Sabtu, 29 Agustus 2009

KETIKA DIA PULANG (HIDUP no.10 tqhun ke-62 9 maret 2008)

KETIKA DIA PULANG
Oleh Rini Giri


Aku sedang berdandan di depan cermin pagi itu, ketika Mbok Narti mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka dan memberitahu bahwa ada seseorang yang ingin bertemu denganku.
“Siapa?” tanyaku sedikit jengkel. Pagi-pagi begini, saat sedang bersiap-siap untuk pergi misa, kenapa musti ada tamu! Siapa sih tamu nggak tahu waktu itu?
Setelah dandanan terasa pas dan pantas, aku mengintip dari gorden jendela kamar. Seorang lelaki tua berdiri di teras dengan sikap gelisah. Ya Tuhanku dan Allahku! Kepalaku seperti tersambar petir dan tubuhku seperti terkena tendangan bola yang meluncur ke gawang! Tiba-tiba aku lunglai, jantungku serasa mau copot, persendianku lemas, dan kerongkonganku mengering membuat lidah jadi kelu. Dia, yang duapuluh lima tahun lalu meninggalkan rumah ini, meninggalkan aku dan ketiga anak-anak yang masih kecil, demi seorang perawan molek yang tak tahu diri, kini kembali. Mau apa dia? Kenangan-kenangan pahit dan bekas-bekas luka yang harus aku telan dan kusembuhkan sendiri itu muncul lagi. Selama ini aku sudah bisa melupakannya, mengenyahkannya dari ingatan, melenyapkannya dari mimpi-mimpi burukku, dan bahkan sudah menganggap dia mati! Tapi kenapa sekarang dia berdiri lagi persis di tempat ketika aku memohon-mohon dengan tangis pilu sambil memeluk erat kakinya, supaya tidak pergi duapuluh lima pasang musim yang lalu? Aku benar-benar tak habis mengerti!
Segera kuraih hand phone di meja rias dan kuhubungi anakku tertua. Aku berusaha mencari dukungan darinya. Dia sudah berusia delapan tahun waktu ayahnya pergi, jadi kuharap dia lebih mengerti keadaannya dibanding kedua adiknya, yang kala itu masih balita dan sama sekali tidak punya memori tentang sosok ayahnya.
“Apa Ibu masih mencintai Bapak? Kalau memang ibu masih berkenan, terimalah dia kembali, Bu. Bagaimanapun juga dia ayah kami. Tapi kalau tidak, ya sudah, itu hak Ibu. Saya dan adik-adik hanya ingin Ibu bahagia. Kami tidak ingin Ibu tersakiti lagi. Hanya Ibu yang bisa memutuskannya,” ujar anak lelakiku di ujung telephone. Aku memang tidak pernah menjelek-jelekkan ayah mereka atau menanamkan rasa dendam pada anak-anakku. Mereka bertiga tumbuh wajar dengan seorang ibu single parent tanpa banyak tanya tentang ayah mereka. Sama sepertiku, selama ini mereka merasa ayahnya seolah sudah mati. Tidak ada cerita, kabar, foto, ataupun kenangan tentangnya.
Aku harus berani menghadapi lelaki tua itu. Apa maunya sekarang? Akupun bergegas ke teras dengan sikap yang elegan dan berwibawa, meskipun sebenarnya itu hanya topeng dari perasaan kacauku. Ketika aku muncul, dia menoleh ke arahku dengan gerakan serba salah tingkah. Kenapa kakek tua? Kamu kaget melihat diriku masih cantik dan kian matang? Aku hanya diam dalam keangkuhan sambil menunggu apa yang mau dikatakannya. Kini sorot matanya layu, tubuhnya kurus, raut mukanya loyo, dan penampilannya sama sekali tidak perlente seperti dulu. Aku tetap bisu menunggu.
“Miranti...” desisnya menyebut namaku. Aku masih berdiri kaku. Dia mendekat dan menatap mataku sendu. Sebenarnya jantungku berdetak kencang melihat mata yang dulu pernah kucintai itu, tapi aku tetap membatu. “Ranti, maafkan aku.” Apa? Minta maaf? Setelah sekian puluh tahun mengkhianati dan mencampakkanku seperti rombengan? Setelah membiarkanku hidup menderita membesarkan tiga anak sendirian? Dia mau minta maaf? Jadi setelah dia jadi sakit, lusuh, dan tak berguna seperti itu, dia mau minta maaf, minta dikasihani, minta dimaklumi, lantas dengan seenaknya mau kembali ke rumah ini? Enak saja! Kemana dara molek yang membuat dirinya kehilangan daya nalar, perasaan, dan iman itu? “Aku dan Savina sudah bercerai tiga tahun lalu,” ucapnya tanpa ditanya. Oh, jadi cuma sebatas itu cinta perempuan yang membuatnya lupa daratan itu? Setelah lelaki itu jadi bobrok dan tidak bisa lagi dihisap uangnya, lantas dicampakkan begitu saja! Aku membuang muka sinis. “Ranti, aku punya banyak dosa padamu dan anak-anak. Aku mohon, Ranti, maafkan aku. Sekarang aku sudah tua, sakit, dan mungkin sebentar lagi akan mati. Aku hanya ingin minta maaf darimu, supaya hari-hari akhirku menjadi tenang dan akupun bisa mati dengan tersenyum, meskipun pastilah dosaku ini tidak terampuni,” ujarnya lirih dengan mata merah berkaca-kaca, lantas batuk-batuk tak ketulungan. Dia tampak begitu menderita. Tiba-tiba aku jadi kasihan padanya. Penyesalannya sungguh-sungguh. Dia pulang hanya dengan tubuh tua yang letih, dengan batuk hebat yang menggerogoti badannya, dan dengan kerendahan hati untuk minta maaf. Bukankah sebenarnya sejak dulu aku mendamba agar suamiku menyadari kesalahannya? Lihat diriku, bukankah justru aku yang sedang berdiri dalam kecongkaan dan perasaan menang? Aku menarik nafas dalam. Dulu aku sangat mencintainya, bahkan rela bersumpah di depan altar untuk setia kepadanya dalam suka dan duka, untung dan malang, sehat dan sakit. Kini dalam kondisinya yang memprihatinkan seperti itu apakah aku akan terus membusungkan dada untuk tidak menggenapi sumpahku dalam sakramen perkawinan tiga puluh lima tahun silam? Bukankah kami tidak pernah bercerai?
Oh, Yesus. Kenapa Kau harus mengajariku untuk memaafkan orang lain tujuh puluh kali tujuh kali? Kenapa Kau harus mengajariku untuk memberikan pipi kiri ketika pipi kanan ditampar orang lain? Kenapa juga Kau tidak membiarkan perempuan pezinah itu dilempari batu, bahkan Kautolong dan Kausuruh bertobat? Aduh, berat betul ajaran dan teladan-Mu, ya Yesus! Aku mengeluh. Tiba-tiba lelaki itu berlutut dan memeluk kakiku erat sambil menangis.
“Aku memang tidak pantas untuk mendapat maafmu. Aku juga tidak layak untuk bertemu anak-anak. Kesalahanku memang sangat besar. Aku memang pantas mendapatkan hukuman…” Setelah itu dia berdiri. Dengan kepala tertunduk diapun membalikkan badan dan pergi dengan langkah gontai. Punggungnya tampak tersengal-sengal oleh batuk yang luar biasa menyiksa. Apakah engkau akan tetap membisu dalam kesombonganmu, Miranti? Untuk apa kau pergi ke gereja dan minta ampun pada Bapa kalau kau sendiri tidak mau memaafkan orang lain?
“Mas,” panggilku dengan susah-payah. Lelaki itu berhenti dan menoleh. Aku mendekatinya. “Pagi ini aku mau ke gereja. Apa kau mau kita pergi bersama?” Wajah renta itu memandangku dan tersenyum mengangguk penuh haru. Untuk menerimanya lagi di hatiku mungkin butuh waktu, tapi untuk sekedar memaafkan dan membuatnya tersenyum, aku bisa melakukannya bukan? Oh, Yesus, ajaran-Mu memang keras, tapi dengan sedikit kerendahan hati saja, ajaran itu begitu mudah dan membahagiakan. Terimakasih, Yesus. (Bekasi Utara, Oktober 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar