Selasa, 03 November 2009

Puisi-puisi Lintang (Beberapa pernah dimuat di MOLI, Majalah Mingguan Hidup)

YESUS YANG BAIK


YAYESUS TERIMAKASIH KARENA ENGKAU TELAH

MEMBERIKU TUBUH YANG SEHAT INI KADANG AKU LUPA

BERTERIMAKASIH PADAMU DAN LUPA BERDOA PADAMU

HINGGA SAAT INI AKU BERTUMBUH BESAR DAN DEWASA

TERIMA KASIH TUHAN I LOVE YOU AKU SAYANG PADAMU

YESUS .




THANK YOU




BUNGAKU
Oleh Skolastika Lintang Dianwidhi



BUNGAKU
BETAPA KAU SANGAT HARUM DAN CANTIK
KUPU KUPU MENGHISAP MADUMU SAAT PAGI
KU SIRAMI ENGKAU SETIAP HARI DAN KUBERI PUPUK
AGAR ENGKAU SUBUR DAN TIDAK LAYU
PADA MUSIM HUJAN ATAU KEMARAU KAU TETAP SUBUR
BETAPA ELOKNYA ENGKAU BUNGAKU
MEKAR DI HALAMAN RUMAHKU
DENGAN BERBAGAI MACAM WARNA
ENGKAULAH LUKISAN TUHAN
YANG SANGAT MENGAGUMKAN



ADIK KU
Oleh Skolastika Lintang Dianwidhi


ADIKKU ENGKAU LUCU DAN MENGGEMASKAN

SAAT ENGKAU MENANGIS KUAJAK KAU BERMAIN BERSAMA

ENGKAU CERIA KAKAK PUN GEMBIRA

SAYANGKU HANYA UNTUK DIRIMU

OH ADIKKU YANG KUSAYANGI

SEMOGA KAU CEPAT BESAR

SEHINGGA KAMU BISA BERMAIN DENGAN TEMAN TEMANMU

BISA SEKOLAH DAN BELAJAR BERSAMA

KAKAK TETAP SAYANG PADAMU HINGGA KAU BESAR NANTI

ADIKKU KAULAH MALAIKAT KECILKU

DARI TUHAN YANG DIKIRIM UNTUKKU

UNTUK MENEMANIKU DI DUNIA INI





ORANG TUAKU
Oleh Skolastika Lintang Dianwidhi



ORANG TUAKU
BETAPA KASIH MU SANGAT DALAM
ENGKAU TELAH MERAWATKU DARI KECIL
HINGGA SEKARANG INI
ENGKAU MEMBESARKANKU
DENGAN KASIH SAYANG
TERIMAKASIH MAMA
TERIMAKASIH PAPA
AKU SAYANG PADAMU
DAN SETELAH AKU BESAR NANTI
AKU AKAN MEMBALAS JASA JASA MU
YESUS TERIMAKASIH
KAUBERI AKU ORANGTUA YANG BAIK
LINDUNGILAH MAMA DAN PAPA SELALU




Yesus


Yesus engkaulah
Tuhanku
Engkau yang
Membuat tubuhku
Dengan sempurna
Aku berutang
Budi padamu
Tuhan
Sbab engkau Raja
Sgala bangsa
Dan engkau baik
Padaku
Engkau menghapus
Dosa-dosa manusia
Tiada manusia
Sepertimu
Oh---Yesus
Betapa baiknya
Engkau Yesus

Yesus engkau lahir
Di Betlehem
Di dalam
Palungan glap
Bunda Maria
Yang melahirkanmu
Dan Bapak Yusuf
Para Gembala
Menemanimu saat
Engkau lahir
Tuhan Engkau lahir

YESUS SAHABAT TERBAIKKU (Lintang, Warta Klara 25 Oktober 2009) Juara 1 Lomba menulis HUT Paroki Klara ke-11

YESUS SAHABAT TERBAIKKU
Oleh Skolastika Lintang Dianwhidi
Kelas 4 SD (9,5 tahun)
Lingkungan Antonius 3 Santa Klara


Yesus orang yang sangat sayang kepadaku dan para pengikut-Nya. Yesus sejak balita tinggal di Nazaret. Orang tua Yesus bernama Maria dan Yusuf. Yusuf seorang tukang kayu. Dari kecil Yesus anak seorang tukang kayu, tetapi Yesus menerima apa adanya. Apa yang telah dilakukan dalam pekerjaan orang tua-Nya itu baik. Yesus ikut membantu. Walau hasil kayu yang telah dijual hanya sedikit tetapi mereka tetap bekerja keras. Tahun demi tahun berlalu, Yesus telah tumbuh besar. Ia mengetahui dan mencintai Allah Bapa seperti ayah-Nya sendiri. Akupun ingin sederhana seperti Yesus dan sayang pada orangtuaku.
Yesus juga mempelajari perintah-perintah Bapa dari Ibu Maria dan pemimpin agama. Setelah belajar Yesus jadi tahu betapa besar cinta Bapa kepada umat-Nya. Setiap hari Yesus menyampaikan kabar gembira itu kepada orang lain. Di gunung dan di pantai. Ia pergi mengelilingi negeri-Nya untuk menyampaikan firman Tuhan. Walau panas, hujan dan dingin Yesus tetap mewartakan injil Tuhan. Orang-orang mendengar-Nya dengan sungguh-sungguh. Yesus berkata, “Cintailah musuh-musuhmu dan doakanlah orang-orang yang benci padamu, sehingga engkau menjadi anak-anak Tuhan yang baik.” Ajaran-ajaran Yesus baik dan benar. Akupun ingin mempelajari dan melaksanakan ajaran itu.
Yesus juga sering menghibur anak-anak. Bagiku Yesus adalah pencinta damai. Yesus juga mengajari saling memaafkan, saling menolong dan saling mengasihi. Yesus adalah guru agama, Ia mengajar dua belas murid-murid-Nya. Dia tidak pernah lelah untuk mengajar. Tapi ada juga orang yang benci pada Yesus. Mereka tidak mau mendengarkan ajaran Yesus dan mukjijat yang Ia lakukan. Tetapi Yesus terus semangat..
Yesus sahabatku yang paling baik. Saat aku sakit Yesus menemanikku, saat aku sedih Yesus menghiburku, saat aku ulangan Yesus menemaniku, dan saat aku belajar Yesus memberi kemudahan saat mengerjakan soal ujian. Dan mengingatkanku untuk terus belajar. Aku ingin seperti Yesus yang baik, lemah lembut dan penyayang. Bagiku Yesus teman yang paling baik di dunia ini.
Walau aku kadang lupa bedoa mengucapkan syukur kepadaYesus, tapi Yesus tetap sayang kepadaku dan mengingatkanku slalu. Yesus memberikan tubuh untukku dengan sempurna, dan memberikanku orang tua yang sayang kepadaku dan menyayangiku.Yesus teman baikku yang slalu menemaniku setiap waktu. Yesus tidak pernah tidur, ia tetap menemaniku tidur malam dan mengingatkanku untuk berdoa sebelum tidur.Ya Tuhan Yesus ketika aku sendirian dan ada masalah menimpaku seperti beban yang sangat berat, bantulah aku untuk menyadari bahwa Engkau selalu menyertaiku.
Yesus juga dapat menyembuhkan orang sakit hanya dengan menyentuh bagian tubuh yang sakit, seperti seorang anak perempuan Bapak Yairus. Dia mempunyai seorang anak perempuan yang sakit parah. Lalu sang ayah menemui Yesus untuk menyembuhkan seorang anak perempuan itu. Sesampai di rumah Bapak Yairus, anak itu sudah meninggal. Orang tua anak itu menangis karena anak itu anak satu-satunya. Akhirnya Yesus hanya memegang badannya saja dan anak itu bangun. Orang tua anak itu sangat berterima kasih sekali kepada Yesus, karena Yesus telah membangkitkan anaknya yang sudah meninggal. Yesus memberi penyembuhan kepada umat-Nya dan sayang pada anak-anak.
Terima kasih atas yang Engkau berikan kepada keluarga kami, Yesus. Engkau memberikan rumah yang cukup untuk kami tinggal. Engkau juga memberikan makanan untuk kami makan setiap hari. Tuhan Yesus, Engkau juga menyayangi aku dan teman-temanku. Tuhan aku kadang lupa sekolah minggu tetapi Engkau mengingatkanku untuk terus memuliakan nama-Mu. Terimakasih ya Yesus karena sudah menjadi sahabat terbaikku.Aku janji akan menyayangi teman-temanku seperti engkau mengasihiku.

Minggu, 25 Oktober 2009

JANGAN PERNAH MENOLAK (Warta Klara, 25 Okt 2009)

JANGAN PERNAH MENOLAK!
Oleh Rini Giri

Menurut surat edaran Dewan Paroki Santa Klara, proses peremajaan pengurus lingkungan/wilayah dimulai bulan Oktober ini. Kepengurusan baru periode 2010-2013 akan dilantik Ketua Dewan Paroki akhir Februari 2010. Puji Tuhan, tugas keluarga kami untuk memimpin lingkungan pun akan segera berakhir dan digantikan keluarga yang lain. Lega rasanya.
“Kenapa kok belakangan suamimu tampak kurus?” Tanya ibu mertua suatu kali.
“Oh, dia sekarang jadi ketua lingkungan, Bu.” Jawab saya jujur. Sejujur-jujurnya. Ibu mertua sampai mengernyitkan dahi.
Nah, adik ipar lah yang akhirnya menemukan relasi kedua variabel di atas. Dia datang ke rumah karena kangen pada abangnya dan ingin ngobrol. Jauh-jauh, kok cuma dapat jatah waktu beberapa menit untuk ketemu. Padahal hari Minggu. Pagi jam 09.00, suami saya ke lahan gereja mengikuti suatu rapat. Pulang, makan sebentar, lalu ke rumah sakit menengok umat yang sedang dirawat. Hingga sore. Habis mandi, pergi lagi ke doa lingkungan. Waduh !
“Mau-maunya jadi ketua lingkungan. Dapet apa coba?” Komentar kakak ipar. Mungkin adik ipar berkeluh kesah padanya tentang pertemuan yang kurang memuaskan itu.
“Secara materi aku gak dapet apa-apa. Tapi secara rohani, hidup keluarga kami terasa lebih kaya akhir-akhir ini. Aku agak kurus tapi imanku tambah gemuk rasanya.“ Itu jawaban suami saya. Dan saya amini. Amin. Amin. Amin.
Memang benar. Selama tiga tahun terakhir ini, kami semakin menemukan Cinta Yesus. Mungkin Tuhan ingin menjadikan keterlibatan kami dalam kepengurusan ini untuk semakin dekat pada-Nya. Menjadi lebih sering hadir dalam kegiatan lingkungan dan lebih banyak mengenal umat lain. Cinta tidak selalu mulus, termasuk dalam menemukan Cinta Yesus. Banyak suka-duka keluarga kami dalam menjalankan tanggung-jawab dan kepercayaan ini. Waktu, tenaga, dan pikiran lebih banyak tercurah ke sana. Puji Tuhan, kami bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Apalagi untuk melayani Tuhan dan sesama. Semuanya kami anggap sebagai proses pendewasaan kami sebagai salah satu umat Allah.
Dengan menjadi ketua lingkungan, ada suatu keuntungan tersendiri. Kami bisa mengenal puluhan KK dengan lebih baik, karena mereka selalu datang ke rumah untuk lapor dan minta tanda tangan. Kami jadi semakin sering berinteraksi dengan umat lain. Makin belajar untuk sabar dan menjadi pendengar yang baik akan segala curhat maupun masukan umat. Makin sadar akan peranan kerjasama umat basis dalam menumbuhkan iman bersama. Kegiatan di wilayah maupun paroki juga dapat menambah pertemanan kami dalam nama Yesus. Ya, jadi ketua lingkungan bukan hanya memperkaya rohani kami, tapi juga memperkaya jalinan silaturahmi. Juga menjadi suatu tantangan untuk selalu berlaku dan bersikap baik dan benar. Bukan sekedar “ja-im” lho! Soalnya yang namanya ketua dimana-mana kan harus bisa jadi panutan dan andalan.
“Lha, tapi kok badanmu kian makmur saja? Apa gak bantu suamimu dalam melaksanakan tugasnya?” tanya ibu mertua lagi. Saya hanya tersenyum.
“Putra ibu yang menabur, saya yang memanen berkah-Nya.” Jawab saya dalam hati. Soalnya, ssstttt ini rahasia, umat lebih cinta pada istri ketua lingkungan dibanding pada ketua lingkungannya. Kalau ada doa syukur di rumah umat, yang dikasih buah tangan bukan ketua lingkungannya tapi istrinya. Hehehehe.
Suatu harapan, jangan pernah menolak berkah Tuhan untuk menjadi pengurus lingkungan/wilayah. Sebab berkah Tuhan hadir saat kita mau diutus. Duabelas rasul tak pernah keberatan diutus Yesus. Bahkan Saulus yang kejipun tak kuasa menerima perutusan-Nya. Padahal tugas mereka tidak ringan. Namun nyatanya kita bisa melihat perubahan hidup rohani setelah para rasul dan Paulus rela bekerja untuk Yesus. Suatu pertobatan. Dan itu indah. Tuhan memberkati.

TUHAN MENJADIKAN SEMUA BAIK (Warta Klara, 25 Okt 2009)

TUHAN JADIKAN SEGALANYA BAIK
Oleh Rini Giri


Aku senang sekali, ketika membuka facebook dan mendapatkan permintaan pertemanan dari seseorang yang istimewa. Kawan dari masa lalu yang sangat berarti bagiku. Mungkin sudah 15 tahun kami tidak berkomunikasi. Dia yang mengajarkan lagu berbahasa Inggris pertamaku. Saat itu umurku 11 tahun. Lagu milik John Lennon…Oh, my love for the first time in my life…my eyes are wide open...Oh, my love for the first time in my life…my eyes can see…Dengan gitar dia mengiringiku menyanyi dalam suatu acara muda-mudi. Pengalaman ini membuatku membuka mata untuk pertama kalinya pada kemurahan karunia Tuhan padaku.
“Suaramu keren. Kamu pasti bisa. Menyanyi itu bisa jadi pintu untuk mendapatkan banyak teman lho.” Ujarnya menyemangatiku. Itu adalah penampilan pertamaku menyanyi solo di depan umum, sehingga aku masih malu dan ragu. Dia benar. Puji Tuhan, aku mendapat banyak teman ketika terlibat dalam beberapa kelompok koor.
Kawanku ini tidak pernah sekolah. Dia belajar segala sesuatu secara otodidak. Panas tinggi waktu kecil, membuat kakinya lumpuh dan kursi roda menjadi kepanjangan langkahnya. Namun kekurangan fisiknya tertutupi kelebihan iner-nya. Dia jago main gitar, cas-cis-cus bahasa Inggrisnya, pinter nulis, pinter ngomong, wawasannya luas, jadi penyemangat banyak teman, rendah hati, dan dalam usia muda sudah mampu memimpin doa di lingkungan. Temannya banyak. Usianya yang sepuluh tahun lebih tua, membuatku menghormatinya sebagai kakak.
Dulu, di mata kanak-kanakku, aku sangat kasihan padanya. Kenapa Tuhan memberikan tubuh yang tidak sempurna pada orang sebaik itu. Apa dosanya? Apa Tuhan yang Maha Adil juga Maha Tidak Adil sekaligus? Ketika guru SD-ku tidak jadi melibatkanku dalam lomba koor gara-gara aku tidak jitu baca not, dia malah mendukungku untuk menyanyi solo di depan banyak tamu. Bahkan dia juga mengajakku mendiskusikan lagu berbahasa Inggris itu agar aku lebih menghayatinya. Dia begitu peduli pada anak baru gede yang masih minder dan gampang patah sepertiku. Dan membantuku menemukan rasa percaya diri.
Dengan keterbatasan fisik dan talenta yang dimilikinya, dia melayani gereja maupun komunitas kaum muda di tempat tinggal kami. Dia selalu penuh senyum dan binar ceria terus memancar dari balik kaca mata minusnya. Apa dia tidak kecewa pada Tuhan? Apa dia tidak protes pada-Nya? Jika kulihat dari apa yang dikerjakannya dengan sepenuh hati, aku bisa melihat rasa syukur selalu mengalun dari hatinya. Kekurangannya justru menjadi kelebihannya dalam memuliakan nama Tuhan. Dia tidak pernah mengeluh. Tidak pernah kecil hati. Merasa dirinya tidak beda dengan kawan yang lain.
“Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” Roma 9: 21. Dari kutipan itu, kusadari, Tuhan menciptakan setiap insan secara unik. Masing-masing dengan lebih dan kurangnya. Semua untuk tujuan mulia. Agar kemuliaan nama-Nya semakin dinyatakan. Meskipun tugas dan peranannya berbeda-beda.
Kadang, dengan segala lebih yang ada padaku, akupun masih mengeluh dan merasa kurang berguna. Apalagi jika melihat kawan-kawan lain sangat sukses dalam kariernya. Aduh, rasanya aku ini seperti katak dalam batok kelapa. Kuper banget. Kegiatanku cuma muter-muter di situ-situ saja. Di rumah, RT, sekolah anak-anak, dan paling pol lingkungan gereja. Seandainya dulu aku terus bekerja, tentu akupun tak jauh dari apa yang mereka capai. Begitu pikirku.
Tapi begitu melihat kawan lamaku nongol lagi di facebook dan kabarnya dia masih giat melayani Tuhan sesuai panggilan-Nya, cara pandangku begeser. Tuhan menjadikan segalanya baik. Tidak satupun hal diciptakan untuk tujuan hina apalagi jahat. Rencana dan rancangan-Nya untuk kita adalah sesuatu yang indah. Bahkan segala kekurangan pun mampu dijadikan-Nya kelebihan untuk berkarya. Dan segala keterbatasan lingkup bergaulku, mungkin memang harus kukelola untuk lebih maksimal dalam melayani sesama di lingkup itu. Terimakasih Tuhan. Tuhan kan memberkati.

Senin, 12 Oktober 2009

MENERIMA IMAM APA ADANYA (Warta Klara, 4 Oktober 2009)

MENERIMA IMAM APA ADANYA
Oleh Rini Giri

Membaca Buletin Refleksi Tahun Imam Keuskupan Agung Jakarta, membuat hati saya tergetar. Menjadi seorang imam itu ternyata tidak semudah yang saya lihat. Tinggal di pastoran yang bersih dan rapi, segala keperluan sudah dilengkapi, dan semua umat siap menghormati. Wah! Ternyata seorang imam harus selalu siap untuk melayani, mendampingi, berkolaborasi, menjalani hidup suci, tidak tergoda pada hal duniawi, domba yang hilang harus dicari, siap diomongi, bahkan juga harus siap mati. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi seorang imam. Belum lagi menghadapi umat yang aneka-ragam latar belakang, pandangan, dan keinginannya.
Umat dengan gampang mengajukan kriteria imam ideal. Antara lain: yang mengerti umatnya, yang membaur, yang gampang dihubungi, yang bisa jadi teladan, yang sederhana, yang komunikatif, yang setia pada janji Imamatnya, yang ngemong umat, yang selalu siap melayani, yang tidak galak, yang kotbahnya menggugah, yang memimpin misa-nya tidak bikin ngantuk, yang ramah, yang mudah bergaul, yang rendah hati, yang tidak gila hormat….walah, banyak banget!!! Biasanya umat akan ngedumel kalau ternyata imamnya tidak sesuai dengan gambaran ideal mereka.
Apakah para imam juga pernah melemparkan kriteria umat ideal baginya? Yang aktif, yang gampang diajak kerjasama, yang tidak ngumpet kalau dimintai iuran, yang punya inisiatif, yang kreatif, dll. Tidak! Imam yang datang ke dalam suatu paroki, selalu menerima begitu saja umat yang ada. Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Kekurangan umatnya biasanya akan dijadikan tantangan untuk menemukan format penggembalaan yang lebih tepat. Sedangkan kelebihan umat akan dijadikan sarana untuk semakin memajukan paroki yang dipimpinnya.
Sebagai umat, kitapun perlu menerima imam apa adanya. Apalagi mereka adalah orang-orang yang terpilih dan terpanggil. Sudah dipersiapkan dengan baik untuk melayani gereja Allah. Menerima kekurangan mereka secara manusiawi dan memberikan kelebihan umat untuk bersama-sama membangun paroki. Mensyukuri kelebihan mereka supaya dengan anugerah itu, kekurangan-kekurangan dalam diri umat dapat diolah untuk menjadi lebih baik. Intinya, tidak ada imam yang ideal. Hanya Yesus imam yang ideal. Tak ada pula umat yang ideal. Jemaat perdana adalah komunitas kristen yang paling ideal. Yang bisa kita lakukan bersama hanyalah meneladan imam dan jemaat ideal itu. Jadi, kerjasama antara gembala dan umatnya lah yang akan mengantar kita pada kondisi yang mendekati ideal. Para imam meneladan Yesus dalam melayani dan umat pun bahu-membahu meneladan jemaat perdana dalam membangun komunitas. Saling melayani. Bekerjasama.
Dalam Novel Pohon-Pohon Sesawi, karya Romo Mangunwijaya, bab Pohon-Pohon Di Pekarangan Paroki, diceritakan bahwa jika paroki itu diandaikan sebuah kebun maka di dalamnya ada pohon kelapa, sawo, sukun, durian, pisang, pepaya, bahkan berbagai jenis bunga. Begitu banyak dan berbeda-beda, namun toh semuanya anggota kebun dan punya kontribusi masing-masing pada si empunya kebun (Yesus). Si tukang kebun (imam) harus menerima dan merawat semuanya dengan baik. Sebab dia dipilih dan dipercaya oleh TUAN-nya. Meskipun si durian berduri, meski si pisang banyak getah, si sawo banyak ulat bulunya, dll. Tak boleh pilih kasih.
Dan para penghuni kebun itu tentunya akan tetap berbuah limpah pada musimnya, tanpa memandang siapa yang jadi tukang kebun kala itu bukan? Yang menjadi alasan bagi para pohon untuk selalu berbuah bukan tukang kebunnya tapi TUAN si empunya kebun. Jadi, dalam sebuah paroki, siapapun imam-nya, seyogyanya tidak jadi soal. Sebab umat berkarya bukan dalam nama imam tapi dalam nama IMAM AGUNG yaitu Yesus sendiri. Bekerjasama, saling melayani, dan saling mendukung antara imam dan umat adalah suatu relasi ideal demi kemajuan suatu paroki. Tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk saling mengkritik dan memberi masukan. Selamat Tahun Imam. Tuhan memberkati.

SEMUA JADI JUARA (Warta Klara, 11 Oktober 2009)

SEMUA JADI JUARA
Oleh Rini Giri


“Hai, kamu nomor undian berapa? Doain aku ya! Kelompokku sebentar lagi maju nih!” Ujar seorang anak pada teman di depannya. “Habis kamu, baru kelompokku. Deg-degan nih. Doain aku juga ya.” Jawab kawan di depannya. Tapi MC segera memberi aba-aba pada hadirin untuk mengucapkan kata “Bayem!” Supaya mulut terkunci dan ruangan menjadi tenang. Acara akan segera dimulai. Pukul 09.00 thet! Obrolan kedua anak beda lingkungan itupun terputus. Tapi toh ada anak lain yang usil dan malah mengucapkan kata ”Kangkung!” atau “Buncis!”sehingga ruangan tak kunjung reda dari gemuruh obrolan setengah berbisik.
Itulah sekelumit perbincangan anak-anak yang sempat terdengar dalam Festival Koor Anak dalam memeriahkan HUT Paroki Santa Klara ke-11. Ada 15 kelompok paduan suara anak yang hadir dalam perhelatan tanggal 27 September 2009, di Gedung Serba Guna Seroja itu. Masing-masing dengan kekhasan-nya sendiri, baik pakaian, suara, maupun geraknya. Semua ingin menampilkan yang terbaik. Nyatanya, kelimabelas kontingen pun menjadi yang terbaik, sebab tak ada pujian dan nyanyian yang cela di hadapan Tuhan. Apalagi jika dilantunkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Meskipun di akhir acara, juri memberikan banyak koreksi tehnis, tapi kan kesungguhan dan semangat untuk memuliakan Tuhan tak bisa dikoreksi.
Panitia rupanya berhasil menjadikan festival koor ini sebagai ajang pesta, bukan perlombaan yang penuh persaingan. Sukses buat panitia. Apalagi dekorasi balon dan bingkisannya, meski sederhana, cukup mendukung. Terdengar seorang anak berujar,”Wah, gerakan dan kanon kelompok Si Anu kompak banget ya. Latihannya pasti lama tuh.” Temannya nimbrung, ”Kelompok kita cuma latihan empat kali, mana bisa begitu.” Sebuah pujian tulus bagi kelompok lain yang tampil lebih OK dan pengakuan sportif atas kekurangan diri.
Apalagi dalam ajang ini, anak-anak bertemu dengan teman satu sekolah yang kebetulan beda lingkungan. Atau pernah jadi sesama peserta komuni pertama. Sehingga persaingan ketat seperti pada kebanyakan lomba tidak terjadi. Mungkin mereka tahu bahwa peserta lain adalah teman seiman dan segereja, yang sama-sama ingin memuji Tuhan. “Nyanyinya yang sungguh-sungguh, tapi jangan jadi beban ya. Pokoknya kayak kalau tugas koor di gereja itu. Menyanyi untuk Tuhan Yesus. Bagi Yesus, suara nyanyian semua anak bagus kok.” Ujar seorang pembina menyemangati.
Setelah semua peserta menampilkan yang terbaik untuk Yesus, para hadirin dihibur dengan lagu-lagu yang dilantunkan peserta KEP. “Lho, kok ibu-ibu juga ikut lomba, Bu?” tanya seorang anak. Dia mengira ibu-ibu peserta KEP dengan seragam putih dan selendang batik itu juga saingan mereka. Setelah itu, Romo Alex dan Romo Justin juga menyumbang lagu. Romo Dominikus pun hadir dan disambut meriah oleh anak-anak. Menjelang pengumuman hasil lomba, seorang pemuda bernama Doni melantunkan “Status Palsu” dan “Tak Gendong Kemana-mana”. Anak-anak sangat antusias ikut menyanyi. “Wah, ironis sekali. Coba kalau nyanyi lagu pujian sesemangat dan seheboh ini.” Komentar seorang ibu. Itulah tantangan kita, terutama para pembina BIA, untuk membuat lagu-lagu rohani jadi “hit” di telinga dan hati anak-anak. Apalagi Seksi Liturgi sudah menyumbangkan 20 lagu untuk dipelajari.
Sepulang dari acara itu, tak tampak mendung dari wajah anak-anak yang tidak berhasil membawa piala. Bahkan di panggung, saat pengumuman pemenang dan pembagian hadiah, sempat terjadi seorang anak yang kalah menyalami temannya yang menang. Puji Tuhan. Ada 3 pemenang Lomba Baca Kitab Suci BIA, 3 pemenang Lomba Baca Kitab Suci BIR, 1 pemenang Lomba Menulis BIA, 1 pemenang Lomba Menulis BIR, 1 dirijen terbaik, dan 6 kelompok pemenang Festival Koor. Selamat untuk para pemenang.
“Ma, kita sudah kompak banget. Bandana kita saja keren. Pakai kupu-kupu lagi. Barisnya rapi. Suaranya kenceng. Tapi kok nggak dapat piala ya, Ma?” tanya seorang anak, saat acara usai pukul 12.00. “Yang penting kamu dan teman-teman punya pengalaman. Sudah bekerjasama dengan kompak. Ketemu banyak teman dari lingkungan lain. Di mata Tuhan Yesus, semua anak jadi juara kok.” Anak itupun tersenyum. Puji Tuhan. Kami merindukan acara seperti ini lagi.

Senin, 14 September 2009

MENCINTAI SABDA-NYA SEJAK KECIL (Warta Klara 13 Sept 2009)

MENCINTAI SABDA-NYA SEJAK KECIL
Oleh Rini Giri


Ayah dan Ibu saya dulu bukan Katolik. Suatu berkah istimewa jika akhirnya mereka menikah di Gereja Katolik. Tapi, kekatolikan yang diturunkan pada saya sangat minim. Bahkan saya baru mulai sering mendengar sabda Tuhan setelah SMA dan kuliah, dari para pembimbing retret. Dan setelah dewasa, barulah saya tergerak untuk lebih banyak belajar. Seperti rusa di padang tandus yang rindu akan air.
Mengenal dan mencintai sabda-Nya sangat penting. Sebab sabda Tuhan adalah kebenaran dan hidup. Pegangan kita. Maka saya sebagai seorang ibu, tidak ingin anak-anak saya memiliki nasib serupa dengan saya. Menjadi Katolik sejak lahir bahkan dibabtis ketika umur baru beberapa bulan, namun malang, hanya sedikit sabda Tuhan yang sampai ke telinga saya.
“Ibu, tadi di sekolah, Bu Guru Agama nanyain : Nabi Musa waktu bayi dibuang ke sungai mana? Nggak ada satupun temanku yang tau! Lalu aku bilang : Sungai Nil. Bu Guru nanya : kok kamu tau? Lalu aku bilang : kan Ibu saya udah ceritain ke saya.” Tutur anakku saat kelas 1 SD. Puji Tuhan. Saya memang menceritakan tokoh-tokoh Alkitab sebelum mereka tidur.
Ketika anak saya batita, di bawah tiga tahun, saya hanya memperlihatkan gambar-gambar sambil menceritakan sedikit intinya dengan kata-kata sendiri. Lalu mereka jadi mengenal tokoh hanya dengan melihat gambar. Kalau melihat orang dengan kapal besar dan banyak binatang, mereka jadi tahu,”Itu Nabi Nuh!”
Ketia anak saya balita, saat TK, saya mulai memperkenalkan tokoh dan peristiwa. Masih menggunakan gambar namun disertai narasi singkat dengan kata-kata yang mudah dipahami anak. Mereka mulai tahu, gambar malaikat dan gadis itu adalah Malaikat Gabriel dan Maria. Maria menerima kabar gembira dari Allah yang disampaikan Malaikat Gabriel. Dia akan mengandung dan melahirkan Yesus.
Ketika anak saya mulai masuk SD, sayapun mulai bertanya, “Dari tokoh Alkitab itu, apa yang bisa kita contoh, atau apa yang tidak boleh kita tiru?” Alkitab menguak kebenaran dan tidak menutupi kesalahan. Sangat jujur dan berimbang. Misalnya tentang Kain dan Habel. Yang layak ditiru adalah ketulusan Habel dalam memberikan persembahan pada Tuhan. Yang tidak boleh ditiru adalah sifat iri Kain pada adiknya.
Ketika anak saya mulai lancar membaca dan bisa paham apa yang dibaca, diapun membaca buku Alkitab untuk anak-anak. Kadang dia dengan bangga mengatakan,”Bu, aku udah sampai di Zakeus!” Lalu kamipun menggosipkan Zakeus. Misalnya, “Kok Zakeus mau ya memberikan hartanya buat orang miskin?” Anak sayapun nyeletuk,”Kan udah tobat.” O, iya, ya. Lalu lagu Zakeus Orang Pendek pun kami dendangkan. Lagu ini memudahkannya untuk mengenang peristiwa Zakeus.
Ketika anak saya makin besar, diapun mulai berkenalan dengan Alkitab yang diterjemahkan langsung dari aslinya. Alkitab dengan tanda panduan untuk tiap kitab adalah pilihan saya. Sehingga mudah mencari posisi suatu kitab. Anak sayapun mulai belajar cara membuka Alkitab. Misalnya mencari Injil Matius 5: 13-16. “Cari tanda MAT, buka, setelah itu temukan angka besar 5, baru kemudian angka kecil 13 sampaidengan 16.” Setelah ketemu, saya akan bertanya,”Apa judulnya?” Diapun menjawab,”Garam dunia dan terang dunia.” Hebat! Puji saya.
Lomba baca Alkitab BIA dan BIR, yang diadakan di Kapel Asri tanggal 6 dan 13 September 2009, oleh ibu-ibu WP, dalam rangka HUT Klara ke-11, juga bisa menambah rasa cinta anak-anak pada Sabda Tuhan. Merekapun punya pengalaman tampil di depan umat. Apalagi setelah selesai, ada tambahan dari Dewan Juri (Pak Ernest Maryanto) tentang tips menjadi lektor yang baik. Anak saya jadi ketagihan. “Adain lomba baca Alkitab di lingkungan dong, Bu.” Puji Tuhan.

Rabu, 09 September 2009

BLEWAH MELIMPAH!!! OLAH SECARA MURAH!!!

BLEWAH MELIMPAH
MAU DIBIKIN APA???

Oleh Rini Giri

Bulan Ramadhan seperti ini, di Bekasi dan sekitarnya kebanjiran buah blewah. Buah dengan kandungan air dan serat yang tinggi. Rasa dan wanginyapun khas. Harganya murah. Tapi jika dimakan begitu saja rasanya kurang pas, sebab kadar rasa manisnya minim. Nah, ini dia beberapa resep yang telah dicoba BU GIRI. Mengolah BLEWAH dengan MURAH.
Resep-resep ini tentu sangat cocok untuk buka puasa. Dan memang dipersembahkan secara khusus bagi saudara-saudari yang tengah menjalankan ibadah puasa. Tapi yang gak puasa juga boleh mencoba. Ditanggung dapat ciuman deh setelah menyuguhkan resep ini. Soalnya saya juga dicium melulu nih sama Lintang dan Justine, anak saya. Bapaknya juga malah ikutan!!!
Udah murah, mudah, bergizi, tanpa zat-zat tambahan yang tidak alami, dan tentu bisa membawa berkah bagi anda sekeluarga. SELAMAT BERBUKA PUASA!!!!

1. JUICE JINGGA (Untuk 10 porsi) Hanya dengan modal -/+ Rp. 5.000,000

Bahan : 1 buah blewah kecil Rp. 2.000,00 + 4 buah tomat yang sudah merah Rp. 2.000,00 + 3 gelas belimbing air masak + 6 sendok makan gula pasir/ selera.
Alat : Blender, gelas kaca transparan 10 buah, sedotan, irisan tomat
Cara : Blender tomat, 1,5 gelas air, dan 3 sendok makan gula pasir. Setelah halus tuang ke
gelas, masing2 separoh gelas saja. Blender blewah yang sudah dibuang biji dan kulitnya
dengan 1,5 gelas air dan 3 sendok makan gula pasir. Tuang ke atas jus tomat. Simpan di
lemari es paling tidak 1 jam. Hidangkan dengan sedotan dan irisan tomat di bibir gelas.


2. ES CAMPUR MERAH (untuk 6 porsi) Hanya dengan modal -/+ Rp. 7.500,00

Bahan : 1 buah blewah kecil Rp. 2.000,00 dikeruk. + ¼ kg tape singkong, potong dadu Rp. 1.500,00 + 1 botol kecil Fanta merah Rp. 2.500,00 + 1 mangkuk es batu hancur + 2 gelas air matang + 4 sendok makan gula pasir.
Alat : mangkuk kaca bening besar, sendok makan untuk mengeruk, pisau untuk potong tape,
centong sayur, 6 gelas kaca bening dan sendok juice berwarna.
Cara : Masukkan fanta dan gula ke mangkuk kaca, aduk hingga gula larut. Masukkan es batu
hancur ke mangkuk. Lalu blewah keruk, tape potong, dan air. Aduk pelan sehingga
tercampur tapi tidak hancur. Siap deh jadi koktail.

3. YELOW LAKE (untuk 8 porsi) Hanya dengan modal -/+ Rp 9.000,-

Bahan : 1 buah blewah kecil Rp. 2.000,00 + 1 bungkus agar-agar jely rasa melon Rp. 2.800,00 + susu kental manis putih 2 sacet Rp. 2.600,00 + es batu hancur + 3 gelas air matang + 5 sendok makan gula pasir.
Alat : blender, panci, sendok sayur, sendok makan, gelas, mangkuk besar.
Cara : Blender separuh blewah yang dibuang isi dan kulitnya beserta 2 sendok gula dan 1 gelas
air. Taruh di mangkuk bersama es batu hancur dan 1 gelas air. Agar2 yang sudah
dimasak dengan 3 sendok gula dan 1 gelas air didinginkan lantas dipotong dadu.
Masukkan ke adonan. Tuang separuh blewah yang dikeruk. Tuang 2 sacet susu kental.
Aduk pelan hingga campur tapi tidak hancur. Siap jadi koktail.


SELAMAT MENCOBA. TUHAN MEMBERKATI. BOLEH DICONTEK/DIJIPLAK/DIKLAIM. Justru menguntungkan para petani dan pedagang blewah!!!!

Kamis, 03 September 2009

TERIMAKASIHKU PADA TOLE (Yang membuat hatiku tidak miskin lagi)

TERIMAKASIHKU PADA TOLE
Oleh Rini Giri

Sore itu aku mendapat tugas untuk melakukan observasi ke panti asuhan bersama beberapa teman. Mudika Paroki akan menyelenggarakan bakti sosial. Dikota kami ada dua buah lembaga sosial semacam itu. Keduanya dikelola oleh yayasan-yayasan yang sudah mapan. Fasilitas fisik yang mereka miliki sangat bagus dan lengkap. Para donatur yang peduli pada keduanyapun sangat banyak. Bahkan ketika aku bertanya kapan kami bisa berkunjung, para petugas menyodorkan buku daftar calon tamu dan kami harus masuk dalam antrian. Kamipun pulang dengan perasaan bimbang. Keesokan harinya kami melaporkan hasil studi kelayakan itu dalam rapat panitia.
“Udah kaya masak masih akan disumbang? Lebih baik kita cari panti asuhan di luar kota yang benar-benar masih butuh bantuan. Jadi bantuan kita akan tepat sasaran.”
“Tapi ke luar kota kan biayanya juga besar? Daripada untuk ongkos transport lebih baik untuk tambahan sumbangan kan?” komentar yang lain.
“Eh, ngomong-omong, menyumbang itu kan nggak usah melihat kaya atau tidaknya sebuah yayasan sosial? Meskipun kelihatannya mapan, tapi kan mereka tetap butuh logistik dan dana untuk kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya?” sanggah yang lain.
“Atau kita ganti saja deh bentuk kegiatannya!” Usul yang lain lagi.
Rapat pagi itu jadi buntu. Mau tetap menyumbang ke salah satu panti asuhan itu tapi takut tidak tepat sasaran. Mau menyumbang ke panti asuhan di luar kota tapi khawatir menghabiskan banyak biaya transportasi. Lantas bagaimana dong? Aku sebagai bendahara hanya diam saja. Tidak bisa memberi masukan maupun usulan. Ketua Mudika juga tidak bisa membuat keputusan. Bentuk kegiatan bakti sosial yang akan diadakan kembali mentah.
“Mar, ini ada dana yang baru masuk dari Lingkungan Yohanes Pemandi. Jumlahnya satu juta tigaratus ribu rupiah. Tolong diterima ya.” Bosko, anggota Seksi Penggalangan Dana menyodorkan sebuah amplop coklat padaku. Segera kubuka dan kuhitung uang titipan umat itu. Jumlahnya pas. Segera kubuatkan tanda terima dan amploppun aku masukkan ke dalam tas.
Siang itu aku pulang dengan menumpang mini bus. Bangku penuh dan aku terpaksa berdiri dengan beberapa penumpang lainnya. Di sebuah halte, bus berhenti dan beberapa penumpang naik. Seorang bocah pengamen juga naik dan mulai memainkan alat musiknya…cik…icik…icik…icik…Aku merogoh kantong jeansku dan hanya kutemukan koin gopek di sana. Dia mengangguk penuh hormat ketika koin itu kumasukkan ke dalam kantung permen bekasnya. Aku tersenyum.
“Awas, Mbak! Ada copet!” Tiba-tiba pengamen cilik itu berteriak. Aku terkejut dan segera menoleh. Tanganku sepontan meraba tas dan sebuah tangan kekar sudah memasukinya. Segera kutarik tangan itu sekuatnya. Amplop cokelat dari Bosko akhirnya jatuh ke lantai bus dan segera kuraih. Si empunya tangan sudah keburu turun ketika bus berhenti. Amplop itu kumasukkan lagi ke dalam tas dan kudekap erat.
“Makasih ya, Dik.”
“Sama-sama, Mbak.” Anak laki-laki itu tersenyum bangga. Kami menjadi pusat perhatian para penumpang. “Lain kali hati-hati!” ujarnya, lantas bergegas turun ketika bus berhenti lagi untuk menaikkan penumpang. Buru-buru aku mengikutinya.
“Tunggu!” Anak itu menoleh. “Sekali lagi terimakasih ya.” Dia mengangguk. Segera kubuka dompetku dan kutemukan selembar uang ungu di dalamnya. “Ini untuk kamu. Terimalah, sebagai ucapan terimakasih.” Anak itu menatapku sejenak lantas menggeleng. Aku sedikit memaksanya untuk menerima tapi dia tetap tidak mau.
“Emak saya bilang, kalau menolong orang harus tulus. Nggak boleh pamprih. Saya takut kena marah Emak ah.”
“Ya sudah. Kalau begitu, mau ikut aku sebentar nggak?” Aku mengajaknya ke sebuah warung dan membeli beberapa bungkus biskuit. “Ini oleh-oleh buat Emakmu yang sangat bijaksana itu.” Kusodorkan tas plastik itu padanya. Dia menggeleng.
“Mbak aja deh yang kasih sendiri. Nanti Emak mengira saya nyolong.” Aku tersenyum. Lantas akupun mengikuti langkahnya menuju sebuah perkampungan di bawah jembatan tidak jauh dari tempat itu. Kamipun berkenalan. Anak itu bernama Tole. Perkampungan itu terbentang di sepanjang pinggir kali. Rumah-rumah kecil terbuat dari papan-papan kayu bekas dan tambalan kardus disana-sini.
“Kamu pemberani ya?”
“Yang mau nyopet Mbak Maria tadi cuma mahasiswa kurang uang, jadi penakut! Kalau yang nyopet preman daerah sini, mana saya berani, Mbak. Bisa digorok saya!”
Anak-anak telanjang dengan perut membusung berlari-larian di jalan setapak yang kami lalui. Bau kurang sedap merayapi hidungku. Beberapa perempuan duduk-duduk di depan pintu sambil mencari kutu. Seorang anak balita menangis di dekat jemuran dan lalat mengerumuninya. Aku bergidik. Tidak pernah terpikirkan olehku ternyata di salah satu sudut kota kelahiranku ini ada sebuah pemukiman seperti ini.
Emak Si Tole menyambutku dengan ramah di rumah gubuknya. Adik-adik Tole sangat senang menerima oleh-olehku. Emak Si Tole mengasuh empat anak yang semuanya ternyata bukan anaknya sendiri. Panti asuhan mini yang menyedihkan.
“Si Tole Ibunya sudah mati. Si Tika dulu dibuang di pinggir kali situ. Si Tini anak perempuan jalang yang nggak terawat. Si Tikno dititipkan di sini karena Ibunya masuk bui. Padahal saya ini cuma buruh cuci harian.” Tutur Sang Emak dengan air mata berlinang. Anak-anak di kampung itu kurang gizi, kurang diperhatikan kesehatan dan kebersihannya, serta tidak sekolah. Mereka sangat memprihatinkan.
Akhir bulan, Mudika menggelar pasar murah di kampung itu setelah minta ijin dari pengurus RT dan RW setempat. Beras, susu, terigu, minyak goreng, gula, sabun cuci, peralatan mandi, vitamin anak-anak, dan obat-obatan, yang kami beli dengan dana yang telah terkumpulkan, kami jual dengan harga sangat murah. Sepersepuluh dari harga sesungguhnya. Dengan membeli, harga diri warga kampung itu tetap terjunjung tinggi. Mereka tidak akan merasa diperlakukan sebagai penerima barang gratisan yang harus dikasihani seperti pengemis. Mereka lebih bangga jika bisa membeli di pasar murah daripada hanya menengadahkan tangan menerima barang sumbangan. Dengan membeli, mereka merasakan kesamaan derajat dengan si penjual. Kami bisa menjalin persaudaraan.
Mudika juga merencanakan sebuah program pendampingan belajar bagi anak-anak. Tole dan adik-adiknya tidak punya kesempatan untuk bersekolah karena tidak ada uang. Padahal mereka juga ingin bisa membaca dan berhitung seperti anak-anak lainnya.
Aku sangat bersyukur karena usulanku untuk mengadakan bakti sosial di kampung itu direalisasikan oleh Mudika. (Bekasi Utara, 2007)

Rabu, 02 September 2009

KEMBAR TAPI BEDA (Buat Ayu dan Ade juga buat Atala dan Atila)

KEMBAR TAPI BEDA
Oleh Rini Giri



Namaku Lintang. Aku dan Tawang anak perempuan kembar. Wajah dan gaya kami sama persis. Hanya ayah, ibu, dan pengasuh kami saja yang bisa membedakan. Orang lain sering keliru saat memanggil nama kami. Bahkan saudara dekat, guru, dan teman-teman sering keliru.
Sejak masih bayi hingga sekarang, ibu selalu mendandani kami seragam. Potongan rambut, baju, tas, sepatu, dan segala macam asesoris lainnya selalu sama. Warnanyapun sama. Itu membuat kami seperti pinang dibelah dua. Orang lain jadi sulit membedakan kami. Apalagi tidak ada tanda lahir, bekas luka, atau tahi lalat yang bisa dijadikan tanda.
Nama kami memang agak aneh. Biasanya anak kembar diberi nama hampir sama. Misalnya Dina dan Dini, Nina dan Nani, atau Rina dan Rini. Kata ayahku, nama kami diambil dari kosa kata Bahasa Jawa. Lintang artinya bintang. Tawang artinya cakrawala. Bintang selalu terlihat di cakrawala. Mereka selalu bersama dan bersatu. Bintang dan cakrawala tak akan pernah terpisahkan. Begitu juga harapan orang tuaku. Mereka ingin kami selalu rukun dan bersama dalam suka dan duka.
Tapi bagiku, menjadi anak kembar itu banyak dukanya. Tawang suka memanfaatkan kesamaan fisik kami. Kebetulan kami beda kelas. Tawang paling tidak suka pelajaran matematika. Setiap kali ulangan, dia selalu memintaku untuk bertukar tempat. Dia tidak ingin mendapat nilai jelek. Begitulah, aku pura-pura jadi Tawang. Tawang pura-pura jadi aku. Selama ini tidak ada yang curiga.
Pada lebaran tahun lalu, kami sekeluarga pulang ke rumah nenek. Nenek membagi-bagikan uang kepada cucu-cucunya. Waktu itu aku sedang bermain di kebun, sehingga tidak tahu. Nenek memberi uang lebih dulu kepada Tawang. Tawangpun disuruh memanggil aku. Tapi rupanya Tawang hanya pura-pura memanggilku. Dia datang lagi pada nenek dan mengaku bernama Lintang. Akhirnya dia mendapatkan dua amplop sekaligus. Aku cuma gigit jari. Aku benar-benar jengkel padanya.
“Aku tidak mau lagi, Ta. Kamu selalu curang! Lagipula nanti kalau Bu Guru tahu, kita bisa kena hukuman.” Aku berusaha menolak saat Tawang menyuruhku ikut ulangan matematika di kelasnya. Dulu, aku memang mau menggantikannya karena merasa kasihan. Aku tidak mau dipuji karena mendapat nilai bagus sementara saudaraku dimarahi karena nilainya jelek. Tapi lama-kelamaan aku menyadari bahwa perbuatan itu salah. Aku kesal karena Tawang selalu tergantung padaku. Akupun ketinggalan banyak pelajaran di kelasku.
“Tolong deh, Lin. Sekali lagi saja. Besok-besok enggak lagi kok.” Tawang berusaha merayu dengan wajah memelas. “Masa sih kamu tega kalau aku dapat nilai jelek? Kan malu, Lin.” Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Tapi aku benar-benar sudah bosan dengan itu semua.
“Aku tidak mau! Titik! Kamu harus berusaha sendiri, Ta!” Bentakku keras. Muka saudaraku jadi pucat seketika. Dia menangis.
“Kamu jahat, Lin! Kamu Jahat!” Katanya sambil berlari meninggalkanku. Dia marah dan sakit hati. Sejak saat itu kekompakan kami sebagai saudara kembar seolah-olah hilang.
Aku benar-benar kesal. Ayah dan ibu selalu memperlakukan kami dengan cara yang sama. Gara-gara Tawang suka menyanyi, akupun harus ikut les vokal bersamanya. Padahal aku tidak suka menyanyi. Aku ingin punya sepeda, maka ayah membelikan dua sepeda yang sama persis untuk kami. Semua makanan dan benda-benda yang kami miliki selalu sama. Bahkan nilai ulangan matematikapun harus sama. Sungguh menyebalkan! Padahal aku punya keinginan dan selera sendiri.
Ayahku berkata, semua itu dilakukan supaya kami selalu kompak. Tidak saling iri. Begitulah selayaknya menjadi anak kembar. Tapi ternyata, sama rata dan sama rasa itu malah membuat kami bertengkar. Orang lain juga tidak bisa membedakan kami dengan baik. Selalu salah memanggil. Itu benar-benar menjengkelkan.
Minggu sore yang cerah, ayah dan ibu mengajak kami jalan-jalan ke pertokoan. Kami ingin membeli baju. Aku bersemangat sekali. Kubayangkan sebuah celana jeans dengan bordir bunga dan blus pink dengan pita-pita akan menjadi milikku.
“Bu, aku mau jeans dan blus pink ya.” Pintaku.
“Ya, lihat saja nanti. Ibu akan cari yang cocok untuk kalian.” Jawab ibuku. Ibu terus memilih baju untuk kami. Aku dan Tawang sibuk dengan pilihan masing-masing. Tak lama kemudian ibu memanggil. Dua potong baju yang sama persis diperlihatkan pada kami.
“Tidak mau!” Teriak kami bersamaan. Muka kami cemberut. “Aku maunya yang ini!” Kataku sambil menunjuk pilihanku. Tawang pun demikian. Ibu kebingungan dengan sikap kami.
“Ada apa dengan kalian? Biasanya kalian selalu memilih baju yang kembar kan?”
“Tapi sekarang tidak, Bu. Aku mau yang ini.” Jawabku ngotot. Ibu semakin bingung. Segala bujuk rayunya tidak mempan lagi.
Ibu tidak ingin kami ribut di toko baju itu. Dia mengabulkan keinginan kami memilih baju yang beda. Setelah itu ayah dan ibu mengajak kami makan di gerai bakso agar kami bisa ngobrol.
“Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya kalian seperti ini?” tanya ayah. Kuceritakan semua kepada ayah dan ibu. Aku benar-benar ingin berbeda dari Tawang. Dengan begitu orang akan bisa mengenali kami satu persatu dengan baik. Tawang juga tidak akan bisa memanfaatkanku lagi demi nilai matematika yang sama. Ayah dan ibuku terkejut mendengarnya.
“Selama ini ayah dan ibu sama sekali tidak menyangka kalau perlakuan sama ternyata justru memecah belah kalian.” Ayah menyesal.
“Benar. Sekarang kalian sudah besar. Selama sepuluh tahun ini, kalian diam saja diperlakukan secara sama, karena kalian masih kecil. Mulai sekarang kalian boleh menentukan keinginan kalian sendiri. Tidak harus selalu seragam meskipun kalian anak kembar. Kalian adalah dua orang yang berbeda.” Ibu juga menyesal.
“Tawang, mulai sekarang kamu harus berusaha sendiri. Nilai matematika anak kembar kan tidak harus sama. Kemampuan kalian kan berbeda.” Nasihat ayahku. Tawang kelihatan lega.
“Nah, sekarang kalian harus baikan lagi. Ayo salaman!” Ibu meraih tangan kami agar bersalaman. Aku dan Tawang saling pandang dan tersenyum. Kamipun bersalaman.
“Ayah senang anak-anak ayah sudah akur lagi.”
“Kalian harus tetap kompak sebagai anak kembar. Kompak bukan berarti harus selalu berpenampilan sama. Juga bukan berarti bisa saling tukar tempat saat ulangan. Bohong itu dosa lho.” Ibu membelai rambut kami.
Aku senang sekali, ayah dan ibu mau mengerti aku. Aku berjanji akan selalu membantu Tawang belajar menjelang ulangan matematika. Bukankah itu kompak yang baik? Dia juga menyesal telah berbuat curang. (Bekasi Utara, Mei 2008)

Selasa, 01 September 2009

KISAH PIRING DAN GELAS (Untuk Lintang dan Justine, rukun selalu)

Siang itu Gelas dan Sendok diambil dari rak. Mereka mendapat tugas untuk membuat es sirup. Gelas membuka mulutnya lebar-lebar agar es dan sirup bisa masuk ke dalam perutnya.
“Buka mulutmu lebar-lebar, Gelas! Aku akan menuang air ke dalam perutmu!” Teriak Pak Teko. Airpun segera mengucur dari corong Pak Teko. “Nah, sekarang giliranmu mengaduk, Sendok!” Ujar Pak Teko lagi. Dengan cekatan Si Sendok menceburkan kepalanya ke dalam perut Si Gelas dan mengaduk ramuan minuman itu. Setelah rasa manisnya merata, diapun melompat keluar. Bu Nampan segera memanggil Gelas agar buru-buru melompat ke atas punggungnya. Bu Nampan dan Gelas pun dibawa ke ruang tamu.
“Silakan diminum.” Ujar Bu Sanusi kepada tamu. Tamu pun segera meneguk minuman segar itu dan tersenyum senang. Cuaca panas begini memang paling cocok minum es sirup. Bu Nampan dan Gelas tersenyum bangga, karena bisa melayani tamu dengan baik.
Begitulah keluarga alat-alat dapur saling bekerjasama setiap hari. Gelas, Sendok, Garpu, Pak Teko, Bu Nampan, Paman Piring, Tante Mangkuk, dan tetangga-tetangga mereka lainnya, hidup rukun dan saling membantu. Masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri.
“Wuih, segarnya!” Ujar Gelas ketika mereka sedang mandi di bawah kran dapur. Wangi lemon dari sabun pencuci piring melekat di tubuh mereka. Busa yang digosokkan menghasilkan kilau yang memukau.
“Wah, wajahmu jadi bening sekali, Gelas.” Puji Sendok.
“Terimakasih. Wajahmu juga bercahaya.” Ujar Gelas. Sendok tersipu-sipu.
“Hai, Anak-anak! Terimakasih atas kerjasamanya ya!” Teriak Bu Nampan yang sudah tampak cantik dan bersih.
“Sama-sama!” Kata mereka serentak.
Malam Minggu ini, keluarga Bu Sanusi menyelenggarakan syukuran. Anaknya yang kuliah di luar kota sudah lulus. Maka Bu Sanusi mengadakan pesta sederhana dan mengundang kerabat dekat.
Gelas tampil sangat cantik. Minuman warna-warni membuat badannya terlihat menarik. Potongan buah strawberry yang ditancapkan di kepalanya sangat menawan. Belum lagi sebuah sedotan warna cerah yang disandarkan di mulutnya. Menambah keelokan wajahnya. Para tamu memuji kehebatan Bu Sanusi menghias gelas minuman. Gelas yang mendengar pujian itu, jadi besar kepala.
Paman Piring dan Tante Mangkuk juga tampil manis. Piring dihias dengan guntingan daun pisang sedangkan mangkuk dihias dengan selembar serbet makan yang diikat dengan pita. Wah, anggun sekali mereka.
Di dapur, Pak Teko dan Bu Nampan tidak kalah keren. Tangkai Pak Teko diberi pita kupu-kupu warna merah muda, sedangkan punggung Bu Nampan dihias dengan selembar kain berenda warna serupa. Mereka sangat serasi dan siap melayani para tamu.
Hei, dimana Sendok dan Garpu? Oh, itu dia! Mereka sudah siap di samping kanan dan kiri Paman Piring. Tapi kenapa mereka tampak murung? Bukankah ini pesta? Seharusnya mereka ikut bergembira seperti yang lain.
“Hei, Paman Piring! Lihatlah dandananku malam ini, hebat bukan?” Gelas memamerkan dandanannya. Dia merasa paling keren malam itu. “Akulah yang diberi hiasan paling lengkap! Lihat dirimu, masa sih cuma diberi sepotong daun pisang! Ih, kuno!Pastilah Bu Sanusi menganggap aku sebagai alat makan paling penting, sehingga aku diberi hiasan paling mewah!” Piring mencibir mendengar kesombongan Gelas.
“Hei, Gelas! Kamu jangan merasa paling jago deh! Tentu, akulah yang paling hebat. Sebab tamu akan menggunakanku untuk menyantap hidangan utama. Sedangkan kamu kan cuma tempat minuman! Tampilnya belakangan!” Balas Piring. Tante Mangkuk pun ikut-ikutan membela Paman Piring.
Sendok dan Garpu menjadi iri pada teman-temannya, karena mereka berdua tidak dihias. Mereka jadi kesal pada Bu Sanusi. “Bu Sanusi benar-benar tidak adil!” Gerutu mereka.
Malam itu, Sendok, Garpu, Paman Piring, Gelas, dan Tante Mangkuk tidak bisa bekerjasama dengan baik. Gelas merasa paling cantik, Piring dan Mangkuk merasa paling penting, sedangkan Sendok dan Garpu marah karena tidak diperhatikan Bu Sanusi. Akhirnya, pesta malam itu sedikit kacau. Ada minuman tumpah, nasi berhamburan, dan sendok jatuh.
Sejak kejadian malam itu, Gelas, Sendok, dan Piring menjadi tidak akur. Mereka saling mencurigai dan tidak mau diajak bekerjasama. Gelas bermain dengan sesama gelas saja. Piring hanya ngobrol dengan Mangkuk. Sedangkan Sendok hanya berkumpul dengan Garpu. Kehidupan di rak dapur yang semula tenang dan damai berubah menjadi kacau. Antar tetangga saling membenci, mencurigai, dan bermusuhan.
“Sebenarnya ada apa ini?” Tanya Pak Teko prihatin. Dia sudah tidak bisa membuat minuman segar lagi gara-gara Gelas dan Sendok tidak mau bertegur sapa.
“Gelas sekarang jadi sombong, Pak Teko! Dia merasa dirinya paling bagus! Menurutnya, dialah alat makan yang paling penting.” Ujar Piring.
“Si Piring itu yang merasa dirinya paling berguna. Padahal orang juga bisa makan pakai daun atau kardus!” Balas Si Gelas.
“Huh! Kalian memang suka pamer! Coba bayangkan kalau di pesta kemarin tidak ada sendok dan garpu! Orang mau makan pakai apa? Pakai tangan? Ya enggak lah ya! Sendok dan Garpu tiada duanya!” Timpal Sendok. Dia masih jengkel dengan ketidakadilan Bu Sanusi.
“Sudah-sudah, jangan bertengkar! Kalian semua benar! Gelas alat makan yang penting, Piring alat makan yang harus ada, dan Sendok juga alat makan yang tak kalah pentingnya. Kalian semua sama pentingnya! Kalian punya tugas masing-masing. Piring menjadi tempat makanan, Sendok alat untuk menyuap makanan, dan Gelas menjadi tempat minuman. Semuanya berguna dan harus saling membantu.” Nasihat Bu Nampan.
“Benar, Anak-anak. Kalian semua adalah satu tim. Meskipun berbeda-beda tapi harus bersatu untuk mencapai satu tujuan. Pesta kemarin menjadi sedikit kacau karena kalian tidak mau bersatu dan saling mencurigai. Yang dihias paling menarik bukan berarti yang paling penting. Yang tidak dihias bukan berarti tidak penting. Masing-masing punya peran sendiri-sendiri. Bayangkan jika Gelas dan Piring tampil apa adanya, tentu tamu tidak akan tertarik. Juga seandainya sendok dihias, tentunya malah akan kerepotan dalam menjalankan tugas.” Tutur Pak Teko.
Gelas, Piring, dan Sendok saling berpandangan. Bu Nampan dan Pak Teko benar. Perbedaan bentuk, penampilan, tugas, dan pendapat bukan alasan untuk tidak bersatu. Justru karena mereka berbeda, maka bisa saling melengkapi dan bekerjasama. Bayangkan jika piring hanya bekerjasama dengan piring saja, atau sendok dengan sendok saja, tentulah orang kesulitan saat makan. Akhirnya mereka bermaaf-maafan dan berjanji akan kembali kompak di meja makan dalam acara makan malam nanti.

Senin, 31 Agustus 2009

CITA-CITA SEPOTONG LILIN (Cerita untuk Lintang dan Justine sebelum tidur)

CITA-CITA SEPOTONG LILIN KECIL
Oleh Rini Giri


Di dalam sebuah almari kaca, tersimpan aneka lilin. Warnanya beraneka ragam. Bentuk dan ukurannyapun bermacam-macam. Ada yang dihiasi pita, bunga-bunga kering, benang emas, bahkan ada yang diberi wewangian.
“Nanti malam aku akan dipakai untuk menghias meja makan,” kata si lilin merah dengan bangga.
“Besok Minggu aku akan dipakai untuk menghias kue ulang tahun, lho!” Si lilin berbentuk angka mengatakannya dengan sombong.
“Aku akan dipakai untuk relaksasi,” ujar si lilin wangi tak mau kalah.
Di sudut almari, sepotong lilin kecil berwarna putih tanpa hiasan, tertunduk lesu. Dia sedih mendengarkan penuturan teman-temannya itu. Kenapa dirinya tidak pernah diberi tugas? Apakah karena bentuknya yang sederhana dan harganya yang murah? Dia jadi minder.
Bu Jaya, pemilik koleksi lilin, setiap hari membersihkan koleksinya. Lilin Kecil hanya digeletakkan begitu saja di sudut. Tidak dipedulikan. Jika ada tamu, Bu Jaya selalu memamerkan lilinnya yang indah-indah. Sementara Lilin Kecil dilupakan.
Lilin Kecil berpikir, mungkin dia akan diberi tugas jika sedikit berdandan. Maka dia memberanikan diri mendekati lilin yang dihisai bunga-bunga rumput kering.
“Bolehkah aku minta sedikit saja bungamu itu? Supaya aku bisa sedikit berdandan?” Tanya Lilin Kecil. Dengan angkuh lilin bunga rumput menghardiknya.
“Kalau aku sampai memberikan bungaku untukmu, bisa-bisa kecantikanku akan hilang! Kecantikanku itu penting, Lilin Kecil! Karena aku cantik, maka Bu Jaya sangat sayang padaku. Kamu jangan mimpi deh! Dari dulu, kamu memang sudah jelek. Jadi mau berdandan seperti apapun, tetap saja jelek!” Ejek lilin bunga rumput. Lilin Kecil menjadi semakin sedih. Lilin-lilin yang lainpun menolak memberikan sedikit hiasan mereka. Akhirnya Lilin Kecil kembali ke sudut almari dengan kecewa.
“Aku ingin sekali bisa menjadi lilin yang berguna seperti mereka. Alangkah senangnya jika aku dibutuhkan. Alangkah bahagianya jika aku bisa memberikan cahayaku. Pasti rasanya bangga sekali. Tapi mana mungkin? Aku hanya diletakkan di barisan paling belakang. Sama sekali tidak terlihat dari luar almari. Wajahku juga polos tanpa hiasan. Mana ada orang yang tertarik padaku?” Lilin Kecil menangis. Seolah sudah tak ada harapan lagi untuk mewujudkan cita-citanya.
Hari demi hari dilalui Lilin Kecil dalam kesendirian. Teman-temannya yang cantik tidak mau mendekat dan bergaul dengannya. Mereka takut kehilangan pamor dan dianggap sebagai lilin yang tidak berkelas. Maka Lilin Kecil hanya bisa memandangi teman-temannya yang setiap hari dirawat, sambil menelan ludah.
Lama-kelamaan, debu yang menempel pada tubuhnya kian banyak. Bahkan ada sarang laba-laba yang melilitnya. Dia tampak makin kusam dan tidak menarik. Teman-temannya semakin menjauh. Lilin Kecil hanya bisa berdoa, semoga suatu saat nanti dirinya bisa menjadi lilin yang berguna.
Malam itu Bu Jaya sedang sibuk mengerjakan tugas kantor. Dia sedang sibuk menulis angka-angka. Pekerjaannya membutuhkan ketelitian dan konsentrasi. Tapi tiba-tiba lampu listrik padam.
“Yah, padahal tugas ini harus segera selesai,” keluh Bu Jaya. Dia sedikit panik. Seluruh ruangan menjadi gelap. Dia tidak ingin pekerjaannya gagal hanya gara-gara listrik padam. Akhirnya dia membuka laci dan mencari lampu senter. Namun tidak ditemukannya. Dia hanya menemukan sebuah kotak korek api.
“Untung ada korek api, jadi aku bisa menyalakan lilin!” Ujar Bu Jaya girang. Mendengar ucapan itu, para lilin menjadi senang. Berarti mereka akan digunakan. Merekapun berdebat, siapa yang akan dinyalakan untuk menerangi meja kerja Bu Jaya.
“Pastilah aku! Tubuhku besar, pastilah nyalaku terang dan tahan lama!” Ujar sebatang lilin besar bergambar ukiran.
“Bukan, bukan! Pastilah aku! Aku panjang dan nyala apiku bersih, pasti aku yang dipilih!” Lilin panjang berwarna putih dengan tempelan gambar bunga mawar tak mau kalah.
“Siapa bilang? Pasti aku! Aku ditempatkan dalam wadah kaca sehingga tidak meleleh kemana-mana. Jadi, pastilah aku!” Dengan congkak lilin hias dalam wadah kaca itu menonjolkan diri.
Mendengar ucapan teman-temannya, Lilin Kecil menjadi ciut hatinya. Tidak punya harapan lagi. Mana mungkin Bu Jaya akan mengambilnya. Teman-temannya mempunyai kelebihan. Mereka hebat. Pastilah salah satu dari mereka yang akan terpilih. Dia hanya menundukkan kepala di sudut almari. Tanpa harapan.
Sebuah korek api menyala mendekati kaca almari. Para lilin segera memamerkan kehebatan masing-masing agar terpilih. Cukup lama Bu Jaya mencari-cari lilin yang cocok, tapi tidak ketemu juga.
“Lilin besar itu mengeluarkan asap yang kotor, lilin putih gambar bunga mawar cepat sekali meleleh, lilin dalam wadah kaca nyalanya kecil, sedangkan lilin yang memakai hiasan pita dan bunga sayang kalau dipakai. Dimana ya aku meletakkan lilin kecil warna putih itu?” Tangan Bu Jaya menggapai-gapai sudut almari. Mendengar namanya disebut, Lilin Kecilpun segera beranjak. Hatinya amat girang. Belum pernah dia merasa sebangga ini.
“Aku di sini!” Teriak Lilin Kecil. Teman-temannya mencibir karena iri.
“Oh, ini dia! Untung aku masih menyimpannya. Dia memang kecil tapi nyalanya terang dan bersih.” Ujar Bu Jaya. Diapun segera meraih lilin itu dan membersihan kotoran yang menempel.
Lilin Kecil dinyalakan sumbunya lalu diletakkan di tengah meja. Cahaya yang muncul dari tubuhnya menerangi seisi ruangan itu. Oh, inikah rasanya menjadi berguna? Senang sekali. Bisa memberikan sesuatu yang dimiliki untuk membantu orang lain. Lilin kecil tersenyum bangga. Walaupun begitu, dia tidak menyombongkan diri. Dia tetap tersenyum ramah kepada teman-temannya yang memandang dengan muka masam dari dalam almari.
“Terimakasih, Tuhan. Engkau telah mengabulkan doaku. Aku sudah menjadi lilin yang berguna. Jauhkanlah aku dari sifat sombong ya, Tuhan.” Sejenak Lilin Kecil memejamkan mata untuk bersyukur. Lalu menengadah dan melihat nyala api yang bergoyang-goyang indah di kepalanya. Dia bahagia karena Bu Jaya bisa melanjutkan pekerjaannya lagi. Meskipun tubuhnya terus meleleh dan kian pendek, dia senang. Dia telah membantu meringankan pekerjaan Bu Jaya.
“Untung ada lilin kecil ini, sehingga pekerjaanku bisa selesai tepat waktu.” Kata Bu Jaya. Tiba-tiba lampu listrik menyala kembali. Buru-buru Bu Jaya meniup lilin itu “Karena lampu sudah menyala, akan kusimpan lilin ini di tempat biasa. Kapan-kapan kalau lampu mati, akan kugunakan lagi.”
Malam itu Lilin Kecil bisa tidur nyenyak. Dia jadi tahu, setiap benda memiliki kegunaannya masing-masing. Dia mulai mengerti, bahwa dirinyapun punya kelebihan dibalik kekurangannya. Dia tidak merasa minder lagi.

Minggu, 30 Agustus 2009

PENGHARAPAN DAN DOA TIDAK PERNAH SIA-SIA (KUASA DOA vol 4, 7 Sept 2009)

PINTUPUN DIBUKAKAN BAGIKU
Dari Caecilia Rini Giri



Siang itu putri keduaku yang masih duduk di bangku TK A pulang dengan membawa hadiah. Satu tas jinjing kertas berisi boneka, satu pak kartu bahasa inggris, dan satu set alat mewarnai dari merek terkenal. Dia bilang baru saja memenangkan lomba menggambar di sekolah. Kupeluk dan kucium dia sambil mengatakan bahwa aku sangat bangga. Hatikupun bersyukur.
Paginya, saat kuantar dia ke sekolah, kutanyakan perihal hadiah itu pada guru kelasya. Ibu Guru itu memberiku ucapan selamat. Bahkan memberitahu bahwa putriku menjadi juara dua dari sekian ratus anak yang ikut lomba. “Gambarnya sudah bertema. Tarikan garisnya tegas dan mewarnainyapun rapi. Dia baru empat tahun, tapi sudah sangat menonjol prestasi gambarnya.” Ujar Ibu Guru sambil menunjukkan hasil karya anakku. Gambar rumah dengan pohon, taman, langit cerah, dan seorang anak perempuan memetik apel.
Air mataku meleleh. Ibu Guru sampai heran. Seharusnya aku tersenyum senang tapi kenapa malah menangis. Buru-buru kuhapus air mata dan berusaha tersenyum, lalu menjabat erat tangan Ibu Guru.”Terimakasih ya, Bu.” Ucapku, lantas buru-buru berlalu. Aku sangat bersyukur sampai-sampai bukan tawa lagi yang terlontar, melainkan tangis bahagia.
Betapa tidak, saat berumur dua tahun, putriku belum bisa berjalan. Padahal, anak tetangga yang sebaya sudah bisa berlari kesana-kemari. Dia susah makan dan mudah muntah sehingga tampak begitu kurus, matanya sayu, gampang sakit dan kakinya kecil serta lemas. Berat badannya terus menurun. Bahkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diberikan Posyandu, berat badan anakku sudah nyaris menyentuh garis merah, yang artinya berat badan sangat kurang. Aku khawatir anakku lumpuh.
Saat itu aku sering menyalahkan diri-sendiri. Kenapa saat mengandung tidak doyan makan dan dilanda morning sickness terus-menerus? Kenapa aku tidak mau melawan rasa mual untuk meminum susu khusus untuk ibu hamil? Kenapa tidak mau mengalahkan rasa nek untuk meminum vitamin-vitamin yang diberikan dokter? Lihatlah akibatnya, anak yang kulahirkan menjadi kekurangan gizi dan pertumbuhannya tidak wajar. Air mata penyesalan tak ada guna. Sudah terlambat.
“Bapa, aku tidak pernah minta yang muluk-muluk. Aku hanya minta anak yang sehat. Tapi kenapa anakku sakit?” Protesku kala itu. Bahkan kadang setiap kali menyuapinya aku mengucap, “Dengan nama Tuhan Yesus.” Aku memaksa Yesus untuk melindungi usahaku sehingga makanan itu tidak dimuntahkan putriku. Tapi toh akhirnya muntah juga, dan aku kecewa.
Saat lahir pada 4 Februari 2004, dia tidak menangis, sampai-sampai bidan menjungkirkan tubuhnya dan menepuki pantatnya. Akhirnya dia menangis sebentar lantas lebih sering tertidur sampai aku kesulitan untuk menyusui. Sehabis menyusu pun dia mudah muntah padahal sudah disendawakan. Kata dokter lambungnya kecil, jadi perlu jarak dua jam untuk menyusui. Saat mulai mengenal makanan lembek pun dia gampang muntah. Sampai-sampai tubuhnya menjadi kurus sekali. Menu yang bisa masuk ke lambungnya hanya itu-itu saja, sehingga asupan gizinya tidak seimbang. Sebab jika diperkenalkan pada menu lain dia akan muntah-muntah hebat. Sampai menjelang masuk TK, makananya hanya bubur halus. Hanya itu yang bisa diterimanya tanpa muntah. Jika ada segelintir nasi saja yang tertelan, maka seluruh isi lambungnya akan keluar. Itu membuatku stress. Bahkan saking tertekannya, aku tidak pernah bisa menangis, padahal sangat ingin menangis.
Saat berumur satu tahun, bayiku belum bisa bangun sendiri. Dokter tumbuh kembang anak yang memeriksanya mengatakan, pertumbuhan motoriknya terganggu akibat gizi buruk. Otaknya tidak bisa memerintahkan syaraf-syaraf motorik untuk bekerja dengan baik. Bayi-bayi normal lain secara alami, akan menggunakan telapak tangan untuk menyangga tubuh jika akan jatuh. Bayiku tidak bisa melakukan gerakan naluriah yang paling dasar itu.
Orang-orang yang melihat anakku selalu merasa prihatin. Ibu-ibu lain pasti sangat bangga jika bayinya dicolek atau digemesin karena sehat dan montok. Sedihnya hatiku karena tidak ada orang yang mencolek atau gemas pada putriku. Semua orang selalu tampak prihatin karena kondisi bayiku yang memelas. Bahkan ketika ibu mertuaku bertandang, beliau malah menangis saat melihat cucunya dan membuatku tambah sedih.
“Anak saya tidak kena folio kan, Dok? Anak saya tidak lumpuh layuh kan, Dok?” Ketakutanku teramat dalam.
“Anak ibu belum terlambat untuk ditangani. Kita harus memperbaiki gizinya dulu. Usahakan makan sedikit-sedikit tapi sering sehingga tidak mudah muntah. Saya berikan vitamin untuk merangsang nafsu makannya. Susunya juga diganti dengan susu khusus, supaya kebutuhan gizinya tercukupi. Setelah tubuhnya lebih kuat, anak ibu bisa diterapi. Otaknya harus diberi memori tentang cara-cara bangun, duduk, jongkok, berdiri, kemudian berjalan. Sabar ya, Bu. Prosesnya akan lama. Tapi jika kontinyu, anak ibu pasti tertolong.” Beban hatiku sedikit teringankan. Ada secercah harapan.
Aku harus meluangkan banyak waktu untuk menyuapi bayiku. Harus sabar mendampinginya menerima susu formula baru yang diresepkan dokter. Akupun dituntut untuk setia memeriksakan putriku secara rutin.
“Maafkan aku telah menyangsikan-Mu, Bapa. Kauberi aku jalan. Terimakasih” Ucapku dalam doa malam ketika berat badan anakku mulai bertambah. Bayiku dinyatakan siap untuk mengikuti terapi. Pemberian nutrisi otak dengan obat yang mengandung piracetam pun dimulai.
Terapi dilakukan dua kali seminggu. Senin dan Kamis. Diawali dengan memiringkan tubuh anak, menapakkan tangannya ke matras, lantas pelan-pelan memutarnya ke depan agar bisa duduk. Ruangan ber-AC sejuk, matras bersih, ruangan dengan gambar warna-warni dan terapist yang ramah membuat anakku betah dan tidak rewel selama latihan dan penyinaran. Aku harus mengulang-ulang gerakan itu di rumah agar otak anakku merekam gerakan-gerakan itu, sehingga saatnya nanti bisa melakukan sendiri tanpa bantuan. Tiga bulan kemudian, dia bisa duduk sendiri.
Proses pengobatan itu cukup menguras keuangan keluarga. Setiap datang untuk terapi, sedikitnya seratus delapan puluh ribu rupiah harus keluar. Belum termasuk menebus resep obat, vitamin, dan susu khusus. Batinku menjadi ciut. Sanggupkah aku dan suamiku melalui tahapan-tahapan terapi sampai putri kami benar-benar bisa berjalan? Sementara penghasilan suamiku hanya cukup? Memang segala pengeluaran pengobatan keluarga bisa mendapat ganti 60% dari kantor, tapi kan tetap harus keluar uang dulu.
Tiada henti aku berdoa. Aku yakin, Tuhan akan memenuhi kebutuhanku. Hingga suatu hari aku mencari informasi ke rumah sakit negeri, ternyata di sanapun terapi semacam itu bisa dilakukan. Tentu saja ongkosnya jauh lebih murah. Bahkan hanya seperempatnya saja. Harapan baru muncul kembali.
Aku rela mengantri berjam-jam untuk mendaftar, membayar biaya pengobatan di loket dan menunggu giliran dipanggil di depan ruang terapi. Tentu saja ruangannya kini tidak ber-AC, tidak ada gambar warna-warni yang disukai anakku, matrasnya usang, pelayanan para medisnya tidak seramah yang dulu, dan harus mau berdesak-desakan dengan pasien lain yang jumlahnya bejibun. Tapi aku terus menguatkan hati. Semua kulakukan demi kesembuhan buah hati kami. Mungkin aku kuat untuk menunggu berjam-jam sebelum dipanggil ke ruang terapi, tapi tidak dengan putriku. Kadang dia sudah terlanjur kelelahan menunggu sebelum jatuh gilirannya untuk mengikuti terapi.
Di rumah sakit negeri, putriku mulai belajar posisi merangkak, dilanjutkan dengan posisi jongkok, lantas dilatih berdiri. Dia tidak pernah mau merangkak, tapi mengesotkan pantat dan kakinya setiap kali ingin berpindah tempat. Perkembangannya memang sangat lambat. Setiap posisi atau gerakan dasar kira-kira dibutuhkan waktu tiga bulan untuk bisa melakukan sendiri tanpa bantuan. Tapi aku terus bertahan dan berusaha tersenyum penuh syukur.
Suatu ketika, saat sedang menjalani terapi di atas matras, bayiku muntah. Tambah kotorlah matras untuk umum itu. Seorang perawat marah-marah. Dia menegurku dengan nada tinggi. “Lain kali kalau mau terapi, anaknya jangan disuapi dulu!” Katanya. Kami sudah menunggu begitu lama sedari pagi sampai tibalah waktu untuk makan siang bagi anakku. Apa aku akan membiarkannya tidak makan sampai terapi selesai? Tentu aku tak sampai hati membiarkan dia lapar. Ruangan menjadi kotor dan bau. Berulang-ulang aku minta maaf. Buru-buru kubersihkan bekasnya dengan selendang yang biasa kupakai untuk menggendong putriku. Di tempat itu tidak ada lap atau tisyu.
Bayiku mengalami trauma sejak kejadian itu. Dia ketakutan, menangis keras, dan mengamuk jika diajak ke ruang terapi. Akhirnya terapist-pun kesulitan untuk melatihnya. Bahkan ketika baru sampai di pintu gerbang rumah sakit, dia sudah meraung-raung minta pulang. Aku jadi bingung dibuatnya.
Karena tidak tega pada anakku, aku tidak pernah datang ke rumah sakit lagi. Untuk kembali ke rumah sakit swasta yang dulu, aku tidak yakin dengan kondisi keuangan kami. Aku sempat kehilangan semangat dan dilanda kekhawatiran. Jangan-jangan putriku tidak bisa berjalan jika terapi itu dihentikan. Akhirnya aku melatihkan gerakan-gerakan, yang pernah diajarkan oleh terapist pada putriku di rumah. Sedikit demi sedikit, sesuai kemampuannya.
“Bapa, aku percaya, bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Engkau pasti selalu memperhatikan usahaku demi kesembuhan anakku. Aku tahu, Engkau mencintai umat-Mu yang mau berusaha. Aku serahkan semua usahaku ini hanya pada-Mu ya, Bapa. Aku percaya Engkau tidak akan berpaling dariku. Hanya pada-Mu aku berharap, Bapa.” Aku percaya, Bapa tidak pernah memberi harapan kosong.
Saat perayaan Natal 2005 di lingkungan, Sinter Klas bertanya,”Justine, apa yang menjadi harapanmu di Natal ini?” Aku sebagai ibunya mewakilinya menjawab,”Dia ingin cepat bisa jalan, Om Sinter Klas.” Tokoh itupun kaget. Masa ada anak umur dua tahun belum bisa jalan? Diapun buru-buru menyalami tangan kecil anakku sambil berkata,”Semoga Tuhan Yesus mendengarkan doa dan harapanmu ya, Justine.” Amin, jawabku.
Dan keajaiban itupun datang. Maret tahun 2007, saat putriku berusia dua tahun satu bulan, dia berjongkok, memegang kedua lututnya, mengangkat tubuhnya, berdiri sempoyongan, lantas melangkah dua kali ke arahku dan jatuh. Aku terbelalak melihatnya.
“Puji Tuhan!” Aku semakin percaya, pengharapan yang disertai doa dan usaha, tidak pernah sia-sia. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7) Terimakasih Tuhan, Kau dengar suara ketukanku dan Kaubukakan pintu untukku. Tuhan selalu memberi kesempatan pada umat-Nya untuk berusaha, supaya mereka semakin kuat, tambah dewasa jiwanya, dan tidak lupa diri atas keberhasilan yang dicapainya. Itu yang kurasakan. Tuhan menyertai segala usaha manusia, namun semuanya butuh proses, tidak serta-merta datang seperti sulap. Justru proses itulah yang membuat manusia semakin menemukan dirinya sebagai yang berarti dan berharga. Hasil memang penting, tapi tak ada maknanya jika tanpa proses usaha dan campur tangan Tuhan sendiri.
Kini Justine sudah berumur 5,5 tahun dan duduk di bangku TK B. Badannya memang tidak bisa gemuk, larinyapun tidak sekencang anak-anak lain, bahkan jika sedang bermain dan ada anak yang lebih agresif dia memilih untuk menyingkir karena takut tersenggol dan jatuh. Namun kemampuan motorik halusnya luar biasa. Apalagi dalam hal menggambar dan mewarnai. Bahkan dalam beberapa kali pentas tari Natal dan HUT Kemerdekaan RI di lingkungan tempat tinggal kami, dia selalu di barisan depan karena paling cepat hafal gerakannya dan bisa ditiru teman yang lain. Matanya bulat dan berbinar cerdas. Aku yakin, itulah keadilan Tuhan. Diapun kini mulai belajar makan nasi dan makanan padat lainnya, tanpa muntah.
“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Mat 7: 11) Kesembuhan Justine adalah pemberian Bapa yang terbaik dalam hidupku. Aku memintanya, dan Dia memberikan padaku. Jumlah waktu selama satu tahun satu bulan pengobatan dan terapi itu, dulu kulalui dengan sangat berat. Tapi itu tak ada artinya dibanding dengan hikmah Kasih Tuhan kepada keluarga kami. Aku belajar sabar, setia, lebih mencintai keluargaku, dan kamipun jadi team work yang kompak. Terimakasih, Bapa.

Sabtu, 29 Agustus 2009

BERAKHIRNYA SEBUAH PERSAINGAN (HIDUP no 41 tahun ke-61 14 Oktober 2007)

BERAKHIRNYA SEBUAH PERSAINGAN
Oleh Rini Giri

Berto dan Siska sama-sama lulusan dari sebuah universitas negeri terkemuka di Negara ini. Keduanya diwisuda dengan predikat Cuma laude dan meraih nilai terbaik di jurusannya. Kini, Berto bekerja sebagai dosen di almamaternya dan sedang melanjutkan kuliah ke strata dua. Istrinya, Siska, menjadi reporter di sebuah majalah wanita terkenal di Ibu Kota.
Tahun pertama, hubungan mereka lancar dan harmonis. Masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Sejoli itu bisa mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Namun ketika pada tahun ketiga Siska melahirkan anak pertama, mau tidak mau dia harus rela melepaskan pekerjaan yang menjadi cita-citanya sejak kecil! Bayi mereka tidak bisa minum susu formula sehingga harus bergantung pada susu ibu (ASI)! Sungguh merepotkan!
Siska mulai sering uring-uringan menghadapi situasi seperti itu. Dia menjadi semakin stress ketika teman-temannya menelpon dan menyayangkan keputusannya untuk mengundurkan diri. Ayahnyapun pernah menyatakan rasa kecewanya karena sudah membiayai sekolah tinggi-tinggi tapi akhirnya masuk dapur juga! Ibu muda itu benar-benar mengeluh, kenapa tidak ada yang bisa mengerti posisi sulitnya! Anaknya tidak bisa ditinggal kerja!
“Sudahlah, Ma, bukankah anak jauh lebih penting dari apapun juga? Kebutuhan kita juga sudah tercukupi dari gajiku. Lagipula, setelah anak kita berumur dua atau tiga tahun, kamu bisa bekerja lagi.” Berto memberi penghiburan. Kata-kata suaminya cukup menguatkan hatinya.
Setahun telah berlalu, kini prestasi dan karier Berto semakin gemilang. Pergaulannya semakin luas dan semakin dihormati di kampus. Melihat itu semua, Siska menjadi iri hati. Terlebih jika bertemu dosen-dosen wanita teman sekerja suaminya saat ada arisan. Seharusnya dia bisa berkarier gemilang seperti mereka! Satu tahun tinggal di rumah telah menjauhkan dirinya dari teman-teman dan lingkungan yang serba produktif dan professional. Pergaulannya menjadi sempit, ilmunya menjadi mandeg, wawasannya ciut, dan mulai ada perasaan minder di hatinya. Dia bukan hanya iri pada suaminya tapi juga menjadi minder! Siska merasa dirinya benar-benar selevel dengan pembantunya. Hanya mengurus anak, membereskan pekerjaan rumah tangga, dan nonton sinetron atau infoteiment!
“Pa, aku mau kerja lagi!” Katanya pada suaminya suatu hari.
“Apa sudah siap untuk meninggalkan anak kita dan membiarkannya diasuh pembantu?”
“Harus siap, Pa. Kalau tidak nekat nanti aku keburu tua dan tidak laku di bursa kerja. Apalagi teman-temanku sudah jadi redaktur semua. Aku harus mengejar ketinggalanku.”
“Apa kamu benar-benar tega untuk menyapih anak kita?”
“Pa, jangan menyudutkan aku terus dong! Laki-laki bisa tega meninggalkan anaknya di rumah demi kariernya, kenapa perempuan tidak?” Berto hanya menarik nafas dalam. Dia tidak mau berdebat lagi karena tekat Siska begitu bulat. Seminggu kemudian Siska mulai bekerja sebagai koordinator liputan pada sebuah surat kabar ternama. Tugasnya menuntut dirinya untuk sering pulang larut malam. Saat berangkat kerja, anaknya belum bangun dan setelah pulang anaknya sudah tidur. Lama-kelamaan anaknya lebih lengket kepada pembantunya dan merasa tidak butuh ibunya. Pada awalnya Siska merasa sedih, tapi lama-lama situasi itu justru menguntungkan dirinya. Karena saat harus tugas ke luar kota, anaknya tidak perlu rewel!
Hari Minggu, mertuanya datang dan menginap. Otomatis keluarga adik iparnyapun datang. Kebetulan anak adik iparnya sebaya dengan anaknya. Ketika pamer kebolehan, anak berusia dua tahun itu sudah pintar berdoa, pandai menyanyikan lagu-lagu sekolah minggu, dan bicaranyapun sudah banyak dan jelas. Sementara itu, anaknya hanya diam, takut pada orang baru, dan sesekali rewel jika pembantunya sibuk di dapur. Adik iparnya begitu bangga pada anak balitanya. Sedangkan Siska, apa yang bisa dibanggakan dari anak yang pendiam, penakut, dan sering rewel? Siska kecewa sekali.
Sejak punya anak, adik iparnya memang dengan kesadaran penuh lebih memilih mendidik anak ketimbang mengejar karier. Tentu saja anak yang diasuh oleh ibunya sendiri akan jauh memiliki kemajuan dibanding anak yang diasuh pembantu. Semakin tinggi pendidikan si pengasuh bukankah akan semakin banyak kemampuan yang bisa ditransfer kepada anak?
Lama sekali Siska merenungkan hal itu. Untuk apa dia harus mati-matian menyaingi karier suaminya jika akhirnya anaknya sendiri yang menjadi korban. Dia mulai menyadari, suami memang bukan sosok untuk disaingi. Meskipun dulu mereka bersaing di bangku kuliah, bersaing meraih popularitas di kampus, bersaing siapa yang bakal lulus duluan, bersaing mendapatkan nilai A pada setiap mata kuliah, namun kini situasinya jauh berbeda. Mereka bukan teman kuliah lagi, melainkan sudah menjadi suami-istri.
Siska diingatkan pada isi Kitab Kejadian. Bukankah Allah menciptakan wanita sebagai penolong yang sepadan bagi pria? Adam dan Hawa diciptakan tidak untuk saling bersaing. Mereka diberi tugas dan posisi masing-masing sesuai dengan rencana Sang Pencipta, yaitu memenuhi bumi dan menakhlukkannya.Bagaimana bisa pria dan wanita menguasai bumi jika saling bersaing? Mereka harus saling menolong. Tuhan menciptakan mereka sama-sama menurut gambar dan citra Allah. Keduanya sama-sama diberkati oleh-Nya. Mereka sudah mempunyai kedudukan yang sepadan semenjak diciptakan. So, buat apa bersaing? Buat apa wanita sibuk mencari kesetaraan jika sejak dibentuk dari tulang rusuk pria, dirinya sudah sepadan dengan pria?
Pria akan meninggalkan keluarganya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Dalam satu daging, mana mungkin kehidupan harmonis bisa terselenggara jika anggotanya saling bersaing? Bisa-bisa jadi duri dalam daging! Masing-masing sudah diberi tugas sesuai rencana Allah. Bukankah yang lebih penting untuk diusahakan adalah saling mengasihi, saling menghargai, saling menghormati, dan saling mendukung, sehingga tidak akan ada penindasan atau sikap superior antara yang satu terhadap lainnya?
“Pa, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku.” Siska memberitahu suaminya dengan hati-hati. Dia tidak mau dianggap plin-plan.
“Kenapa?”
“Anak kita jauh lebih penting. Toh di rumah aku masih bisa baca buku, browsing internet, dan bikin tulisan untuk kukirim ke media cetak. Jadi talentaku tetap bisa berkembang dan anak kita tidak akan ketinggalan lagi.” Suaminya tersenyum bahagia mendengarkan kebijaksanaan istrinya itu. Hati Siska pun berbunga karena akan semakin dekat dengan buah hati mereka. (Rini Giri, Bekasi Utara, 2007)

Tangisan Si Gadis Rantang (HIDUP no.12 tahun ke-62 23 Maret 2008)

TANGISAN SI GADIS RANTANG
Oleh Rini Giri

Di kota kabupaten tempat aku tinggal, terdapat sebuah gereja paroki. Para pastur yang berkarya di paroki itu tinggal di sebuah pasturan di belakang bangunan gereja. Sehari tiga kali aku datang ke sana untuk mengantar rantang berisi makanan yang akan disantap para pastur. Umat paroki mempercayai catering ibuku untuk menyediakan hidangan sehari-hari bagi para pastur itu.
Tugas mulia ini sudah aku jalani sejak masih kelas satu SMP dulu. Sekarang aku sudah kuliah semester lima dan bertambah sibuk, tapi aku tetap setia menjalankan tugasku sebagai pengantar rantang. Sambil mengantar makanan, aku bisa kenal lebih dekat dengan para pastur maupun petugas sekretariat gereja lainnya.
“Mbak Ririn adalah orang yang paling ditunggu-tunggu,” seloroh Pak Mardi, koster gereja, saat aku masuk ke dapur pasturan pada suatu siang.
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kalau mbak Ririn belum datang, para pastur gelisah,” jawabnya.
“Kok?”
“Habis, kalau rantang yang dibawa Mbak Ririn belum sampai, mereka belum bisa memulai kegiatan.” Pak Mardi tertawa geli. Akupun ikut terkekeh. Seperti biasanya aku membantu koster itu menata hidangan di meja makan. Hidangan dibagi dua. Sebagian untuk Romo Galih, Ketua Dewan Paroki, dan sebagian lagi untuk Romo Seto. Khusus untuk Romo Galih, ibuku memasakkan hidangan yang rendah kalori dan rendah gula. Maklum, pastur yang sudah memasuki usia senja ini punya penyakit diabetes militus. Sedangkan untuk Romo Seto, tidak ada pantangan atau diet khusus.
“Kok kelihatannya buru-buru, Rin?” Tanya Romo Galih sewaktu berpapasan denganku di ruang tamu. Beliau baru pulang dari memberikan sakramen perminyakan kepada warga yang sakit di salah satu lingkungan.
“Ada kuliah siang, Romo. Saya permisi dulu ya. Mohon berkat Tuhan.” Akupun meraih tangan tua itu dan kucium. Di kota kabupaten pedalaman seperti ini, seorang pastur memang sangat dihormati. Cium tangan merupakan suatu kebiasaan umat untuk menunjukkan rasa hormat dan cintanya pada sang gembala.
“Hati-hati ya. Tuhan memberkati. Belajar yang benar, biar hidupmu sukses. Sekarang kamu jadi pengantar rantang, lima atau sepuluh tahun lagi aku ingin melihatmu jadi eksportir makanan siap santap,” pesan Romo Galih dengan sedikit humornya. Akupun tertawa. Romo Galih dan Romo Seto memang sudah seperti temanku sendiri. Kami sering ngobrol, berkelakar, dan berdiskusi. Namun begitu, rasa hormatku kepada mereka tetap selalu kujunjung tinggi.
Kedekatanku dengan Romo Seto harus berakhir karena beliau dipindahkan ke paroki lain. Sebagai gantinya, datanglah seorang pastur muda yang baru saja ditahbiskan. Namanya Romo Adi. Orangnya ramah, supel, bijak, dan humoris. Bonusnya, wajahnya rupawan. Romo baru ini langsung populer di kalangan Mudika dan kelompok Legio Maria. Setiap mereka mengadakan kegiatan, pastilah Romo Adi yang diminta untuk mendampingi. Akupun cepat akrab dengan pastur baru ini. Dia menjulukiku Si Gadis Rantang. Bahkan Romo Adi mempercayaiku sebagai penunjuk jalan jika melakukan kunjungan pastoral ke pelosok-pelosok lingkungan yang belum dikenalnya.
Rupanya kedekatanku dengan Romo Adi menimbulkan desas-desus yang kurang sedap. Aku digosipkan punya hubungan khusus dengannya. Hal yang lebih menyakitkan lagi, aku dikira sengaja menggoda pastur yang begitu baik itu. Seorang teman Ibuku bahkan memperingatkan dengan keras agar anak gadisnya ini menjauhi sang pastur karena di parokinya dulu sempat terjadi aib dimana seorang pastur terpaksa menanggalkan jubah demi menikahi wanita yang terus-menerus mendekatinya.
“Tidak mungkin lah, Bu. Aku sangat menghormati Romo Adi. Dia itu gembala umat yang dipanggil sendiri oleh Tuhan. Mana mungkin aku akan menjadi penghalang bagi pekerjaan Tuhan di dunia ini,” jawabku ketika Ibu mempertanyakan kebenaran desas-desus yang sangat memalukan bagi keluarga kami itu.
“Ibu percaya sama kamu, Rin. Tapi mulai sekarang, untuk menghindari fitnah yang lebih kejam lagi, kamu harus mengurangi kedekatanmu dengan Romo Adi.” Aku tahu, Ibuku juga kasihan pada pastur muda itu. Jangan sampai kabar-kabar bohong dari orang-orang yang iri dan dengki ini bisa menjadi kendala baginya untuk melayani umat. Baiklah, aku akan mundur. Kedekatan pastur dengan umatnya memang harus dalam porsi yang wajar. Aku tidak mau jadi pengantar rantang lagi. Biar tugas itu dilakukan pembantu ibuku.
“Pak Mardi, mulai besok, rantang akan diantar pembantu kami. Tolong diingat diet Romo Galih ya, Pak. Jangan sampai menunya tertukar dengan milik Romo Adi. Ingat ya, Pak, minum Romo Galih itu teh tawar. Jangan sampai lupa,” pesanku pada koster di hari terakhir aku mengantar rantang. Pak Mardi hanya mengangguk. Aku tahu dia merasa sedih karena tidak ada lagi yang membantunya menata meja makan pastur. Padahal sudah hampir selama sembilan tahun terakhir ini aku adalah mitra setianya. Dia juga sedih karena tahu bahwa segala berita yang tidak mengenakkan itu adalah bohong belaka.
Sejak saat itu aku jarang muncul di pasturan. Aku tidak ingin omongan-omongan yang tidak benar semakin merajalela dan menjatuhkan nama baik Romo Adi maupun merongrong kehidupanku. Romo Galih dan Romo Adipun memaklumi tindakanku. Bahkan merekapun membantu membersihkan nama baikku dengan memberi penjelasan seperlunya kepada umat. Semoga lambat-laun umatpun menyadari bahwa yang mereka dengar hanyalah gosip murahan dan fitnahan orang dengki belaka.
Semester tujuh ini aku mengikuti Kuliah Kerja Nyata di suatu pedusunan di lereng gunung. Telepon sama sekali tidak ada di sana. Telepon selularpun tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal. Alat komunikasi yang bisa kami andalkan adalah surat dan e-mail. Namun, surat bisa datang terlambat dan e-mail baru bisa kami akses jika dosen atau koordinator tingkat kecamatan datang membawa laptop.
“Rin, ada e-mail dari adikmu. Maaf ya, sepertinya agak terlambat. Baru masuk tadi pagi.” Koordinator tingkat kecamatan tampak mendung ketika mulai membuka laptopnya. Siang itu dia sengaja datang ke dusun kami hanya untuk mengantar berita itu. Diapun segera menyodorkan laptopnya dan membukakan e-mail untukku.
“Mbak, Romo Galih sudah berpulang malam ini. Gula darahnya naik terus dan sempat masuk rumah sakit selama tiga hari. Kata Dokter, beberapa bulan terakhir dietnya kacau. Misa requem untuk beliau diadakan esok pagi jam 10.00. Apa Mbak Ririn bisa pulang? Salam dan doa, adikmu, Riana.” Tiba-tiba dadaku menjadi sesak, jemariku mengepal, mukaku memanas, bibirku menggigil, dan air mata tidak bisa kubendung lagi. Akupun berteriak histeris. Menangis dan sulit berhenti. (Bekasi Utara, 2007)

YESUS FILTER HIDUPKU (Warta Klara 30 Agustus 2009)

YESUS FILTER HIDUPKU
Oleh C. Rini Giri

Apa yang terucap dan ditunjukkan dalam perilaku, ternyata mencerminkan apa yang dipunyai. Jika perbendaharaannya baik, maka yang terluncur dari mulut dan tertuang dalam tindakan adalah hal-hal yang baik. Sebaliknya jika perbendaharaannya minus, maka kata-kata yang terlontar dan perilaku yang tampak juga kurang terpuji.
Jika saya sedang rajin membaca Alkitab, maka saya akan terisnpirasi untuk menulis hal-hal yang berjiwa rohani. Tapi ketika saya sedang iseng membaca bacaan kurang bermutu, maka yang saya tulispun sumpah serapah. Apa yang keluar dari diri benar-benar berasal dari perbendaharaan yang tersimpan dalam hati dan pikiran. Apa yang memancar dari diri adalah apa yang menjadi perasaan dan pandangan.
Mungkin kadang bisa berakting di depan orang lain, beda di dalam beda pula di luar. Alias pakai topeng. Tapi akan bertahan berapa lama? Lambat laun akan capek menipu diri sendiri dan orang lain. Orang lain, selugu apapun, juga mampu membaca mata dan mengenali bahasa tubuh. Merekapun akan tahu jika ternyata isi hati dan ucapan tidak sinergi. Atau pikiran dan tindakan tidak sejalan.
Dunia ini dilengkapi dengan dua sisi yang berseberangan. Kutub baik-kutub buruk, halal-haram, sejati-palsu, jujur-dusta, rendah hati-congkak, dan sebagainya. Celakanya kelima indera mampu menangkap dan menyerap semuanya. Bisa melihat kebaikan tapi juga menatap kejahatan. Bisa mencium kedamaian tapi juga membaui permusuhan. Bisa mendengar kejujuran tapi juga menguping kebohongan. Bisa mencecap perilaku halal tapi juga merasakan perilaku haram. Bisa meraba ketulusan tapi juga menyentuh kedengkian.
Namun apa yang ditangkap panca indera, tidak semuanya harus menjadi perbendaharaan. Manusia berhak untuk memilah dan memilih. Kalau yang dipilih dan disimpan dalam brankas adalah hal baik, maka kelak yang dibagikan pada orang lain juga kekayaan yang baik itu. Tapi jika yang disimpan dalam tabungan hal yang tidak baik, maka bagaimana mungkin akan menaburkan hal baik sementara tak punya simpanan yang baik?
Yesus berkata : “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya.” Mark 7:15. Rupanya kita butuh filter untuk menyaring semua hal yang terserap. Sebab semua hal bisa mempengaruhi kita. Jika pandai menyaring, maka hanya yang baik dan benar saja yang tersimpan dan dikeluarkan dalam ucapan dan tingkah laku. Jika tepung sudah diayak dan disimpan dalam kantong, bukankah siap dijadikan kue lezat? Tapi jika mengayak pasir dan lebih memilih kerikil yang tersisa di atas saringan, bukankah akan menyandung kaki suatu saat?
Semua kejahatan dunia yang mempengaruhi dan tidak berguna, biarlah tidak masuk ke dalam hati. Cukup masuk ke perut dan dibuang ke jamban. Sebab jika dibiarkan masuk ke dalam hati dan suatu saat dikeluarkan, maka akan menajiskan. Orang lain bisa terluka dan tersakiti kareanya.“Apa yang keluar dari seseorang itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.” Mark 7:20-22.
Ya, Yesus, jadilah Engkau filter bagi hidupku. Sehingga aku bisa memilah dan memilih hal baik yang layak menjadi kekayaan rohaniku. Sehingga aku tidak akan dinajiskan oleh sesuatu yang kotor yang keluar dari mulut, kaki, dan tanganku. Amin.

SAHABAT PENA DARI SIBERUT (HIDUP No 22 tahun ke-61 14 Oktober 2007)

SAHABAT PENA DARI SIBERUT
Oleh Rini Giri


“Siapa aku? Anak hutan belantara yang biasa bermain dengan alam dan bergurau dengan hijaunya dedaunan. Ya, berbeda sekali dengan dirimu yang tinggal di kota dengan mobil dan bangunan megah yang kau sebut dengan apa itu…mall?
Rumahku? Aku tinggal di dalam uma di tengah rimba. Rumah panjang untuk ditinggali keluarga besar kami. Kau pernah cerita soal rumah tradisional joglo di daerahmu itu kan? Yah, boleh dibilang uma itu rumah tradisional kami.
Hobiku? Hobiku berburu. Aku sudah mengenal kegiatan ini selagi masih orok…ha… ha…ha…Kami sudah bisa membuat busur dan anak panah sendiri sejak kecil. Ujung anak panah kulumuri racun mematikan dari kulit kayu dan akar tumbuhan khusus. Tapi tenang saja, kau tak perlu takut bergaul denganku. Berburu adalah kebanggaan lelaki Mentawai sepertiku. Kami punya etika dalam berburu kok.
Kau tahu letak Pulau Siberut kan? Di lepas pantai barat Sumatera. Di Kepulauan Mentawai. Pulau Siberut yang terbesar dan paling utara dari kepulauan itu. Keluargaku tinggal di kota kecamatan bagian tenggara dari pulau itu, namanya Muarasiberut. Jauh sekali dari Kota Semarang-mu bukan?
Makanan kami? Kami makan sagu hutan. Berlauk ikan, daging binatang buruan, atau tempayak. Kau pasti belum pernah mencicipi gurihnya tempayak. Binatang kecil itu muncul dari dalam pohon sagu yang dibelah dan dibiarkan selama beberapa minggu. Proteinnya tinggi.
Ah, tapi aku sedih menceritakan semua itu padamu. Itu hanya tinggal kenangan yang diceritakan Bajaj (ayah) padaku. Semua yang kupaparkan itu bukan masa kecilku, tapi masa kecil Bajaj. Aku sudah tidak mengenal uma lagi, tapi tinggal di perkampungan. Jangankan punya panah beracun dan membidik babi hutan, berburupun sekarang dilarang keras dan senjata-senjata tajam dirazia. Hutan dibabat para cukong. Tapi kami yang dituding telah merusak ekosistem, menjarah hutan, dan melakukan perburuan liar. Aku sudah tak pernah makan sagu, makananku beras seperti orang Jawa. Dan kami, anak-anak di kecamatan-kecamatan telah belajar di sekolah-sekolah yang didirikan para misionaris. Orang luar bilang, orang Mentawai itu suku primitif yang harus dibikin beradab. Mereka datang dengan pembangunan dan telah merusak hidup kami. Tatanan adat hilang, tradisi leluhur dilarang, kami harus meninggalkan agama nenek moyang dan berganti agama baru yang diijinkan pemerintah, hutan belantara tempat kami menyandarkan hidup dibabat habis, dan kami harus menyingkir dari uma seperti siput yang dicopot dari cangkangnya.
Sudahlah, mungkin harus begitu supaya modern. Selalu butuh tumbal. Tapi dengan bersekolah aku bisa membaca, menulis, mengetahui dunia luar, termasuk mengenal dirimu yang jauh. Dari Pastur Kepala Sekolahlah aku mendapat majalah yang memuat berita tentang keberhasilanmu menjadi Siswa Teladan SMA Tingkat Nasional. Sehingga aku bisa kenalan denganmu. Jangan berhenti mengirim surat padaku ya, karena dengan itu aku bisa melihat dunia…”
Itu isi surat kedua dari sahabat penaku di Siberut. Kuterima awal Januari 1990. Lantas di akhir bulan, kutulis padanya, bahwa pembangunan justru meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, kesehatan, dan pendidikan warga. Jadi janganlah memandang buruk pembangunan. Coba, lihatlah Pulau Jawa yang telah terlebih dahulu dibangun. Hidup di sana sungguh nyaman dan mudah karena segala fasilitas ada. Universitas-universitas berkualitaspun dibangun di seantero Jawa. Kuusulkan padanya untuk kuliah di Jawa saja setamat SMA nanti. Dia kini mendapat beasiswa dari yayasan misi di daerahnya, sehingga bisa duduk di bangku SMA Katolik di Padang Pariaman. Dengan begitu, kelak dia bisa membangun tanah kelahirannya. Dia juga kuberitahu tentang komputer yang semakin canggih, bahkan internet dan telepon seluler mulai dikonsumsi kalangan tertentu di Jawa. Hebat bukan?
Surat balasanku itu adalah surat terakhirku. Dia terus menulis, tapi aku tak membalas karena harus kuliah ke Tokyo atas beasiswa yang kuterima. Kini, delapanbelas tahun telah berlalu. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mungkin sudah pulang ke Siberut dan menjadi guru di sekolah misi.
Tiap hari, dari televisi ruang kerjaku di Jakarta, kulihat bencana terus melanda negeri ini. Banjir melahap Metropolitan dua kali dalam satu tahun. Ibukota sudah menjadi hutan beton yang tidak mampu menyerap air hujan. Dulu aku membanggakan mall-mall yang bertebaran di Semarang, tapi kini aku pusing melihatnya. Sungai-sungai di Jawa yang tenangpun meluber akibat pendangkalan oleh sampah dan menggenangi kota-kota yang dilaluinya. Di mana-mana tanah longsor karena tanaman-tanaman keras yang menyangga perbukitan telah ditebang. Lumpur panas pun merendam puluhan kampung karena ambisi pengeruk isi perut bumi yang ingin tambah kaya. Aku rindu untuk menulis lagi bagi sahabat lamaku itu.
“Sekarang, hampir setiap orang punya telepon seluler dan bisa mengakses internet semau gue. Tapi pulau yang kubangga-banggakan padamu karena kemajuannya, kini sedang menuai bencana. Aku lahir, tumbuh, dan besar di pulau kaya ini, sehingga terlena dalam kenikmatan hasil-hasil pembangunannya. Fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, komunikasi, tehnologi, rekreasi semua serba tersedia dalam kondisi prima. Aku penikmat pembangunan yang tulen, sampai-sampai tak punya kepekaan sepertimu.
Tuhan memang memberi hak pada manusia untuk memenuhi dan menaklukkan bumi serta menguasai isinya. Bukankah itu tugas untuk memiliki, memanfaatkan, merawat, dan memelihara? Bukan untuk merusak, memusnahkan, dan membinasakan? Manusia hanya membanggakan hasil tanpa peduli dampak. Pembangunan memang membawa kemajuan dan kemudahan hidup. Tapi jika dilakukan tanpa perencanaan, tanpa pertimbangan pada dampak lingkungan dan sosial, pasti kamu telah melihat sendiri akibatnya, banjir, tanah longsor, lumpur panas meluap, penggusuran.
Aku saat ini bukan hanya merasa seperti siput yang dipaksa keluar dari cangkang, tapi merasa sudah dipotong-potong, ditusuk satai dan dihidangkan di meja makan VIP hotel berbintang lima. Kelihatannya mewah dan penuh gengsi, namun ternyata menderita. Pernah aku terpaksa meninggalkan mobilku yang terbenam banjir di jalan dan mencapai kantor dengan diangkut gerobak sampah berongkos limapuluh ribu rupiah. Oh Tuhan…”
Kutelepon Istriku apakah surat-surat sahabat penaku dari Siberut itu masih tersimpan baik, karena aku membutuhkan alamat yayasan misi yang dulu menyekolahkannya. Dia bilang, semua barang di lantai bawah sudah dihancurkan air dan lumpur saat banjir lalu. Termasuk surat-surat itu. Oh, bagaimana kabar hutan rimbamu, Siberut? Jakarta kebanjiran…(Bekasi Utara, 2007)

KETIKA DIA PULANG (HIDUP no.10 tqhun ke-62 9 maret 2008)

KETIKA DIA PULANG
Oleh Rini Giri


Aku sedang berdandan di depan cermin pagi itu, ketika Mbok Narti mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka dan memberitahu bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku.
“Siapa?” tanyaku sedikit jengkel. Pagi-pagi begini, saat sedang bersiap-siap untuk pergi misa, kenapa musti ada tamu! Siapa sih tamu nggak tahu waktu itu?
Setelah dandanan terasa pas dan pantas, aku mengintip dari gorden jendela kamar. Seorang lelaki tua berdiri di teras dengan sikap gelisah. Ya Tuhanku dan Allahku! Kepalaku seperti tersambar petir dan tubuhku seperti terkena tendangan bola yang meluncur ke gawang! Tiba-tiba aku lunglai, jantungku serasa mau copot, persendianku lemas, dan kerongkonganku mengering membuat lidah jadi kelu. Dia, yang duapuluh lima tahun lalu meninggalkan rumah ini, meninggalkan aku dan ketiga anak-anak yang masih kecil, demi seorang perawan molek yang tak tahu diri, kini kembali. Mau apa dia? Kenangan-kenangan pahit dan bekas-bekas luka yang harus aku telan dan kusembuhkan sendiri itu muncul lagi. Selama ini aku sudah bisa melupakannya, mengenyahkannya dari ingatan, melenyapkannya dari mimpi-mimpi burukku, dan bahkan sudah menganggap dia mati! Tapi kenapa sekarang dia berdiri lagi persis di tempat ketika aku memohon-mohon dengan tangis pilu sambil memeluk erat kakinya, supaya tidak pergi duapuluh lima pasang musim yang lalu? Aku benar-benar tak habis mengerti!
Segera kuraih hand phone di meja rias dan kuhubungi anakku tertua. Aku berusaha mencari dukungan darinya. Dia sudah berusia delapan tahun waktu ayahnya pergi, jadi kuharap dia lebih mengerti keadaannya dibanding kedua adiknya, yang kala itu masih balita dan sama sekali tidak punya memori tentang sosok ayahnya.
“Apa Ibu masih mencintai Bapak? Kalau memang ibu masih berkenan, terimalah dia kembali, Bu. Bagaimanapun juga dia ayah kami. Tapi kalau tidak, ya sudah, itu hak Ibu. Saya dan adik-adik hanya ingin Ibu bahagia. Kami tidak ingin Ibu tersakiti lagi. Hanya Ibu yang bisa memutuskannya,” ujar anak lelakiku di ujung telephone. Aku memang tidak pernah menjelek-jelekkan ayah mereka atau menanamkan rasa dendam pada anak-anakku. Mereka bertiga tumbuh wajar dengan seorang ibu single parent tanpa banyak tanya tentang ayah mereka. Sama sepertiku, selama ini mereka merasa ayahnya seolah sudah mati. Tidak ada cerita, kabar, foto, ataupun kenangan tentangnya.
Aku harus berani menghadapi lelaki tua itu. Apa maunya sekarang? Akupun bergegas ke teras dengan sikap yang elegan dan berwibawa, meskipun sebenarnya itu hanya topeng dari perasaan kacauku. Ketika aku muncul, dia menoleh ke arahku dengan gerakan serba salah tingkah. Kenapa kakek tua? Kamu kaget melihat diriku masih cantik dan kian matang? Aku hanya diam dalam keangkuhan sambil menunggu apa yang mau dikatakannya. Kini sorot matanya layu, tubuhnya kurus, raut mukanya loyo, dan penampilannya sama sekali tidak perlente seperti dulu. Aku tetap bisu menunggu.
“Miranti...” desisnya menyebut namaku. Aku masih berdiri kaku. Dia mendekat dan menatap mataku sendu. Sebenarnya jantungku berdetak kencang melihat mata yang dulu pernah kucintai itu, tapi aku tetap membatu. “Ranti, maafkan aku.” Apa? Minta maaf? Setelah sekian puluh tahun mengkhianati dan mencampakkanku seperti rombengan? Setelah membiarkanku hidup menderita membesarkan tiga anak sendirian? Dia mau minta maaf? Jadi setelah dia jadi sakit, lusuh, dan tak berguna seperti itu, dia mau minta maaf, minta dikasihani, minta dimaklumi, lantas dengan seenaknya mau kembali ke rumah ini? Enak saja! Kemana dara molek yang membuat dirinya kehilangan daya nalar, perasaan, dan iman itu? “Aku dan Savina sudah bercerai tiga tahun lalu,” ucapnya tanpa ditanya. Oh, jadi cuma sebatas itu cinta perempuan yang membuatnya lupa daratan itu? Setelah lelaki itu jadi bobrok dan tidak bisa lagi dihisap uangnya, lantas dicampakkan begitu saja! Aku membuang muka sinis. “Ranti, aku punya banyak dosa padamu dan anak-anak. Aku mohon, Ranti, maafkan aku. Sekarang aku sudah tua, sakit, dan mungkin sebentar lagi akan mati. Aku hanya ingin minta maaf darimu, supaya hari-hari akhirku menjadi tenang dan akupun bisa mati dengan tersenyum, meskipun pastilah dosaku ini tidak terampuni,” ujarnya lirih dengan mata merah berkaca-kaca, lantas batuk-batuk tak ketulungan. Dia tampak begitu menderita. Tiba-tiba aku jadi kasihan padanya. Penyesalannya sungguh-sungguh. Dia pulang hanya dengan tubuh tua yang letih, dengan batuk hebat yang menggerogoti badannya, dan dengan kerendahan hati untuk minta maaf. Bukankah sebenarnya sejak dulu aku mendamba agar suamiku menyadari kesalahannya? Lihat diriku, bukankah justru aku yang sedang berdiri dalam kecongkaan dan perasaan menang? Aku menarik nafas dalam. Dulu aku sangat mencintainya, bahkan rela bersumpah di depan altar untuk setia kepadanya dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Kini dalam kondisinya yang memprihatinkan seperti itu apakah aku akan terus membusungkan dada untuk tidak menggenapi sumpahku dalam sakramen perkawinan tiga puluh lima tahun silam? Bukankah kami tidak pernah bercerai?
Oh, Yesus. Kenapa Kau harus mengajariku untuk memaafkan orang lain tujuh puluh kali tujuh kali? Kenapa Kau harus mengajariku untuk memberikan pipi kiri ketika pipi kanan ditampar orang lain? Kenapa juga Kau tidak membiarkan perempuan pezinah itu dilempari batu, bahkan Kautolong dan Kausuruh bertobat? Aduh, berat betul ajaran dan teladan-Mu, ya Yesus! Aku mengeluh. Tiba-tiba lelaki itu berlutut dan memeluk kakiku erat sambil menangis.
“Aku memang tidak pantas untuk mendapat maafmu. Aku juga tidak layak untuk bertemu anak-anak. Kesalahanku memang sangat besar. Aku memang pantas mendapatkan hukuman…” Setelah itu dia berdiri. Dengan kepala tertunduk diapun membalikkan badan dan pergi dengan langkah gontai. Punggungnya tampak tersengal-sengal oleh batuk yang luar biasa menyiksa. Apakah engkau akan tetap membisu dalam kesombonganmu, Miranti? Untuk apa kau pergi ke gereja dan minta ampun pada Bapa kalau kau sendiri tidak mau memaafkan orang lain?
“Mas,” panggilku dengan susah-payah. Lelaki itu berhenti dan menoleh. Aku mendekatinya. “Pagi ini aku mau ke gereja. Apa kau mau kita pergi bersama?” Wajah renta itu memandangku dan tersenyum mengangguk penuh haru. Untuk menerimanya lagi di hatiku mungkin butuh waktu, tapi untuk sekedar memaafkan dan membuatnya tersenyum, aku bisa melakukannya bukan? Oh, Yesus, ajaran-Mu memang keras, tapi dengan sedikit kerendahan hati saja, ajaran itu begitu mudah dan membahagiakan. Terimakasih, Yesus. (Bekasi Utara, Oktober 2007)