Kamis, 25 Maret 2010

IMAN YANG MANDIRI (Warta Klara, Minggu 21 maret 2010)

IMAN YANG MANDIRI
Oleh Rini Giri


Beberapa waktu lalu seorang saudari datang ke rumah. Dulu dia seiman dengan kita, namun belakangan dia berubah keyakinan. Kalau membenci dan menjauhinya, apa bedanya saya dengan Saulus yang begitu geram pada orang-orang yang berkeyakinan lain? Saya dituntut untuk seperti Paulus, yang menghargai pengajaran yang berbeda dari yang diyakininya. Baiklah, saya terima dia tetap sebagai saudara dan saya hargai pilihan hidupnya. Supaya dia tahu bahwa sebenarnya yang ditinggalkannya adalah orang-orang yang tak pernah punya dendam dan kebencian, termasuk pada mereka yang berpaling.
“Sebenarnya aku berubah keyakinan bukan karena tidak suka atau tidak srek pada ajaran yang pernah kuterima. Apalagi membenci Yesus. Bukan. Bukan karena itu. Aku hanya kecewa pada orang-orangnya.” Begitu dia mulai curhat. “Dulu, waktu kapel di dusun itu mulai dibangun, aku yang menyumbangkan kursi-kursinya. Kupilih dari kayu jati yang paling baik. Tapi apa balasan umat padaku? Hanya karena suatu kesalahan kecil, mereka menjauhiku, tidak menghormati dan menghargaiku lagi. Orang Katolik kok kayak gitu.” Air matanyapun mulai menggenang.
Sungguh kasihan saudariku ini. Dia membangun imannya di atas pasir. Sehingga ketika hujan turun dan terjadi banjir, hancurlah rumahnya. “Jadi sebenarnya anda masih mencintai Yesus? Seharusnya Yesus saja yang anda pegang dan bukan petingkah orang-orang itu. Masih jauh lebih banyak orang Katolik yang benar-benar Katolik,” kilahku. Tapi dia sudah terlanjur tidak mau kembali. Lagi-lagi karena khawatir pada apa kata orang. Saya sedih tidak bisa membantunya.
Suatu ketika anak sulung saya yang sudah kelas 4 SD juga tidak mau ikut sekolah minggu lagi. “Di sekolah minggu sudah tidak ada si A, si B , dan si C sih. Aku kan cocoknya sama mereka.” Begitu alasannya. Rupanya teman-teman dekatnya itu sudah ikut latihan putra-putri altar di kapel. “Bukankah ikut kegiatan gereja dan memuliakan Tuhan itu tidak tergantung pada ada atau tidak adanya teman yang cocok? Tapi karena kita bersyukur dan cinta sama Yesus?” Tanya saya. Untunglah di paroki ada pelajaran komuni pertama, sehingga dia segera menemukan kawan yang cocok kembali di sana.
Begitu pentingnya kah penghormatan dan penghargaan dari umat lain, kawan yang cocok, pastor yang ideal, ketua lingkungan atau wilayah yang diidamkan, bangunan gereja yang megah, dalam pemantapan dan ketahanan iman kita? Mungkin penting. Tapi lebih penting mana ya dibanding dengan kasih dan pengorbanan yang telah diberikan Yesus? Bukankah seharusnya hanya cinta kita pada Yesus saja yang membuat iman kita layak untuk dipertahankan? Bukankah hanya persahabatan kita dengan Yesus saja yang membuat kita bersemangat untuk hidup menggereja dan menunjukkan buah-buah iman?
Ya, Yesus…tolonglah kami untuk membangun rumah di atas batu penjuru, yaitu diri-Mu sendiri. Sehingga ketika hujan datang dan air bah menerjang, bangunan kami tetap kokoh. Karena hanya tangan-Mu saja yang menyangganya. Bukan disangga oleh apa kata orang lain, komentar orang lain, sikap orang lain, dan ada atau tidak adanya kawan yang sesuai dengan keinginan hati kami.
Semoga ketika kami mengikuti-Mu, hidup menggereja, dan melakukan apa yang Kauajarkan, hanya wajah-Mu lah yang kami pandang. Hanya tergantung pada-Mu. Bukan tergantung pada siapa ketua lingkungannya, siapa ketua wilayahnya, siapa romonya, siapa kawan cocok yang hadir, seperti apa bangunan gerejanya, dan sebagainya. Jadikanlah iman kami, iman yang mandiri di atas pondasi-Mu ya Yesus.
Dan semoga kamipun bisa menjadi kawan yang cocok, orang yang menghargai dan menghormati, orang yang selalu memberikan komentar dan masukan yang positif, dan pelayan yang budiman bagi sesama. Sehingga kami pun bisa bersama-sama turut membantu-Mu saling menyangga bangunan-bangunan iman kami. Amin. Tuhan memberkati.