Sabtu, 29 Agustus 2009

Tangisan Si Gadis Rantang (HIDUP no.12 tahun ke-62 23 Maret 2008)

TANGISAN SI GADIS RANTANG
Oleh Rini Giri

Di kota kabupaten tempat aku tinggal, terdapat sebuah gereja paroki. Para pastur yang berkarya di paroki itu tinggal di sebuah pasturan di belakang bangunan gereja. Sehari tiga kali aku datang ke sana untuk mengantar rantang berisi makanan yang akan disantap para pastur. Umat paroki mempercayai catering ibuku untuk menyediakan hidangan sehari-hari bagi para pastur itu.
Tugas mulia ini sudah aku jalani sejak masih kelas satu SMP dulu. Sekarang aku sudah kuliah semester lima dan bertambah sibuk, tapi aku tetap setia menjalankan tugasku sebagai pengantar rantang. Sambil mengantar makanan, aku bisa kenal lebih dekat dengan para pastur maupun petugas sekretariat gereja lainnya.
“Mbak Ririn adalah orang yang paling ditunggu-tunggu,” seloroh Pak Mardi, koster gereja, saat aku masuk ke dapur pasturan pada suatu siang.
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kalau mbak Ririn belum datang, para pastur gelisah,” jawabnya.
“Kok?”
“Habis, kalau rantang yang dibawa Mbak Ririn belum sampai, mereka belum bisa memulai kegiatan.” Pak Mardi tertawa geli. Akupun ikut terkekeh. Seperti biasanya aku membantu koster itu menata hidangan di meja makan. Hidangan dibagi dua. Sebagian untuk Romo Galih, Ketua Dewan Paroki, dan sebagian lagi untuk Romo Seto. Khusus untuk Romo Galih, ibuku memasakkan hidangan yang rendah kalori dan rendah gula. Maklum, pastur yang sudah memasuki usia senja ini punya penyakit diabetes militus. Sedangkan untuk Romo Seto, tidak ada pantangan atau diet khusus.
“Kok kelihatannya buru-buru, Rin?” Tanya Romo Galih sewaktu berpapasan denganku di ruang tamu. Beliau baru pulang dari memberikan sakramen perminyakan kepada warga yang sakit di salah satu lingkungan.
“Ada kuliah siang, Romo. Saya permisi dulu ya. Mohon berkat Tuhan.” Akupun meraih tangan tua itu dan kucium. Di kota kabupaten pedalaman seperti ini, seorang pastur memang sangat dihormati. Cium tangan merupakan suatu kebiasaan umat untuk menunjukkan rasa hormat dan cintanya pada sang gembala.
“Hati-hati ya. Tuhan memberkati. Belajar yang benar, biar hidupmu sukses. Sekarang kamu jadi pengantar rantang, lima atau sepuluh tahun lagi aku ingin melihatmu jadi eksportir makanan siap santap,” pesan Romo Galih dengan sedikit humornya. Akupun tertawa. Romo Galih dan Romo Seto memang sudah seperti temanku sendiri. Kami sering ngobrol, berkelakar, dan berdiskusi. Namun begitu, rasa hormatku kepada mereka tetap selalu kujunjung tinggi.
Kedekatanku dengan Romo Seto harus berakhir karena beliau dipindahkan ke paroki lain. Sebagai gantinya, datanglah seorang pastur muda yang baru saja ditahbiskan. Namanya Romo Adi. Orangnya ramah, supel, bijak, dan humoris. Bonusnya, wajahnya rupawan. Romo baru ini langsung populer di kalangan Mudika dan kelompok Legio Maria. Setiap mereka mengadakan kegiatan, pastilah Romo Adi yang diminta untuk mendampingi. Akupun cepat akrab dengan pastur baru ini. Dia menjulukiku Si Gadis Rantang. Bahkan Romo Adi mempercayaiku sebagai penunjuk jalan jika melakukan kunjungan pastoral ke pelosok-pelosok lingkungan yang belum dikenalnya.
Rupanya kedekatanku dengan Romo Adi menimbulkan desas-desus yang kurang sedap. Aku digosipkan punya hubungan khusus dengannya. Hal yang lebih menyakitkan lagi, aku dikira sengaja menggoda pastur yang begitu baik itu. Seorang teman Ibuku bahkan memperingatkan dengan keras agar anak gadisnya ini menjauhi sang pastur karena di parokinya dulu sempat terjadi aib dimana seorang pastur terpaksa menanggalkan jubah demi menikahi wanita yang terus-menerus mendekatinya.
“Tidak mungkin lah, Bu. Aku sangat menghormati Romo Adi. Dia itu gembala umat yang dipanggil sendiri oleh Tuhan. Mana mungkin aku akan menjadi penghalang bagi pekerjaan Tuhan di dunia ini,” jawabku ketika Ibu mempertanyakan kebenaran desas-desus yang sangat memalukan bagi keluarga kami itu.
“Ibu percaya sama kamu, Rin. Tapi mulai sekarang, untuk menghindari fitnah yang lebih kejam lagi, kamu harus mengurangi kedekatanmu dengan Romo Adi.” Aku tahu, Ibuku juga kasihan pada pastur muda itu. Jangan sampai kabar-kabar bohong dari orang-orang yang iri dan dengki ini bisa menjadi kendala baginya untuk melayani umat. Baiklah, aku akan mundur. Kedekatan pastur dengan umatnya memang harus dalam porsi yang wajar. Aku tidak mau jadi pengantar rantang lagi. Biar tugas itu dilakukan pembantu ibuku.
“Pak Mardi, mulai besok, rantang akan diantar pembantu kami. Tolong diingat diet Romo Galih ya, Pak. Jangan sampai menunya tertukar dengan milik Romo Adi. Ingat ya, Pak, minum Romo Galih itu teh tawar. Jangan sampai lupa,” pesanku pada koster di hari terakhir aku mengantar rantang. Pak Mardi hanya mengangguk. Aku tahu dia merasa sedih karena tidak ada lagi yang membantunya menata meja makan pastur. Padahal sudah hampir selama sembilan tahun terakhir ini aku adalah mitra setianya. Dia juga sedih karena tahu bahwa segala berita yang tidak mengenakkan itu adalah bohong belaka.
Sejak saat itu aku jarang muncul di pasturan. Aku tidak ingin omongan-omongan yang tidak benar semakin merajalela dan menjatuhkan nama baik Romo Adi maupun merongrong kehidupanku. Romo Galih dan Romo Adipun memaklumi tindakanku. Bahkan merekapun membantu membersihkan nama baikku dengan memberi penjelasan seperlunya kepada umat. Semoga lambat-laun umatpun menyadari bahwa yang mereka dengar hanyalah gosip murahan dan fitnahan orang dengki belaka.
Semester tujuh ini aku mengikuti Kuliah Kerja Nyata di suatu pedusunan di lereng gunung. Telepon sama sekali tidak ada di sana. Telepon selularpun tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal. Alat komunikasi yang bisa kami andalkan adalah surat dan e-mail. Namun, surat bisa datang terlambat dan e-mail baru bisa kami akses jika dosen atau koordinator tingkat kecamatan datang membawa laptop.
“Rin, ada e-mail dari adikmu. Maaf ya, sepertinya agak terlambat. Baru masuk tadi pagi.” Koordinator tingkat kecamatan tampak mendung ketika mulai membuka laptopnya. Siang itu dia sengaja datang ke dusun kami hanya untuk mengantar berita itu. Diapun segera menyodorkan laptopnya dan membukakan e-mail untukku.
“Mbak, Romo Galih sudah berpulang malam ini. Gula darahnya naik terus dan sempat masuk rumah sakit selama tiga hari. Kata Dokter, beberapa bulan terakhir dietnya kacau. Misa requem untuk beliau diadakan esok pagi jam 10.00. Apa Mbak Ririn bisa pulang? Salam dan doa, adikmu, Riana.” Tiba-tiba dadaku menjadi sesak, jemariku mengepal, mukaku memanas, bibirku menggigil, dan air mata tidak bisa kubendung lagi. Akupun berteriak histeris. Menangis dan sulit berhenti. (Bekasi Utara, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar