Rabu, 24 Februari 2010

SALDO KEBAIKAN (Warta Klara 8 November 2009)

SALDO KEBAIKAN
Oleh Rini Giri


Ibu saya sudah berusia 62 tahun, tapi masih sangat enerjik. Bahkan saya yang 29 tahun lebih muda, kalah lincahnya. Waktu datang ke Bekasi dan mengajak jalan-jalan ke sebuah mal di Bekasi Barat, dengan cekatan dia menggandeng anak-anak saya untuk naik-turun jembatan penyeberangan. Sementara saya ditinggal begitu saja agak di belakang karena ngos-ngosan.
Puji Tuhan kesehatan ibu saya begitu baik. Bahkan ketika teman-teman dekat seangkatannya mulai kurang aktif karena terserang diabetes atau kolesterol, ibu masih gesit berorganisasi dan menggereja. Dasawisma, PKK, posyandu, senam jantung sehat, WK, paguyuban lansia, ziarah, retret…wah seabrek kegiatannya. Itulah cara ibu menikmati masa pensiun.
Tante saya, adik ibu yang berusia beberapa tahun lebih muda, bahkan mulai keluar-masuk rumah sakit. Ibu juga yang mengantar dan menjaganya. Sampai-sampai saya dan adik-adik protes. Takut ibu kelelahan dan malah gantian jatuh sakit.
“Aku malah akan sakit kalau melihat saudariku menderita sementara aku diam saja. Saudara bulikmu yang paling dekat kan hanya aku. Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir. Kalau kita melakukan sesuatu yang baik, percayalah Tuhan pasti memberi kekuatan.” Begitu kilah ibu. Bahkan dia sempat menggalang dana dari saudara-saudara lain untuk biaya kemoterapi bulik. Ibu memang merasa tidak mampu memberi bantuan uang. Setiap ada saudara dan tetangga yang sakit atau sedang kesusahan dia lebih banyak memberikan tenaga dan perhatiannya.
Saya jadi mengerti kenapa Yesus saat mengutus para murid pergi berdua-dua, tidak memperbolehkan mereka membawa bekal apapun selain tongkat. Juga seorang pemuda kaya yang ingin mengikuti Yesus harus menjual dulu hartanya dan membagikannya pada orang miskin. Kalau mereka punya uang, punya banyak perbekalan, punya barang bawaan banyak, maka dalam melayani harta benda itulah yang akan mereka berikan. Tapi ketika mereka tak punya apa-apa, mereka malah memberikan lebih dari itu. Yaitu tenaga, pikiran, waktu, bahkan nyawa. Yesus berharap para murid, pemuda kaya itu, dan kita memberikan diri. Seperti Dia. Menyerahkan seluruh dirinya demi cinta-Nya pada kita.
Lantas kalau sudah begitu, nyambung juga nalar kita pada sabda bahagia Yesus. “Berbahagialah yang miskin di hadapan Allah.” Yaitu yang tidak menaruh harapan pada harta duniawi tetapi lebih mengandalkan karunia surgawi. Ya, sabda Tuhan kadang baru bisa dipahami betul jika kita melihat atau mengalami suatu pengalaman iman.
“Ibu tidak capek?” tanya saya suatu ketika.
“Apa kamu pernah capek menabung? Bisa menabung dan punya uang simpanan rasanya senang kan? Hati tentram. Hidup terasa terjamin.”
“Lho?”
“Bukan hanya tabungan uang yang kita butuhkan dalam hidup ini. Kita juga perlu tabungan kebaikan. Berbuat baik itu seperti menabung. Mungkin bukan kita yang mengunduh hasilnya. Tapi orang lain dan anak-cucu kita. Berbuat baik ya berbuat baik saja, tidak perlu berpamprih. Namun bagaimanapun juga setiap kali kita berbuat baik, apapun bentuknya, kita sudah memiliki saldo untuk kehidupan.” Wah, hebat dia. Saya tak menyangka, dibalik kesederhanaan dan bibirnya yang mudah tersenyum itu tersimpan sesuatu yang berharga.
Mungkin kesehatan, kegesitan, dan kelincahan yang dimilikinya di usia senja ini juga berkah Tuhan atas saldo-saldo kebaikan yang pernah ditabungnya sedari muda dulu. Semakin banyak menabung, semakin banyak saldonya. Semakin banyak melakukan penarikan tunai, semakin susutlah saldonya. Makin banyak berbuat baik, saldo kebaikan bertambah. Makin tegar tengkuk dan kerasan melakukan dosa, makin habislah saldo kebaikan itu. Saya pun disadarkan untuk mulai giat mengumpulkan saldo kebaikan itu. Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar