ketemu di mana gitu, tapi ragu-ragu. Sorry ya , Kak.”
“Lain kali, jika bertemu orang yang wajahnya kau sebut lupa-lupa ingat itu, jangan ragu untuk melempar senyum dan sapaan. Senyum dan sapaan bisa mendatangkan banyak teman. Kita sama-sama orang rantau dan Cuma numpang belajar di sini, jadi butuh banyak teman agar bisa bertahan hidup. Mengerti?”
“Ya, Kak. Terimakasih.” Jawabku. Akhirnya aku disuruh berkenalan dengan kakak-kakak angkatan sebanyak duapuluh orang dan harus ingat namanya.Benar-benar keterlaluan!
Hari ketiga, orangtuaku datang menjenguk. Aku hanya diberi waktu lima menit untuk bertemu. Yang benar saja! Ayah dan ibuku datang jauh-jauh menempuh perjalanan 3 jam dengan berganti bus kota tiga kali dan aku hanya boleh menemui mereka lima menit? Aku ingin marah, tapi yang ada malah nangis.
“Sudah jangan cemen.” Komentar ibuku. Ibu membawakanku lebih banyak baju karena ketika aku datang hanya membawa beberapa stel. “Ini semua kan supaya kamu jadi anak yang kuat seperti kakak-kakak yang lain. Ikuti saja nasihat suster dan para kakak. Mereka pasti merancang ini sema dengan tujuan baik. Biar kamu tidak lamban lagi. Biar kamu tanggung jawab. Nggak kayak di rumah.” Ujar ibuku lagi. Tamu-tamu lain selain keluarga inti ditolak semua selama POSMA. Hanya diminta meninggalkan pesan dan boleh datang lagi setelah POSMA usai.
Hari keempat kami harus mengikuti retret yang dibawakan oleh seorang pastur. Aku ngantuk berat selama kegiatan itu sehingga apa yang diucapkan pastur itu hanya lewat saja. Untung teman di sebelahku baik hati. Setiap kepalaku terantuk, dia segera mencubit lenganku agar segera bangun dan tidak menuai masalah.
Hari kelima kami mengikuti misa. Sepanjang misa kudus, aku hanya melelehkan air mata saja. Teristimewa teringat bapak dan ibu yang hanya kutemui lima menit itu. Kejam banget! Sebuah tangan baik menyentuh pundakku, lantas menyodorkan tisyu untukku. Hingga kinipun peristiwa itu tidak pernah kulupa . Akupun selalu mengenang pemilik tangan baik itu. Sesama peserta POSMA yang penat namun masih sempat memperhatikan teman yang menangis di sebelahnya.
Hari keenam kami harus mengikuti jalan salib. Setelah itu renungan. Kakak-kakak itu memang keterlaluan. Masa yang distel kaset Ayah-nya Ebie GE-AD dan Ibu-nya Iwan Fals. Tentu saja mataku sampai bengap, pipiku bengkak, dan hidungku merah gara-gara menangis terus sepanjang renungan! Aku belum pernah pergi jauh dari bapak ibuku. Sekali pergi jauh, lah kok nelangsa begini! Gimana hatiku nggak tambah pilu mendengar lagu-lagu itu! Sungguh terlalu!
Hari ketujuh, pemeriksaan kelengkapan barang-barang pribadi. Apa pada bawa ember, gayung, piring, gelas, sendok garpu, sprei, sarung bantal, selimut, dan gembok? Jangan sampai pinjam-pinjam milik orang lain melulu. Kalau orang lain lagi makai, msosok gak nyuci, mosok gak makan, mosok gak tidur pakai sprei? Untung barangku lengkap! Yang gak lengkap dikerjain kakak-kakak, suruh nari, suruh deklamasi, suruh njoget! Tapi sayangnya belum kuberi nama. Akhirnya dapat hukuman juga.
“Kamu mau menampilkan kebolehan apa?” Tanya kakak.
“Acting, kak!” Semua terhenyak. Karena sejak tadi yang ada nyanyi, nari, dan deklamasi aja. Akupun maju ke tengah ruangan. Berdiri menatap langit-langit, lalu menunduk dan menjatuhkan badan. Lantas menangis keras-keras. Kuakui, itu bukan acting, tapi nangis beneran karena aku hampir gila menghadapi dua gojlokan sekaligus! Semua orang malah terkesima. Habis itu pada tepuk tangan! Huah!!! Bahkan seorang kakak bilang, kalau aku berbakat dan ikut UKM teater aja.
Hari kedelapan kami retret lagi. Itupun hanya lewat lagi. Gara-gara aku terkantuk-kantuk. Rasanya capek banget. Mata ini rasanya berat banget. Badan ini ngilu semua. Tuhan, kenapa aku tidak bisa pingsan seperti teman-teman yang lain, sehingga bisa digotong dan disuruh istirahat di ruang P3K? Dipijiti para kakak lagi! Kenapa aku malah waras terus begini menghadapi jalan sempit? Oh, Tuhan, kau benar-benar mengabulkan doaku agar kuat melampaui ini.
Hari kesembilan, kami dimarah-marahi habis sama kakak-kakak. Mosok daftar kesalahanku ada limabelas biji dan aku merasa tidak melakukan pelanggaran itu. Teman-temanku yang lain juga begitu lantas semua protes pada kakak-kakak itu.
“Daftar ini dibuat atas laporan kakak-kakak seunit kalian! Kalau kalian keberatan, tanyakan langsung pada mereka! Mereka semua sedang berdoa di halaman kapel!” Maka serentak kamipun berlari ke sana. Dan ternyata, di sana para kakak menyambut kami dengan lilin di tangan dan menyanyikan sebuah lagu dari kaset Civita “I will never forget you my people….I will carft you on the palm of my hand….I will never forget you…I will never leave you orphant…I will neve forget my own….” Mereka memeluki kami satu per satu dalam keharuan. Aku nangis lagi di pelukan kakak tertua. Selesai sudah penggojlokan ini. Hilang penatku. Terbang rasa benciku pada kakak-kakak yang selama ini kuanggap sebagai mata-mata dan pencari kesalahan.
Benar kata Silvi, belum ada sebulan aku sudah hapal peraturan asrama di luar kepala. Dan mereka benar-benar membantuku meskipun dengan cara yang mampu menguras tenaga dan air mataku. Aku nyaris gila dengan POSMA di asrama. Tapi paling tidak aku belajar sesuatu, yaitu mengungkapkan apa yang jadi perasaanku. Tidak memendamnya sendiri dan menjadi beban hidup.

KISAH SEDIH HARI MINGGU (Janan Lupakan Lingkungan, pernah dimuat di Warta Klara Bekasi Utara)

JANGAN LUPAKAN LINGKUNGAN!
Oleh Rini Giri


Dulu waktu masih jadi Mudika dan tinggal di kaki Merbabu, Jawa Tengah, para remaja biasanya dikirim ke Boyolali, Salatiga, Solo, Semarang, atau Yogyakarta untuk bersekolah. Sebab di kota kecil kami belum ada sekolah yang bermutu. Di kota-kota tempat kami menimba ilmu itu, sebagian besar diantara kami aktif dalam kegiatan kelompok orang muda berbendera Katolik. Menjadi anggota koor di lingkungan tempat kami kost, mengikuti misa mahasiswa di kampus, menjadi petugas Misa Jumat pertama di sekolah, menjadi volunteer LSM berbendera Katolik, bahkan ada juga yang menjadi pengurus PMKRI dan menjadi ketua KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) di lingkungan kampusnya.
Namun setiap hari Sabtu dan Minggu kami selalu pulang kampung. Memang ada juga yang hanya pulang dua minggu atau sebulan sekali karena kesibukan tertentu di tempatnya bersekolah. Kami selalu berkumpul di kapel kota kecil kami mulai pukul 17.00. Kadang kami latihan koor, membantu merangkai bunga dan membersihkan kapel, mendampingi sekolah minggu, mendiskusikan kegiatan Mudika yang akan datang, memperbincangkan kondisi terbaru kapel berikut umatnya, menengok saudara seiman yang sakit, melakukan kunjungan anjangsana, mengikuti kegiatan doa di suatu lingkungan, atau bahkan kadang hanya duduk di teras kapel sambil gitaran.
Sabtu dan Minggu adalah waktu istimewa bagi kami untuk bertemu kembali setelah hari-hari biasa kami lewatkan di kota lain. Sabtu dan Minggu juga menjadi saat yang spesial sebab kami bisa kembali melayani lingkungan kami yang telah beberapa hari kami tinggalkan. Sampai-sampai setelah beberapa anggota senior bekerja di kota yang lebih jauh seperti Jakarta atau Surabaya atau sudah menikah, dan jumlah kami berkurang, sebuah lagu sendu dari Koes Plus sering didendangkan sambil duduk-duduk di teras kapel, “Sabtu malam kusendiri….tiada yang menemani….di sekitar kulihat diam…tiada seindah dulu…” Setelah kami semua pergi, kini kapel kami hanya dihadiri kaum sepuh. Benar-benar Kisah Sedih Di Hari Minggu! Bahkan yang dulu statusnya stasi kini turun menjadi wilayah karena jumlah umatnya menyusut. Mudikanyapun habis.
Tapi suatu semangat yang bisa kami pelajari dari masa-masa Mudika kami adalah : janganlah pernah melupakan lingkungan! Sejauh apapun kita sudah mengikuti kegiatan gerejawi, tetap perhatikanlah lingkungan kita. Selalu kembalilah kepada lingkungan. Sebab di sanalah kehidupan umat basis berakar dan bertumbuh. Saudara seiman selingkungan adalah saudara terdekat kita. Kalau kita sedang sakit, berduka karena ada anggota keluarga yang meninggal, butuh bantuan karena mau menikahkan anak, atau butuh dukungan doa, siapa yang akan kita datangi pertama kali kalau bukan orang-orang di lingkungan?
Lingkungan pula yang telah membesarkan dan menginspirasi kita. Bukankah kita bisa aktif berkiprah di tingkat wilayah, paroki, keuskupan, dan kelompok-kelompok kategorial lainnya juga karena berangkat dari kegiatan kita di lingkungan? Di lingkunganlah kaki kita berpijak. Jika kita bisa berkarya di mana-mana tetapi melupakan lingkungan kita sendiri, bukankah seperti kacang lupa kulit? Atau berkiprah di mana-mana tapi tidak dikenal saudara selingkungan, bukankah bagaikan kecambah tanpa menyentuh tanah? Tumbuh sih tumbuh, tapi apakah akan sempurna?
Seorang saudara, aktivis perhimpunan karyawan Katolik di suatu kawasan industri, pernah mengeluh, merasa kesepian di gereja Katolik. Sebab setiap kali ke gereja, tak ada orang yang dikenalnya. Kasihan dia, aktif menggereja di tempatnya bekerja tapi tak dikenal oleh saudara selingkungannya sendiri. “Daftarkanlah dirimu di lingkungan tempat kamu tinggal. Ikuti kegiatannya dan kenali orang-orangnya. Pasti deh kamu bakalan menemukan sebuah keluarga dan tidak akan kesepian lagi jika pergi ke gereja parokimu. Namanya juga keluarga, pasti ada lebih dan kurangnya. Ada suka dan dukanya. Tapi nikmati aja demi pertumbuhan iman kita.” Usul saya. Diapun membuktikannya.
“Pak, setelah aktif di tingkat wilayah nanti, semoga semangat menggerejamu di tingkat lingkungan tidak mengendur ya.” Saya mengingatkan suami yang kebetulan dipercaya menjadi Ketua Wilayah baru. “Bukankah jika kita berani merantau biasanya juga tidak lupa kirim uang ke kampung? Jadi semakin kita banyak berkiprah di luar lingkungan, semakin banyak pula kontribusi yang kita berikan pada lingkungan. Bukan malah lupa-lupa lali. Saudara-saudara selingkungan pasti kangen. Gitu, Pak’e!” Lanjut saya. Selamat atas dilantiknya para pengurus wilayah dan lingkungan di Paroki St. Klara. Semoga Tuhan kan selalu memberkati tugas pelayanan Bapak dan Ibu sekalian.

Kamis, 25 Maret 2010

IMAN YANG MANDIRI (Warta Klara, Minggu 21 maret 2010)

IMAN YANG MANDIRI
Oleh Rini Giri


Beberapa waktu lalu seorang saudari datang ke rumah. Dulu dia seiman dengan kita, namun belakangan dia berubah keyakinan. Kalau membenci dan menjauhinya, apa bedanya saya dengan Saulus yang begitu geram pada orang-orang yang berkeyakinan lain? Saya dituntut untuk seperti Paulus, yang menghargai pengajaran yang berbeda dari yang diyakininya. Baiklah, saya terima dia tetap sebagai saudara dan saya hargai pilihan hidupnya. Supaya dia tahu bahwa sebenarnya yang ditinggalkannya adalah orang-orang yang tak pernah punya dendam dan kebencian, termasuk pada mereka yang berpaling.
“Sebenarnya aku berubah keyakinan bukan karena tidak suka atau tidak srek pada ajaran yang pernah kuterima. Apalagi membenci Yesus. Bukan. Bukan karena itu. Aku hanya kecewa pada orang-orangnya.” Begitu dia mulai curhat. “Dulu, waktu kapel di dusun itu mulai dibangun, aku yang menyumbangkan kursi-kursinya. Kupilih dari kayu jati yang paling baik. Tapi apa balasan umat padaku? Hanya karena suatu kesalahan kecil, mereka menjauhiku, tidak menghormati dan menghargaiku lagi. Orang Katolik kok kayak gitu.” Air matanyapun mulai menggenang.
Sungguh kasihan saudariku ini. Dia membangun imannya di atas pasir. Sehingga ketika hujan turun dan terjadi banjir, hancurlah rumahnya. “Jadi sebenarnya anda masih mencintai Yesus? Seharusnya Yesus saja yang anda pegang dan bukan petingkah orang-orang itu. Masih jauh lebih banyak orang Katolik yang benar-benar Katolik,” kilahku. Tapi dia sudah terlanjur tidak mau kembali. Lagi-lagi karena khawatir pada apa kata orang. Saya sedih tidak bisa membantunya.
Suatu ketika anak sulung saya yang sudah kelas 4 SD juga tidak mau ikut sekolah minggu lagi. “Di sekolah minggu sudah tidak ada si A, si B , dan si C sih. Aku kan cocoknya sama mereka.” Begitu alasannya. Rupanya teman-teman dekatnya itu sudah ikut latihan putra-putri altar di kapel. “Bukankah ikut kegiatan gereja dan memuliakan Tuhan itu tidak tergantung pada ada atau tidak adanya teman yang cocok? Tapi karena kita bersyukur dan cinta sama Yesus?” Tanya saya. Untunglah di paroki ada pelajaran komuni pertama, sehingga dia segera menemukan kawan yang cocok kembali di sana.
Begitu pentingnya kah penghormatan dan penghargaan dari umat lain, kawan yang cocok, pastor yang ideal, ketua lingkungan atau wilayah yang diidamkan, bangunan gereja yang megah, dalam pemantapan dan ketahanan iman kita? Mungkin penting. Tapi lebih penting mana ya dibanding dengan kasih dan pengorbanan yang telah diberikan Yesus? Bukankah seharusnya hanya cinta kita pada Yesus saja yang membuat iman kita layak untuk dipertahankan? Bukankah hanya persahabatan kita dengan Yesus saja yang membuat kita bersemangat untuk hidup menggereja dan menunjukkan buah-buah iman?
Ya, Yesus…tolonglah kami untuk membangun rumah di atas batu penjuru, yaitu diri-Mu sendiri. Sehingga ketika hujan datang dan air bah menerjang, bangunan kami tetap kokoh. Karena hanya tangan-Mu saja yang menyangganya. Bukan disangga oleh apa kata orang lain, komentar orang lain, sikap orang lain, dan ada atau tidak adanya kawan yang sesuai dengan keinginan hati kami.
Semoga ketika kami mengikuti-Mu, hidup menggereja, dan melakukan apa yang Kauajarkan, hanya wajah-Mu lah yang kami pandang. Hanya tergantung pada-Mu. Bukan tergantung pada siapa ketua lingkungannya, siapa ketua wilayahnya, siapa romonya, siapa kawan cocok yang hadir, seperti apa bangunan gerejanya, dan sebagainya. Jadikanlah iman kami, iman yang mandiri di atas pondasi-Mu ya Yesus.
Dan semoga kamipun bisa menjadi kawan yang cocok, orang yang menghargai dan menghormati, orang yang selalu memberikan komentar dan masukan yang positif, dan pelayan yang budiman bagi sesama. Sehingga kami pun bisa bersama-sama turut membantu-Mu saling menyangga bangunan-bangunan iman kami. Amin. Tuhan memberkati.

Rabu, 24 Februari 2010

SUSTER ROSITA KAMI

Suster Rosita Kami
Oleh Rini Giri


Dia adalah gadis paling menakjubkan di asrama kami. Bukan karena paling modis. Tapi, paling alami, trengginas, dan cerdas. Gadis lain tidak akan percaya diri jika ke kampus tanpa bedak, lipstik, dan parfum. Dia cukup menyisir rambut dan merapikan alisnya yang tebal itu. Kecantikannya sudah terpancar sempurna. Rambut hitam panjangnya, bulu mata lentiknya, bibir ungunya, dan kulitnya yang bersih. Benar-banar anugerah Surga yang jarang dimiliki sekaligus oleh seorang gadis.
Aku menjadi dekat dengannya karena tinggal dalam satu unit. Bersamanya terasa nyaman dan percaya. Mungkin karena dialah yang pertama kali menyambutku saat aku datang ke asrama. Dia yang membawakan rantang makan siangku.
“Aku dengar dari Suster Kepala siang ini akan datang warga baru, jadi tadi kuambilkan makan siang. Pastilah kamu belum sempat makan. Apalagi menempuh perjalanan jauh. Tapi sayangnya siang ini aku ada kuliah, jadi harus buru-buru ke kampus. Maaf ya, tidak bisa menemanimu makan. Sampai nanti, Nania.” Tutur katanya bersahabat dan gerak tubuhnya seperti malaikat. Dia begitu baik, bahkan mau mengambilkan jatah makan siang untuk seseorang yang belum dikenalnya.
Dia memang berbeda. Setiap gadis akan merasa geer jika diperhatikan lawan jenisnya. Dia tidak. Bahkan sering menjodohkan teman-teman di asrama dengan pemuda yang sedang mendekatinya. Padahal pemuda-pemuda itu ganteng, berotak cemerlang, berhati berlian, kuliah di fakultas favorit, dan berkecukupan materi. Lantas apa yang dia cari? Atau jangan-jangan dia penyuka sesama jenis? Hi!
“Kalau aku lesbian, tentunya sudah sejak dulu aku naksir kamu, Nania!” Jawabnya gemas sambil menarik hidungku hingga pedas. Dia sebenarnya mau berteman dengan siapa saja tanpa pilih kasih. Bahkan teman yang sering datang menemuinya di asrama kebanyakan laki-laki. Begitu banyak sahabatnya, sampai-sampai banyak yang iri padanya. Tapi tak ada seorangpun yang berhasil jadi pacarnya. Katanya, kalau lebih tua dianggap kakak. Sedangkan yang sepantaran dianggap adik. Dia pernah cerita sudah terlanjur jatuh cinta pada seseorang yang menjadi pegangan hidupnya selama ini. Siapa?
Tidak berbedakpun seperti bidadari. Lantas dia terpikir untuk memotong rambutnya supaya terlihat jelek. Tapi yang ada justru dia semakin menawan karena kulit bersihnya kian memancar. Dan suatu malam aku berhasil mencegahnya merusak wajah dengan silet.
“Kenapa, Ros?” tanyaku sambil memeluknya erat. Rosita menangis, seolah menyesali keelokan jasmaninya. “Cerita, Ros. Cerita!” Bujukku.
“Nan, aku ingin sekali masuk biara.” Jawabnya dengan bibir bergetar.
“Kalau mau masuk biara gampang, Ros, tinggal daftar saja. Tapi nggak perlu membenci diri-sendiri. Yang barusan kaulakukan itu dosa, Ros. Kau sudah diberi keindahan oleh Tuhan, kenapa justru tidak bersyukur?” Aku hampir marah.
“Kecantikan ini menghalangiku, Nan.” Dia menangis sejadi-jadinya. Lantas setelah reda, dia mulai bercerita. Dulu, waktu masih SMU dia terkesan pada kata-kata seorang biarawati. Katanya, jika ingin menjadi orang berguna, bersiap-siaplah untuk bersedia bekerja bagi orang lain tanpa bayaran. Rosita gundah dengan ucapan itu.
Di sekitarnya, semua profesi dihargai dengan gaji bulanan atau honor. Satu-satunya profesi tanpa bayaran yang dikenalnya adalah menjadi rohaniwan atau rohaniwati. Mereka mengabdi sepenuh hati dalam kaul kemiskinan dan tulus bekerja agar orang lain merasa bahagia. Tanpa bayaran.
“Aku berfikir, hanya dengan menjadi seorang biarawati aku akan menemukan hidupku, Nan. Aku akan menemukan Tuhan. Tapi orangtuaku menentangnya. Aku ini anak perempuan satu-satunya. Semua yang dimiliki orangtuaku akan diwariskan padaku. Bahkan ayahku dengan keras mengatakan, buat apa aku jadi suster. Tidak punya keturunan, tidak punya harta, tidak punya kedudukan dalam masyarakat. Pekerjaannya berat tapi tetap saja dicela umat. Lagipula, siapa yang akan mengurus perusahaan dan ayah-ibu jika sudah tua. Semua dibebankan padaku. Toh jika ingin berguna, katanya, aku bisa jadi pengusaha yang gemar berderma. Tapi bukan itu maksudku, Nan. Lalu ayahku mengirimku ke sini, agar masuk ke Fakultas Ekonomi. Dia berharap, kelak aku menjadi pengusaha sukses. Apalagi wajahku menarik, tidak sulit untuk menjerat anak pejabat.”
“Oh, My God.” Mulutku hanya bolong melompong mendengar kisahnya. Kini aku jadi paham, kenapa dia jarang pulang ke rumahnya. Kami boleh pulang dua minggu sekali. Tapi Rosita bahkan tiga atau empat bulan baru pulang, itupun setelah dijemput oleh seseorang. Sepupu yang diutus ayahnya.
Sore itu saat aku akan pulang ke rumah dan melewati ruang tamu asrama, seorang pemuda yang biasa menjemput Rosita berdiri di pintu. Sepertinya, Rosita tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Mungkin pemuda itu belum janjian. Dengan sopan pemuda itu tersenyum padaku. Kuminta dia menunggu dan aku kembali ke kamar memanggil Rosita.
“Ros, sepupumu datang.” Tapi Rosita tidak mau menemui, bahkan menyuruhku untuk mengatakan kalau dia sedang istirahat tak bisa diganggu. “Ros, dia datang dari jauh membawa mandat ayahmu. Tolong hargai dia dong, Ros!” Bujukku. Rosita menggeleng. “Kamu boleh menolak tidak mau pulang, tapi paling tidak temui dia!” Rosita tetap membatu. Aku jadi hilang kesabaran. “Ros, dengar ya, percuma saja kamu ingin menjadi orang berguna bagi sesama tapi kamu tidak peduli pada keluargamu sendiri. Kamu tidak tahu kan sepupumu itu datang membawa berita apa? Bagaimana kalau ternyata ayah atau ibumu sakit? Kau tetap tidak peduli?” Akhirnya sahabatku itu luluh dan minta ditemani untuk bertemu sepupunya.
Ternyata benar, ayahnya sakit keras. Suster Kepala dan beberapa teman turut menjenguk. Rupanya ayahnya itu terhibur dengan kedatangan kami. Terlebih karena tersentuh oleh doa yang dipanjatkan Suster Kepala bagi kesembuhannya. Dengan suara lirih ayahnya ingin Rosita mendekat. Lantas membisikkan sesuatu ke telinganya. Senyum pun merekah di bibir ungu sahabatku itu dan cepat-cepat dipeluknya ayahnya.
Sebulan kemudian, Rosita sudah tidak tinggal di asrama lagi. Tapi saudara sepupunya itu masih sering datang untuk menemuiku. Dan pagi ini, adik iparku Suster Rosita, baru saja selesai mengucapkan kaul kekalnya. Nanti sore, dia akan berangkat ke Papua untuk melayani pendidikan anak-anak suku Amungme.
“Nan, titip ayah dan ibuku ya.” Ucapnya. Aku mengangguk pasti. Ayah dan ibu nya tampak haru dan merasa menjadi yang paling berbahagia atas peristiwa penuh berkat-Nya ini.
“Itu Suster Rosita kami!” Teriak anak-anakku sambil memeluk buliknya.
“Bukan. Sekarang sudah menjadi Suster Rosita milik semua orang.” Kami tertawa.

Jangan Lupakan Lingkungan! (Warta Klara 21 Februari 20010)

JANGAN LUPAKAN LINGKUNGAN!
Oleh Rini Giri


Dulu waktu masih jadi Mudika dan tinggal di kaki Merbabu, Jawa Tengah, para remaja biasanya dikirim ke Boyolali, Salatiga, Solo, Semarang, atau Yogyakarta untuk bersekolah. Sebab di kota kecil kami belum ada sekolah yang bermutu. Di kota-kota tempat kami menimba ilmu itu, sebagian besar diantara kami aktif dalam kegiatan kelompok orang muda berbendera Katolik. Menjadi anggota koor di lingkungan tempat kami kost, mengikuti misa mahasiswa di kampus, menjadi petugas Misa Jumat pertama di sekolah, menjadi volunteer LSM berbendera Katolik, bahkan ada juga yang menjadi pengurus PMKRI dan menjadi ketua KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) di lingkungan kampusnya.
Namun setiap hari Sabtu dan Minggu kami selalu pulang kampung. Memang ada juga yang hanya pulang dua minggu atau sebulan sekali karena kesibukan tertentu di tempatnya bersekolah. Kami selalu berkumpul di kapel kota kecil kami mulai pukul 17.00. Kadang kami latihan koor, membantu merangkai bunga dan membersihkan kapel, mendampingi sekolah minggu, mendiskusikan kegiatan Mudika yang akan datang, memperbincangkan kondisi terbaru kapel berikut umatnya, menengok saudara seiman yang sakit, melakukan kunjungan anjangsana, mengikuti kegiatan doa di suatu lingkungan, atau bahkan kadang hanya duduk di teras kapel sambil gitaran.
Sabtu dan Minggu adalah waktu istimewa bagi kami untuk bertemu kembali setelah hari-hari biasa kami lewatkan di kota lain. Sabtu dan Minggu juga menjadi saat yang spesial sebab kami bisa kembali melayani lingkungan kami yang telah beberapa hari kami tinggalkan. Sampai-sampai setelah beberapa anggota senior bekerja di kota yang lebih jauh seperti Jakarta atau Surabaya atau sudah menikah, dan jumlah kami berkurang, sebuah lagu sendu dari Koes Plus sering didendangkan sambil duduk-duduk di teras kapel, “Sabtu malam kusendiri….tiada yang menemani….di sekitar kulihat diam…tiada seindah dulu…” Setelah kami semua pergi, kini kapel kami hanya dihadiri kaum sepuh. Benar-benar Kisah Sedih Di Hari Minggu! Bahkan yang dulu statusnya stasi kini turun menjadi wilayah karena jumlah umatnya menyusut. Mudikanyapun habis.
Tapi suatu semangat yang bisa kami pelajari dari masa-masa Mudika kami adalah : janganlah pernah melupakan lingkungan! Sejauh apapun kita sudah mengikuti kegiatan gerejawi, tetap perhatikanlah lingkungan kita. Selalu kembalilah kepada lingkungan. Sebab di sanalah kehidupan umat basis berakar dan bertumbuh. Saudara seiman selingkungan adalah saudara terdekat kita. Kalau kita sedang sakit, berduka karena ada anggota keluarga yang meninggal, butuh bantuan karena mau menikahkan anak, atau butuh dukungan doa, siapa yang akan kita datangi pertama kali kalau bukan orang-orang di lingkungan?
Lingkungan pula yang telah membesarkan dan menginspirasi kita. Bukankah kita bisa aktif berkiprah di tingkat wilayah, paroki, keuskupan, dan kelompok-kelompok kategorial lainnya juga karena berangkat dari kegiatan kita di lingkungan? Di lingkunganlah kaki kita berpijak. Jika kita bisa berkarya di mana-mana tetapi melupakan lingkungan kita sendiri, bukankah seperti kacang lupa kulit? Atau berkiprah di mana-mana tapi tidak dikenal saudara selingkungan, bukankah bagaikan kecambah tanpa menyentuh tanah? Tumbuh sih tumbuh, tapi apakah akan sempurna?
Seorang saudara, aktivis perhimpunan karyawan Katolik di suatu kawasan industri, pernah mengeluh, merasa kesepian di gereja Katolik. Sebab setiap kali ke gereja, tak ada orang yang dikenalnya. Kasihan dia, aktif menggereja di tempatnya bekerja tapi tak dikenal oleh saudara selingkungannya sendiri. “Daftarkanlah dirimu di lingkungan tempat kamu tinggal. Ikuti kegiatannya dan kenali orang-orangnya. Pasti deh kamu bakalan menemukan sebuah keluarga dan tidak akan kesepian lagi jika pergi ke gereja parokimu. Namanya juga keluarga, pasti ada lebih dan kurangnya. Ada suka dan dukanya. Tapi nikmati aja demi pertumbuhan iman kita.” Usul saya. Diapun membuktikannya.
“Pak, setelah aktif di tingkat wilayah nanti, semoga semangat menggerejamu di tingkat lingkungan tidak mengendur ya.” Saya mengingatkan suami yang kebetulan dipercaya menjadi Ketua Wilayah baru. “Bukankah jika kita berani merantau biasanya juga tidak lupa kirim uang ke kampung? Jadi semakin kita banyak berkiprah di luar lingkungan, semakin banyak pula kontribusi yang kita berikan pada lingkungan. Bukan malah lupa-lupa lali. Saudara-saudara selingkungan pasti kangen. Gitu, Pak’e!” Lanjut saya. Selamat atas dilantiknya para pengurus wilayah dan lingkungan di Paroki St. Klara. Semoga Tuhan kan selalu memberkati tugas pelayanan Bapak dan Ibu sekalian.

MASIH JADI SINGLE FIGHTER? (Warta Klara 31 januari 2010)

MASIH JADI SINGLE FIGHTER?
Oleh Rini Giri/ Antonius 3


Sudah membaca SANDAL JEPIT GEREJA karya Anang YB, yang pernah dibuatkan resensi oleh saudara Panjikristo dan dimuat di Warta Klara beberapa minggu lalu? Saya sudah. Sangat terasa, saya menemukan teman seperjalanan setelah membacanya. Kebetulan suami saya juga ketua lingkungan. Seorang Anang YB yang masih sangat muda, siap melabeli diri sebagai sandal jepit kala menjabat sebagai ketua lingkungan di Paroki Arnoldus Bekasi..
Menjadi ketua, dimanapun, bukankah harus menjadi yang paling siap untuk diinjak, agar yang lain tetap bisa berjalan. Begitu kira-kira pelajaran yang saya petik dari buku yang sangat laris itu. Tepat seperti ajaran Yesus. Yang terbesar adalah yang melayani. “Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang mampu membesarkan orang-orang yang dipimpinnya!” Tulis Anang YB di akhir buku. Jadi bukan yang malah jadi besar sendirian diantara yang dipimpinnya ya?
Ini mengingatkan saya pada dua peristiwa. Sejak dulu saya memang paling senang jadi seksi acara dalam suatu pagelaran atau perayaan. Meskipun baru di lingkup sekolah saat perpisahan, kampus saat malam inagurasi, RT saat HUT RI, dan lingkungan saat natalan. Peristiwa pertama, saat saya dipercaya menjadi koordinator seksi acara natalan di lingkungan. Saya menganggap anggota seksi hanya berfungsi membantu saja, maka susunan acara, materi acara, berikut pengisinya saya tentukan semua sendirian. Yang lain hanya saya mintai tolong untuk menyiapkan properti. Itupun saya yang merancang dan yang lain tinggal melaksanakan.
Semua berjalan baik, meriah, dan semua orang tampak senang. “Siapa yang menyiapkan tari anak-anak dan dramanya?” Saya dengar seorang ibu bicara pada salah satu anggota seksi acara. “Bu Giri.” Jawab anggota seksi acara itu. Serta merta sang ibu mendekati saya dan mengucapkan selamat serta pujian. Wah, bangga luar biasa. Saya jadi terkenal. Namun sesampai di rumah, saya merasakan kekosongan luar biasa. Semua pujian dilontarkan pada saya, padahal sebenarnya tanpa bantuan ibu-ibu anggota seksi acara, anak-anak yang turut pentas, orangtua anak-anak yang pentas, dan hadirin yang apresiatif, acara itu tak akan berjalan.
“Kamu over acting! Kamu sombong sekali! Kamu lupa pada dukungan ibu-ibu yang lain! Kamu jadi gede rasa atas segala pujian itu! Tanpa mereka kamu nol sama sekali!” Nurani saya terus-menerus menuduh dan membuat hati gelisah. Saya jadi kapok dipuji dan jadi pusat perhatian. Saya disanjung tapi merasa gagal!
Peristiwa kedua, kala menjadi koordinator seksi acara dalam HUT RI tingkat RT. Saya berusaha memperbaiki diri di sini. Anggota seksi acara yang lain saya libatkan dalam menentukan susunan, materi, dan pengisi acara. Masing-masing punya tanggungjawab untuk melatih anak-anak. Saya mengkoordinir anak-anak, Bu A melatih baca puisi, Bu B melatih tari, Bu C melatih fashion show, dst. Pokoknya bagi-bagi tugas. Acara lancar dan meriah. Semua yang hadir juga tampak senang. Dengan sangat bangga saya katakan pada ibu-ibu yang menanyakan siapa yang melatih tari, “Oh, Bu B yang melatih.” Merekapun berbondong-bondong menyalami Bu B. Entahlah, saya tidak cemburu meskipun tak ada yang memuji saya. Saya malah merasa sangat lega, lengkap, dan penuh. Ini kerja tim dan kebanggaan yang diperoleh adalah milik bersama. Lebih berbobot dan berisi.
Sungguh, ternyata sebagai seorang pemimpin, sekecil apapun kelompok yang dipimpin, lebih baik untuk memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya daripada menjadi single fighter. Bekerja sendiri berarti belum bisa menjalin komunikasi dan kepercayaan pada yang dipimpin. Bisa bekerjasama dan membesarkan orang lain berarti orang-orang yang dipimpin benar-benar menaruh respek, kepercayaan, dan kepatuhan pada orang yang memimpinnya.
Saya bisa dan berani menuliskan ini bukan karena saya sudah mahir soal kepemimpinan lho. Saya malah baru belajar. Justru ketika saya mengalami sebagai pemimpin kecil dan mendapatkan sentuhan dari buku Anang YB. Buku ini benar-benar inspiratif untuk dijadikan bahan referensi bagi para ketua lingkungan, calon ketua lingkungan, dan semua umat agar tidak keder untuk jadi ketua lingkungan. Tuhan memberkati.

SALDO KEBAIKAN (Warta Klara 8 November 2009)

SALDO KEBAIKAN
Oleh Rini Giri


Ibu saya sudah berusia 62 tahun, tapi masih sangat enerjik. Bahkan saya yang 29 tahun lebih muda, kalah lincahnya. Waktu datang ke Bekasi dan mengajak jalan-jalan ke sebuah mal di Bekasi Barat, dengan cekatan dia menggandeng anak-anak saya untuk naik-turun jembatan penyeberangan. Sementara saya ditinggal begitu saja agak di belakang karena ngos-ngosan.
Puji Tuhan kesehatan ibu saya begitu baik. Bahkan ketika teman-teman dekat seangkatannya mulai kurang aktif karena terserang diabetes atau kolesterol, ibu masih gesit berorganisasi dan menggereja. Dasawisma, PKK, posyandu, senam jantung sehat, WK, paguyuban lansia, ziarah, retret…wah seabrek kegiatannya. Itulah cara ibu menikmati masa pensiun.
Tante saya, adik ibu yang berusia beberapa tahun lebih muda, bahkan mulai keluar-masuk rumah sakit. Ibu juga yang mengantar dan menjaganya. Sampai-sampai saya dan adik-adik protes. Takut ibu kelelahan dan malah gantian jatuh sakit.
“Aku malah akan sakit kalau melihat saudariku menderita sementara aku diam saja. Saudara bulikmu yang paling dekat kan hanya aku. Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir. Kalau kita melakukan sesuatu yang baik, percayalah Tuhan pasti memberi kekuatan.” Begitu kilah ibu. Bahkan dia sempat menggalang dana dari saudara-saudara lain untuk biaya kemoterapi bulik. Ibu memang merasa tidak mampu memberi bantuan uang. Setiap ada saudara dan tetangga yang sakit atau sedang kesusahan dia lebih banyak memberikan tenaga dan perhatiannya.
Saya jadi mengerti kenapa Yesus saat mengutus para murid pergi berdua-dua, tidak memperbolehkan mereka membawa bekal apapun selain tongkat. Juga seorang pemuda kaya yang ingin mengikuti Yesus harus menjual dulu hartanya dan membagikannya pada orang miskin. Kalau mereka punya uang, punya banyak perbekalan, punya barang bawaan banyak, maka dalam melayani harta benda itulah yang akan mereka berikan. Tapi ketika mereka tak punya apa-apa, mereka malah memberikan lebih dari itu. Yaitu tenaga, pikiran, waktu, bahkan nyawa. Yesus berharap para murid, pemuda kaya itu, dan kita memberikan diri. Seperti Dia. Menyerahkan seluruh dirinya demi cinta-Nya pada kita.
Lantas kalau sudah begitu, nyambung juga nalar kita pada sabda bahagia Yesus. “Berbahagialah yang miskin di hadapan Allah.” Yaitu yang tidak menaruh harapan pada harta duniawi tetapi lebih mengandalkan karunia surgawi. Ya, sabda Tuhan kadang baru bisa dipahami betul jika kita melihat atau mengalami suatu pengalaman iman.
“Ibu tidak capek?” tanya saya suatu ketika.
“Apa kamu pernah capek menabung? Bisa menabung dan punya uang simpanan rasanya senang kan? Hati tentram. Hidup terasa terjamin.”
“Lho?”
“Bukan hanya tabungan uang yang kita butuhkan dalam hidup ini. Kita juga perlu tabungan kebaikan. Berbuat baik itu seperti menabung. Mungkin bukan kita yang mengunduh hasilnya. Tapi orang lain dan anak-cucu kita. Berbuat baik ya berbuat baik saja, tidak perlu berpamprih. Namun bagaimanapun juga setiap kali kita berbuat baik, apapun bentuknya, kita sudah memiliki saldo untuk kehidupan.” Wah, hebat dia. Saya tak menyangka, dibalik kesederhanaan dan bibirnya yang mudah tersenyum itu tersimpan sesuatu yang berharga.
Mungkin kesehatan, kegesitan, dan kelincahan yang dimilikinya di usia senja ini juga berkah Tuhan atas saldo-saldo kebaikan yang pernah ditabungnya sedari muda dulu. Semakin banyak menabung, semakin banyak saldonya. Semakin banyak melakukan penarikan tunai, semakin susutlah saldonya. Makin banyak berbuat baik, saldo kebaikan bertambah. Makin tegar tengkuk dan kerasan melakukan dosa, makin habislah saldo kebaikan itu. Saya pun disadarkan untuk mulai giat mengumpulkan saldo kebaikan itu. Tuhan memberkati.