Sabtu, 29 Agustus 2009

Sepeda Tante Tien (HIDUP no 04 tahun ke-62, 27 jan 2008)

SEPEDA TANTE TIEN
Oleh Rini Giri

Sudah dua minggu ini bunyi bell sepeda onta yang rutin mengunjungi Bina Iman Anak (BIA) itu tidak terdengar. Ada apa gerangan? Apakah Tante Tien bangkrut gara-gara setiap Hari Minggu bagi-bagi kue dagangan gratis pada anak-anak? Apakah Tante Tien pulang kampung? Ataukah Tante Tien sakit? Tidak ada satu orangpun di tempat BIA yang tahu. Rita menggigit bibir. Hatinya resah memikirkan ketidakhadiran perempuan paruh baya penjaja kue keliling itu. Dia lebih suka kalau ternyata tante Tien memang sudah memutuskan untuk tidak memberi kue gratis lagi. Kalau apa yang dilakukan perempuan itu bisa bikin bangkrut, tentu Rita akan sangat menyesal.
“Maaf, Tante. Saya sangat berterimakasih atas perhatian Tante pada kegiatan BIA. Tapi Tante, ini kan barang dagangan. Kalau setiap Hari Minggu dibagikan gratis pada anak-anak, Tante bisa tekor. Nanti pakai apa bayar kontrakan dan biaya makan keluarga Tante?” kata Rita suatu hari. Perempuan dengan sepeda onta lengkap keranjang kue di boncengannya itu hanya tersenyum. Dia terus memasukkan kue donat sebanyak duabelas biji, sesuai jumlah anak yang hadir, ke dalam kantung plastik.
“Ini cuma sedikit kok. Tidak ada artinya dibanding berkat Tuhan yang melimpah untuk saya dan keluarga.” Ah, tante satu ini memang sok! Semua orang juga tahu kalau keluarganya itu miskin, suaminya menganggur, anak-anaknya tidak bisa kuliah. Berkat yang mana? Demi melihat kernyitan di dahi Rita, perempuan itu berkilah. “Yang penting keluarga kami tetap rukun, tetap bisa makan, tetap sehat.” Oh. Rita menghela nafas. “Ini wujud syukur. Cuma ini yang bisa kami berikan,” lanjutnya sambil menyodorkan bungkusan itu pada si pendamping BIA. Anak-anak pasti akan berlompatan girang menerima penganan gratis itu. Rita hanya mengangguk sambil mengucap terimakasih sebelum sepeda onta itu berlalu. Dulu pernah Rita menyodorkan sejumlah uang sebagai kompensasi, tapi dengan tulus Tante Tien menolak.
Apa iya Tante Tien bangkrut sehingga tak bisa jualan lagi? Kalau pulang kampung tidak mungkin, karena biasanya memberi tahu. Atau jangan-jangan sakit? Rita segera mendapatkan ide. Dia harus mengunjungi rumah Tante Tien untuk mengetahui kondisi sebenarnya. Mahasiswi itu pergi bersama dua orang pendamping BIA lainnya dan tiga anak asuh.
Rumah kontrakan itu berupa petak dengan ruang tamu sempit, sebuah kamar tidur yang hanya tertutup kain gorden lusuh, dan sekat kecil untuk memasak serta ada kamar mandi ciut. Seorang lelaki tua duduk di beranda sambil mengepulkan asap rokok, sedangkan sepeda onta itu tidak kelihatan. Apa tante Tien sedang pergi? Rombongan itupun segera bertanya pada lelaki tua, suami Tante Tien, yang buru-buru masuk rumah untuk memberi tahu. Tak lama sosok perempuan yang sangat mereka kenal karena kemurahan hatinya itu muncul dari dalam rumah. Dengan senyum ramah yang cerah. Syukurlah, dia baik-baik saja.
“Aduh, mimpi apa aku semalam sampai-sampai dikunjungi tamu-tamu istimewa ini.” Diapun segera menyalami rombongan. “Maaf ya, sudah beberapa kali saya tidak bisa mampir, soalnya tidak ada sepeda lagi. Mau jalan ke sana sudah letih rasanya.” Diapun mempersilakan rombongan duduk di atas tikar ruang tamunya.
“Sepedanya rusak?” Tanya Rita.
“Bukan. Anak saya sedang butuh ongkos untuk cari kerja di kota lain. Hanya sepeda itu yang bisa dipakai untuk menambah uang sakunya.”
“Tante tidak jualan lagi?” desak Rita.
“Jualan kok. Tapi hanya dekat-dekat sini saja. Soalnya jalan kaki. Aduh, maaf ya, tidak sempat mengunjungi bina iman lagi.”
“Nggak pa-pa kok, Tante. Yang penting Tante selalu sehat dan baik-baik saja.” Jawan Rita menghibur. Perempuan itupun terus nyerocos dengan ceritanya. Katanya, sejak tidak pernah mampir ke BIA, dagangannya agak sepi.
“Oh, seandainya bisa mampir terus, pastilah laris.” Rita tersenyum geli. Sebenarnya mudah saja logikanya, kalau naik sepeda daya jangkau Tante Tien semakin luas dan pembeli semakin banyak. Sedangkan dengan jalan kaki, daerah yang dikelilingi terbatas sehingga yang belipun sedikit. Tapi perempuan sederhana itu masih saja mengkait-kaitkan hasil dagang dengan berkah dan syukur. Rita geleng-geleng.
Suatu hari, BIA mengedarkan proposal untuk acara Lomba Kitab Suci. Kas Lingkungan sudah mengucurkan dana, tapi masih dirasa kurang. Rapat pengurus lingkungan akhirnya mengijinkan Tim BIA mencari donator. Anak-anak muda itupun mendatangi warga yang dianggap terpandang di lingkungan itu, dengan harapan dana yang akan diberikanpun jumlahnya tidak main-main. Satu dua orang memang memberikan dana cukup banyak dengan senyum tulus, tapi beberapa orang hanya mengeluarkan lembaran warna ungu atau hijau. Itupun dengan ceramah panjang lebar, keluhan adanya macam-macam tarikan sumbangan, dan sungut-sungut kenapa tidak minta dana saja pada paroki. Bahkan ada juga yang hanya disambut pembantu yang mengatakan bahwa tuan rumah sedang pergi. “Memang lebih mudah bagi seekor unta masuk ke lubang jarum!” sungut Rita kesal. Toh Tim BIA cukup kreatif untuk mengalokasikan dana yang ada sehingga acara berjalan baik bahkan menyisakan surplus beberapa puluh ribu.
Rita kini jadi mengerti, kenapa Tante Tien begitu gembira dan bersemangat meskipun dia hidup dalam segala kekurangan. Dia orang yang selalu diliputi rasa syukur. Memberikan kue dagangan cuma-cuma pada anak-anak BIA merupakan ucapan terimaksihnya pada Tuhan, sehingga dia tidak pernah merasa rugi meskipun mengurangi pendapatan. Jika dia berhenti memberi, diapun merasa kehilangan sarana untuk berucap syukur dan sedih bahkan rugi. Memang aneh. Mungkin itulah yang namanya iman. Bahagia meskipun mempersembahkan segala yang dimiliki dari kekurangannya.
“Kenapa uang sisa kegiatan itu tidak digunakan untuk kebahagiaan sesama kita?” Tanya Rita pada teman-teman satu timnya.
“Maksudmu?” Tanya salah satu diantara mereka.
“Sisa uang itu ditambah iuran sukarela kita, bisa dibelikan sebuah sepeda bekas.” Jawab Rita. Apa salahnya sih berbuat sesuatu untuk orang yang telah berjasa bagi BIA?
“Buat apa?” Mereka tak habis mengerti. Rita tersenyum lagi.
“Buat Tante Tien.” Jawab Rita kemudian.
“Supaya kamu kebagian kue gratis lagi?” Ledek kawannya. Rita tetap tersenyum.
“Ya. Supaya dia kembali bahagia. Bukankah kalian juga merasakan senyum tulus dan kebahagiaan hati Tante Tien setiap kali datang?.” Kawan-kawannyapun mengangguk setuju. Semakin merekahlah senyum senang Rita. Mereka segera merogoh kocek masing-masing.
Pada pertemuan BIA berikutnya, bell sepeda Tante Tien terdengar lagi. Ada kebahagiaan di raut wajah tuanya. Kali ini lebih banyak lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar