Selasa, 29 Juni 2010

ASRAMA MEMBUATKU GILA!! (ada di www.YukNulis.com)

Tanggal 23 September 1994, asrama resmi jadi rumahku. “Jangan lupa ember, gayung, piring, gelas, sendok-garpu, speri, sarung bantal, dan gembok.” Kata Suster Kepala ketika aku mendaftar seminggu sebelumnya. Wah, aku datang seperti orang pindah rumah. “Sil, antar adikmu ini ke kamarnya. Kasih tahu barang-barang apa aja yang jadi haknya!” Kakak angkatan yang dipanggil suster langsung menghampiriku dan membantu membawa barang-barangku.
“Namaku Silvi. Kamu pasti Rini ya. Kami sudah menunggu kedatanganmu. Aku pikir akan datang pagi. Ternyata baru sampai sore-sore begini.” Aku tersenyum. Hangat rasanya mendapat sambutan seperti itu. Setiap melewati warga lain di lorong-lorong, mereka selalu tersenyum. “Adik gua ni, baru datang.” Begitu Silvi memperkenalkanku. “Oya, kebetulan tadi aku ambil makan siang untukmu. Kamu pasti capek dan belum makan. Makan dulu aja ya, baru bebenah.” Ujarnya lagi. Oh, alangkah nikmatnya punya kakak angkatan seperti dia. Seramah dan seperhatian itu meskipun sama sekali belum pernah jumpa denganku.
Aku tinggal di sebuah unit yang terdiri dari dua kamar tidur dengan empat ranjang susun, dua kamar belajar dengan delapan meja kayu, dua ruang ganti dengan delapan almari kecil, dan sebuah teras dengan empat kursi santai dan bak cuci piring. “Kita di sini ada delapan orang, Rin. Yang seangkatan denganmu ada tiga orang. Tapi mereka belum datang. Mungkin besok” Kamipun meletakkan barang-barang bawaan di dekat meja belajarku. Wah, meja belajarku dekat jendela kaca sehingga bisa melihat kembang-kembang di taman. “O ya, nanti jam lima ada pertemuan anak-anak Fisipol di aula asrama. Mereka lagi open house. Ikutan aja biar kenal sama orang-orang sefakultasmu.” Bahkan dia bersedia mengantar jika aku masih malu.
Uh, aku memang sangat pemalu. Bagaimana Silvi bisa punya rasa percaya diri sebagus itu? Apa karena dia anak Jakarta? Atau karena sudah banyak menghirup hawa positif di asrama ini? Alangkah enaknya punya senyum dan gerak-gerik bersahabat seperti dirinya. Dan kulihat, anak-anak lain juga memiliki perangai sejenis. Ketika ada anak dari unit lain masuk ke unitku mencari Silvi, dia ketuk pintu dulu dan bilang permisi. Bahkan menyapaku dan mengajak berkenalan lebih dulu. Dia tampak menghormatiku meski aku anak baru. Kayaknya aku bakal krasan di tempat ini.
Usai mengikuti open house Fakultas-ku di aula, Silvi lagi-lagi memperkenalkan aturan-aturan yang telah disepakati di asrama. Harus selalu bilang terimakasih dan permisi, sekecil apapun yang telah diterima atau bantuan apapun yang ingin diminta. Pintu asrama tutup jam 22.00 sehingga kalau ada kegiatan melampaui jam malam itu harus ijin langsung ke suster piket. Jadwal kuliah dan kegiatan kampus harus diberikan pada suster piket. Jika akan pulang ke rumah harus lapor. Menggunakan fasilitas bersama seperti kamar mandi, bak cuci, dan seterika harus memperhatikan kepentingan orang lain. Jadwal bersih-bersih dan tugas doa di kapel tidak boleh terlewatkan. Jam makan dibatasi satu jam saja dan jika pulang melampaui jam makan harus titip pada teman seunit. Jika keluar kamar harus memakai baju yang sopan. Dan sederet aturan lainnya.
“Aturan ini tidak tertulis. Kau tak mungkin menghapalnya. Tapi aku dan kakak-kakak yang lain akan membantumu melaksanakannya. Setelah berada di sini sebulan saja, kamu pasti akan hapal sampai luar kepala.” Katanya. Suster Kepala memang pernah bilang bahwa selama satu bulan penuh aku tidak boleh pulang. Mungkin untuk penyesuaian.
Sehari, dua hari, hingga seminggu, rasanya aku betah. Apalagi menu asrama selalu berganti-ganti meski sederhana. Tumis toge, oblok daun singkong, bakso soon, telur sembunyi, rolade tahu, kering kentang, dan menu malam mingguannya ayam goreng. Buah seminggu dua kali. Pisang, semangka, nenas, atau pepaya. Kami dibiasakan minum air putih. Teh manis hanya ada di malam minggu. Wuah, bener-bener diet. “Pokoknya kalau udah enam bulan di sini, kita bisa jadi langsing dengan sendirinya. Kalau ada kiriman lauk dari rumah, kamupun musti bagi-bagi ke teman seunit.” Kata Silvi.
Semester ganjil akan segera dimulai, kakak-kakak yang lain serta kedua teman seangkatanku segera berdatangan. Ramai sekali unitku. Semua suka bercerita, kecuali aku. Tapi kakak tertua selalu bilang.”Hei, diam dulu! Ayo kita dengarkan cerita Rini!” Begitu dia memancingku agar mau ngomong. Yang lainpun penuh perhatian mengikuti apa yang kukisahkan. Dan ketika aku kebingungan memasang sprei, kakak tertua ini yang mengajariku. “Seorang kakak di sini punya kewajiban untuk membantu adiknya. Tahun depan kalau kau sudah jadi kakak, kamupun harus bantu adik kamu meskipun dia tidak meminta.” Ujarnya.
Minggu kedua, OPSPEK di Fakultas mulai digelar. Rambut musti dikuncir tujuh dengan pita tujuh rupa. Pakai topi kertas bekas dan tas kantong gandum. Kaus kakipun harus dua warna. Kakak-kakakku selalu siap membantu. “Kau tak perlu cemas hadapi ini. Santai saja. Anggap aja kau sedang mengikuti suatu permainan. Supaya kamu tidak tertekan. Kalau ada Raka yang ganteng, kecengi aja biar semangat! Kalau ada Rakanita yang mulutnya seperti cabe, cuekin aja. Belum tentu IP-nya kelak lebih bagus dari punyamu. Jadi santai saja. OK?” Kakak tertua menyemangatiku di hari pertama sambil mengulurkan bekal buatku. Jam lima aku harus sudah jalan supaya tidak terlambat. Sebab tidak terlambat aja diomelin, apalagi yang datang telat. Disuruh push up lah, lari jongkok, lompat-lompat. Huh, sok banget deh para Raka dan rakanita itu. Kuikuti saja nasihat kakak tertua dan enjoy the game. Untung ada beberapa Raka yang ganteng. Bisa menghilangkan dahaga sedikit.
Ketika OPSPEK Kampus baru berjalan tiga hari dan aku barus aja selesai mengerjakan tugas-tugas yang aneh-aneh. Tiba-tiba aku dikejutkan suara itu. Alarm asrama. Temanku yang tidur di dipan atas sampai loncat. Hampir semua anak baru kaget dan ketakutan dengan suara itu. Kami kira kebakaran. Tiba-tiba dari arah bak cuci kakak-kakak yang sudah KKN dan skripsi bermunculan sambil teriak-teriak menyuruh semua anak baru keluar dan berlari ke aula. Mereka berdandan sangat rapi lengkap dengan sepatu berhak tinggi yang suara ketukannya bikin pekak telinga.
“Tenang aja. Ini POSMA Asrama. Ikuti saja apa yang mereka bilang.” Ujar Silvi ketika aku bingung. Malam itu, pukul 03.00 dini hari, semua anak baru dalam baju tidur masing-masing digiring ke aula. Semua disuruh berbaris, berdiri tegab dan menunduk. Malam itu juga diumumkan bahwa sejenis OPSPEK di asrama akan digelar. What? Aku harus menghadapi dua OPSPEK sekaligus? Mendingan di kampus ada Raka-Raka ganteng yang sedikit melipur. Lha di sini? Yang ada tampang-tampang jutek kakak-kakak sesama jenis yang udah mau lulus ini?
Semua anak diberi sekantung plastik harta dan papan nama yang disebut nyawa. Dalam kantong harta terdapat benang dan jarum untuk menambal kasur, buku harian untuk daftar kesalahan, dan bolpen. Papan namaku bertuliskan COMOT. Itu namaku selama POSMA. RINI COMOT!!! Ketika aku bertanya pada kakak-kakak unit, kenapa aku dinamai seperti itu, Jawabannya : “Karena elo suka pinjam barang orang tanpa bilang permisi. Alias Comat-Comot!” Gila! Jadi mereka pun terlibat jadi mata-mata dalam gojlokan asrama ini? OPSPEK Kampus siang hari, POSMA Asrama malam hari. Lengkap sudah penderitaanku sebagai anak baru.
Hari pertamapun aku sudah kena tergur. “Comot! Tahu apa kesalahanmu pagi tadi?” Tanya kakak-kakak panitia khusus yang mukanya asem-asem itu. Aku mengingat-ingat lantas menggeleng. “Ini punya siapa?” Dia menyodorkan kantung plastik berisi pakaian dalam yang basah. Loh, itu punyaku. Kenapa bisa ada di tangannya? “Ingatkah kamu, dimana kamu menaruhnya sehabis mandi tadi?” Wah, aku sedang stress berat menghadapi dua penggojlokan sekaligus, jadi gak bisa berpikir apalagi mengingat. Aku menggeleng aja biar aman. “Kami menemukan ini di pinggir bak mandi!” Suaranya keras sampai2 yang lainpun mendengar. Bahkan ada yang terkikik-kikik. “Diam semua! Dengarkan kakak! Apa yang telah dilakukan Comot benar-benar memalukan! Tidak boleh terulang oleh siapapun! Kebiasaan buruk di rumah jangan dibawa ke asrama ini! Kita harus memulai suatu kehidupan bersama yang lebih baik! Dengar tidak? Bagaimana jika pakaian dalam ini terjatuh dan masuk ke dalam bak mandi? Padahal bak mandi dipakai bersama? Bagaimana Comot?”
“Menjijikkan. Kak.” Jawabku.
“Nah, udah tau kalo menjijikkan. Air seluruh bak bisa jadi asin semua! Tau! Ingat baik-baik peristiwa memalukan ini. Jangan sampai terulang lagi! Yang lainpun harus belajar dari kejadian ini! Paham?!” Oh, my God. Badanku jadi lemes. Belum pernah Aku dipermalukan seperti itu. Akupun dihukum menguras bak mandi esok hari. Malam itu juga, ada seorang anak yang nekat mau keluar saja dari asrama gara-gara tidak tahan. Suster sudah mencegah, bahkan telpon keluarganya, karena sudah larut malam. Tapi anak itu malah teriak-teriak dan memaksa untuk keluar. Akhirnya suster memperbolehkan keluar tapi esok hari setelah dia mendapatkan tempat kost yang jelas.
Hari kedua, aku ditegur lagi. Tak ada satu haripun tanpa teguran. Kali ini kakak yang lain lagi. “Comot! Lihat wajah saya baik-baik. Apakah kamu tadi pagi merasa bertemu dengan wajah ini?” Waduh, aku lupa. Lantas menggeleng. “Wajah ini adalah wajah kakak angkatan di Fakultasmu. Tadi pagi kita papasan di kampus. Kenapa ketika saya tersenyum padamu, kamu tidak menanggapinya?”
“Aduh, saya lupa-lupa ingat sama wajah kakak. Rasanya pernah ketemu di mana gitu, tapi ragu-ragu. Sorry ya , Kak.”
“Lain kali, jika bertemu orang yang wajahnya kau sebut lupa-lupa ingat itu, jangan ragu untuk melempar senyum dan sapaan. Senyum dan sapaan bisa mendatangkan banyak teman. Kita sama-sama orang rantau dan Cuma numpang belajar di sini, jadi butuh banyak teman agar bisa bertahan hidup. Mengerti?”
“Ya, Kak. Terimakasih.” Jawabku. Akhirnya aku disuruh berkenalan dengan kakak-kakak angkatan sebanyak duapuluh orang dan harus ingat namanya.Benar-benar keterlaluan!
Hari ketiga, orangtuaku datang menjenguk. Aku hanya diberi waktu lima menit untuk bertemu. Yang benar saja! Ayah dan ibuku datang jauh-jauh menempuh perjalanan 3 jam dengan berganti bus kota tiga kali dan aku hanya boleh menemui mereka lima menit? Aku ingin marah, tapi yang ada malah nangis.
“Sudah jangan cemen.” Komentar ibuku. Ibu membawakanku lebih banyak baju karena ketika aku datang hanya membawa beberapa stel. “Ini semua kan supaya kamu jadi anak yang kuat seperti kakak-kakak yang lain. Ikuti saja nasihat suster dan para kakak. Mereka pasti merancang ini sema dengan tujuan baik. Biar kamu tidak lamban lagi. Biar kamu tanggung jawab. Nggak kayak di rumah.” Ujar ibuku lagi. Tamu-tamu lain selain keluarga inti ditolak semua selama POSMA. Hanya diminta meninggalkan pesan dan boleh datang lagi setelah POSMA usai.
Hari keempat kami harus mengikuti retret yang dibawakan oleh seorang pastur. Aku ngantuk berat selama kegiatan itu sehingga apa yang diucapkan pastur itu hanya lewat saja. Untung teman di sebelahku baik hati. Setiap kepalaku terantuk, dia segera mencubit lenganku agar segera bangun dan tidak menuai masalah.
Hari kelima kami mengikuti misa. Sepanjang misa kudus, aku hanya melelehkan air mata saja. Teristimewa teringat bapak dan ibu yang hanya kutemui lima menit itu. Kejam banget! Sebuah tangan baik menyentuh pundakku, lantas menyodorkan tisyu untukku. Hingga kinipun peristiwa itu tidak pernah kulupa . Akupun selalu mengenang pemilik tangan baik itu. Sesama peserta POSMA yang penat namun masih sempat memperhatikan teman yang menangis di sebelahnya.
Hari keenam kami harus mengikuti jalan salib. Setelah itu renungan. Kakak-kakak itu memang keterlaluan. Masa yang distel kaset Ayah-nya Ebie GE-AD dan Ibu-nya Iwan Fals. Tentu saja mataku sampai bengap, pipiku bengkak, dan hidungku merah gara-gara menangis terus sepanjang renungan! Aku belum pernah pergi jauh dari bapak ibuku. Sekali pergi jauh, lah kok nelangsa begini! Gimana hatiku nggak tambah pilu mendengar lagu-lagu itu! Sungguh terlalu!
Hari ketujuh, pemeriksaan kelengkapan barang-barang pribadi. Apa pada bawa ember, gayung, piring, gelas, sendok garpu, sprei, sarung bantal, selimut, dan gembok? Jangan sampai pinjam-pinjam milik orang lain melulu. Kalau orang lain lagi makai, msosok gak nyuci, mosok gak makan, mosok gak tidur pakai sprei? Untung barangku lengkap! Yang gak lengkap dikerjain kakak-kakak, suruh nari, suruh deklamasi, suruh njoget! Tapi sayangnya belum kuberi nama. Akhirnya dapat hukuman juga.
“Kamu mau menampilkan kebolehan apa?” Tanya kakak.
“Acting, kak!” Semua terhenyak. Karena sejak tadi yang ada nyanyi, nari, dan deklamasi aja. Akupun maju ke tengah ruangan. Berdiri menatap langit-langit, lalu menunduk dan menjatuhkan badan. Lantas menangis keras-keras. Kuakui, itu bukan acting, tapi nangis beneran karena aku hampir gila menghadapi dua gojlokan sekaligus! Semua orang malah terkesima. Habis itu pada tepuk tangan! Huah!!! Bahkan seorang kakak bilang, kalau aku berbakat dan ikut UKM teater aja.
Hari kedelapan kami retret lagi. Itupun hanya lewat lagi. Gara-gara aku terkantuk-kantuk. Rasanya capek banget. Mata ini rasanya berat banget. Badan ini ngilu semua. Tuhan, kenapa aku tidak bisa pingsan seperti teman-teman yang lain, sehingga bisa digotong dan disuruh istirahat di ruang P3K? Dipijiti para kakak lagi! Kenapa aku malah waras terus begini menghadapi jalan sempit? Oh, Tuhan, kau benar-benar mengabulkan doaku agar kuat melampaui ini.
Hari kesembilan, kami dimarah-marahi habis sama kakak-kakak. Mosok daftar kesalahanku ada limabelas biji dan aku merasa tidak melakukan pelanggaran itu. Teman-temanku yang lain juga begitu lantas semua protes pada kakak-kakak itu.
“Daftar ini dibuat atas laporan kakak-kakak seunit kalian! Kalau kalian keberatan, tanyakan langsung pada mereka! Mereka semua sedang berdoa di halaman kapel!” Maka serentak kamipun berlari ke sana. Dan ternyata, di sana para kakak menyambut kami dengan lilin di tangan dan menyanyikan sebuah lagu dari kaset Civita “I will never forget you my people….I will carft you on the palm of my hand….I will never forget you…I will never leave you orphant…I will neve forget my own….” Mereka memeluki kami satu per satu dalam keharuan. Aku nangis lagi di pelukan kakak tertua. Selesai sudah penggojlokan ini. Hilang penatku. Terbang rasa benciku pada kakak-kakak yang selama ini kuanggap sebagai mata-mata dan pencari kesalahan.
Benar kata Silvi, belum ada sebulan aku sudah hapal peraturan asrama di luar kepala. Dan mereka benar-benar membantuku meskipun dengan cara yang mampu menguras tenaga dan air mataku. Aku nyaris gila dengan POSMA di asrama. Tapi paling tidak aku belajar sesuatu, yaitu mengungkapkan apa yang jadi perasaanku. Tidak memendamnya sendiri dan menjadi beban hidup.

KISAH SEDIH HARI MINGGU (Janan Lupakan Lingkungan, pernah dimuat di Warta Klara Bekasi Utara)

JANGAN LUPAKAN LINGKUNGAN!
Oleh Rini Giri


Dulu waktu masih jadi Mudika dan tinggal di kaki Merbabu, Jawa Tengah, para remaja biasanya dikirim ke Boyolali, Salatiga, Solo, Semarang, atau Yogyakarta untuk bersekolah. Sebab di kota kecil kami belum ada sekolah yang bermutu. Di kota-kota tempat kami menimba ilmu itu, sebagian besar diantara kami aktif dalam kegiatan kelompok orang muda berbendera Katolik. Menjadi anggota koor di lingkungan tempat kami kost, mengikuti misa mahasiswa di kampus, menjadi petugas Misa Jumat pertama di sekolah, menjadi volunteer LSM berbendera Katolik, bahkan ada juga yang menjadi pengurus PMKRI dan menjadi ketua KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) di lingkungan kampusnya.
Namun setiap hari Sabtu dan Minggu kami selalu pulang kampung. Memang ada juga yang hanya pulang dua minggu atau sebulan sekali karena kesibukan tertentu di tempatnya bersekolah. Kami selalu berkumpul di kapel kota kecil kami mulai pukul 17.00. Kadang kami latihan koor, membantu merangkai bunga dan membersihkan kapel, mendampingi sekolah minggu, mendiskusikan kegiatan Mudika yang akan datang, memperbincangkan kondisi terbaru kapel berikut umatnya, menengok saudara seiman yang sakit, melakukan kunjungan anjangsana, mengikuti kegiatan doa di suatu lingkungan, atau bahkan kadang hanya duduk di teras kapel sambil gitaran.
Sabtu dan Minggu adalah waktu istimewa bagi kami untuk bertemu kembali setelah hari-hari biasa kami lewatkan di kota lain. Sabtu dan Minggu juga menjadi saat yang spesial sebab kami bisa kembali melayani lingkungan kami yang telah beberapa hari kami tinggalkan. Sampai-sampai setelah beberapa anggota senior bekerja di kota yang lebih jauh seperti Jakarta atau Surabaya atau sudah menikah, dan jumlah kami berkurang, sebuah lagu sendu dari Koes Plus sering didendangkan sambil duduk-duduk di teras kapel, “Sabtu malam kusendiri….tiada yang menemani….di sekitar kulihat diam…tiada seindah dulu…” Setelah kami semua pergi, kini kapel kami hanya dihadiri kaum sepuh. Benar-benar Kisah Sedih Di Hari Minggu! Bahkan yang dulu statusnya stasi kini turun menjadi wilayah karena jumlah umatnya menyusut. Mudikanyapun habis.
Tapi suatu semangat yang bisa kami pelajari dari masa-masa Mudika kami adalah : janganlah pernah melupakan lingkungan! Sejauh apapun kita sudah mengikuti kegiatan gerejawi, tetap perhatikanlah lingkungan kita. Selalu kembalilah kepada lingkungan. Sebab di sanalah kehidupan umat basis berakar dan bertumbuh. Saudara seiman selingkungan adalah saudara terdekat kita. Kalau kita sedang sakit, berduka karena ada anggota keluarga yang meninggal, butuh bantuan karena mau menikahkan anak, atau butuh dukungan doa, siapa yang akan kita datangi pertama kali kalau bukan orang-orang di lingkungan?
Lingkungan pula yang telah membesarkan dan menginspirasi kita. Bukankah kita bisa aktif berkiprah di tingkat wilayah, paroki, keuskupan, dan kelompok-kelompok kategorial lainnya juga karena berangkat dari kegiatan kita di lingkungan? Di lingkunganlah kaki kita berpijak. Jika kita bisa berkarya di mana-mana tetapi melupakan lingkungan kita sendiri, bukankah seperti kacang lupa kulit? Atau berkiprah di mana-mana tapi tidak dikenal saudara selingkungan, bukankah bagaikan kecambah tanpa menyentuh tanah? Tumbuh sih tumbuh, tapi apakah akan sempurna?
Seorang saudara, aktivis perhimpunan karyawan Katolik di suatu kawasan industri, pernah mengeluh, merasa kesepian di gereja Katolik. Sebab setiap kali ke gereja, tak ada orang yang dikenalnya. Kasihan dia, aktif menggereja di tempatnya bekerja tapi tak dikenal oleh saudara selingkungannya sendiri. “Daftarkanlah dirimu di lingkungan tempat kamu tinggal. Ikuti kegiatannya dan kenali orang-orangnya. Pasti deh kamu bakalan menemukan sebuah keluarga dan tidak akan kesepian lagi jika pergi ke gereja parokimu. Namanya juga keluarga, pasti ada lebih dan kurangnya. Ada suka dan dukanya. Tapi nikmati aja demi pertumbuhan iman kita.” Usul saya. Diapun membuktikannya.
“Pak, setelah aktif di tingkat wilayah nanti, semoga semangat menggerejamu di tingkat lingkungan tidak mengendur ya.” Saya mengingatkan suami yang kebetulan dipercaya menjadi Ketua Wilayah baru. “Bukankah jika kita berani merantau biasanya juga tidak lupa kirim uang ke kampung? Jadi semakin kita banyak berkiprah di luar lingkungan, semakin banyak pula kontribusi yang kita berikan pada lingkungan. Bukan malah lupa-lupa lali. Saudara-saudara selingkungan pasti kangen. Gitu, Pak’e!” Lanjut saya. Selamat atas dilantiknya para pengurus wilayah dan lingkungan di Paroki St. Klara. Semoga Tuhan kan selalu memberkati tugas pelayanan Bapak dan Ibu sekalian.