Rabu, 01 September 2010

Anak-Anak pun Senang Mengenal Dia

ANAK-ANAK PUN SENANG MENGENAL DIA
Oleh Rini Giri


Malam itu Pastur akan mengunjungi umat. Anak-anak disuruh duduk bersila di depan altar. Katanya, agar lebih banyak mendapat berkat Tuhan. Orang-orang dewasa duduk di belakang. Rita kecil berdebar-debar hatinya. Itu adalah kesempatan pertamanya melihat Pastur dari jarak dekat. Ibunya selalu mengajak duduk di teras gereja jika misa, karena takut membuat kegaduhan kecil yang bisa mengganggu konsentrasi umat lain.
“Duduk yang manis ya, Anak-anak. Sebentar lagi Pastur datang. Selama misa, anak-anak harus tenang ya. Jangan ngobrol sendiri. Sebab saat berdoa, kita sedang bicara pada Tuhan. Jadi harus sungguh-sungguh.” Nasihat Bapak Ketua Lingkungan. Dengan masih sedikit bersuara, anak-anak mengangguk.
Tubuh Rita mungil, sehingga dia beberapa kali berdiri dan menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Pastur sudah datang atau belum. Di belakangnya, duduk sederet anak lelaki bertubuh bongsor. Dia penasaran dengan warna kasula Pastur yang berubah-ubah itu. Hari ini Pastur pakai warna putih, merah, atau hijau ya?
“Rita, duduk! Nanti Pastur marah!” Hardik ibunya dari belakang. Rita mendengus kesal lantas duduk kembali. Ah, nyatanya Pastur itu tidak pemarah kok. Buktinya begitu datang, anak-anak disalami satu-persatu dengan senyum ramah.
Ketika Pastur sedang berkotbah, Rita tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Pastur. Dia lebih tertarik untuk membahas warna jubah pastur dengan Andin yang duduk di sebelahnya. Pastur di sekolahnya memakai jubah putih tapi kenapa yang datang ini pakai jubah coklat? Lagi-lagi ibunya menghardik,” Rita! Diam! Nanti Tuhan marah! Tidak diberkati kamu nanti!” Hardikan ini membuat Rita terdiam. Lantas melirik gambar Yesus yang terpasang di dinding. Tangan kanan Yesus yang sedikit terangkat seolah menegurnya agar tidak berisik. Sejak saat itu, Rita tidak mau lagi duduk di depan dalam kegiatan lingkungan. Dia takut Tuhan marah dan tidak mau memberkatinya lagi. Lebih baik dia duduk di belakang, sehingga jika berisik, Tuhan tidak mendengar.
Setelah beranjak dewasa dan mengenal Kitab Suci, barulah Rita mendapat jawaban pasti. Tuhan itu Maha Baik. Dia menjadikan bumi seisinya dalam keadaan prima hanya untuk diberikan gratis pada manusia. Apa ada kerelaan cuma-cuma sebesar itu kalau bukan dari Tuhan? Diapun selalu memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat jika melakukan kesalahan. Meskipun bangsa Israel berkali-kali berpaling pada allah lain, namun dengan sabar Tuhan membimbing mereka sampai ke tanah terjanji. Bahkan dikirim-Nya nabi-nabi untuk memperingatkan mereka. Dan yang paling hebat lagi, Dia mengutus Putra-Nya Yang Tunggal untuk menderita sengsara demi penebusan dosa manusia. Ada cinta yang rela mengorbankan nyawanya demi sahabatnya, tapi apakah ada cinta lain yang rela mengorbankan nyawanya hanya untuk manusia yang pendosa dan tidak setia? Sungguh Tuhan itu baik, tidak menakutkan seperti yang selama ini dikenalnya.
“Sudah, Bu. Jangan dimarahi, nanti dia malah tidak mau ikut sekolah minggu lagi.” Tutur Rita pada seorang ibu yang menegur keras anaknya karena sedari tadi tidak mau duduk seperti teman yang lain. Gadis itu segera mengambil gambar Yesus yang sedang memberi makan limaribu orang dan memberikan pada anak itu supaya diwarnai. Tak apalah hari ini anak itu tidak mengikuti dinamika kelompok, yang penting dia tetap senang berada di tempat Bina Iman Anak itu.
Sungguh, Rita tidak ingin anak-anak mendapatkan gambaran yang menakutkan tentang Tuhan. Apalagi kalau hanya dipakai orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar menurut. Tuhan itu baik, sampai kapanpun sifat itu tidak akan berubah, dan Rita merasa punya hutang untuk mewartakan kabar gembira itu kepada anak-anak. Masa kecilnya dihantui gambaran Tuhan yang akan marah jika dia berisik dalam misa, tidak mau memberikan berkat jika dia ngobrol selama rosario, atau memotong lidah-tangan-kaki jika dia bicara buruk atau berbuat kenakalan. Dia tidak ingin anak-anak ketakutan seperti dirinya.
Rasa takut itu telah membuat imannya tidak bisa berkembang dengan baik. Dia melakukan segala kegiatan doa hanya karena takut. Bukan karena cinta-Nya pada Tuhan yang telah lebih dahulu mencintai dirinya. Bukankah hamba dengan satu talenta itu hanya menanam talentanya dalam tanah karena punya rasa takut luar biasa pada tuannya? Dia takut talentanya akan hilang dan akhirnya mendapat hukuman dari tuannya. Seandainya dia punya relasi yang baik dengan tuannya, pastilah dia akan lebih berani dan terbuka untuk melipatgandakan talentanya itu.
“Bang, Kitab Suci Untuk Anak-anak yang diceritakan kembali oleh Anne de Graaf itu harganya berapa ya?” Tanya Rita pada kakaknya yang menjadi staff marketing sebuah toko buku besar. Kakaknya hanya tersenyum. Mungkin perlu waktu dua bulan untuk menyisihkan uang jajan guna mendapatkan buku itu.
Menurut Rita, anak-anak juga harus mengenal kebaikan Tuhan secara benar sedari kecil. Satu-satunya cara adalah mendengarkan Sabda Tuhan supaya lebih mengenal Yesus. Sebab Yesus bersabda, barangsiapa mengenal Aku maka dia menganal Bapa yang mengutus Aku. Mereka akan kesulitan jika harus membaca Alkitab atau mendengar kotbah pastur di gereja. Satu-satunya sarana adalah cerita-cerita Kitab Suci dengan bahasa dan visualisasi yang mudah dimengerti anak-anak.
“Nih, bukunya.” Ujar kakaknya sambil menyerahkan sebuah buku tebal bersampul biru kelabu dengan gambar Yesus sedang memberkati anak-anak.
“Aku harus bayar berapa, Bang?” tanya Rita. Betapa gembira hati Rita menerima buku impiannya itu.
“Udah, nggak usah. Aku senang kok. Cuma itu yang bisa kuberikan. Aku salut pada orang-orang muda sepertimu yang peduli pada perkembangan iman anak-anak.” Rita tersipu.
Dalam pertemuan BIA, Rita menunjukkan buku baru itu pada anak-anak. Mereka sangat antusias ketika gadis itu mulai membuka halaman pertama dan mengisahkan Allah Menciptakan Semuanya Baik.
“Lihatlah gambar pohon-pohon, rumput, bunga, binatang di darat, ikan di laut, burung di udara, dan air jernih ini. Semua diciptakan untuk kita. Betapa baik Tuhan pada kita. Kitapun harus merawat dan memelihara ciptaan Tuhan ini sebagai tanda syukur kita.”
Rita berjanji akan menceritakan halaman berikutnya dalam pertemuan mendatang. Halaman demi halaman, hingga yang terakhir Dunia Baru Milik Allah. Dia bersyukur, dengan membacakan Sabda Tuhan berarti dia lebih mendengar-Nya. Mengajar mereka, berarti juga mengajar diri-sendiri. Dengan mengajarkan kebaikan Allah, kebaikan-Nya itu semakin nyata. Anak-anakpun senang mengenal Dia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar