Sabtu, 29 Agustus 2009

BERAKHIRNYA SEBUAH PERSAINGAN (HIDUP no 41 tahun ke-61 14 Oktober 2007)

BERAKHIRNYA SEBUAH PERSAINGAN
Oleh Rini Giri

Berto dan Siska sama-sama lulusan dari sebuah universitas negeri terkemuka di Negara ini. Keduanya diwisuda dengan predikat Cuma laude dan meraih nilai terbaik di jurusannya. Kini, Berto bekerja sebagai dosen di almamaternya dan sedang melanjutkan kuliah ke strata dua. Istrinya, Siska, menjadi reporter di sebuah majalah wanita terkenal di Ibu Kota.
Tahun pertama, hubungan mereka lancar dan harmonis. Masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Sejoli itu bisa mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. Namun ketika pada tahun ketiga Siska melahirkan anak pertama, mau tidak mau dia harus rela melepaskan pekerjaan yang menjadi cita-citanya sejak kecil! Bayi mereka tidak bisa minum susu formula sehingga harus bergantung pada susu ibu (ASI)! Sungguh merepotkan!
Siska mulai sering uring-uringan menghadapi situasi seperti itu. Dia menjadi semakin stress ketika teman-temannya menelpon dan menyayangkan keputusannya untuk mengundurkan diri. Ayahnyapun pernah menyatakan rasa kecewanya karena sudah membiayai sekolah tinggi-tinggi tapi akhirnya masuk dapur juga! Ibu muda itu benar-benar mengeluh, kenapa tidak ada yang bisa mengerti posisi sulitnya! Anaknya tidak bisa ditinggal kerja!
“Sudahlah, Ma, bukankah anak jauh lebih penting dari apapun juga? Kebutuhan kita juga sudah tercukupi dari gajiku. Lagipula, setelah anak kita berumur dua atau tiga tahun, kamu bisa bekerja lagi.” Berto memberi penghiburan. Kata-kata suaminya cukup menguatkan hatinya.
Setahun telah berlalu, kini prestasi dan karier Berto semakin gemilang. Pergaulannya semakin luas dan semakin dihormati di kampus. Melihat itu semua, Siska menjadi iri hati. Terlebih jika bertemu dosen-dosen wanita teman sekerja suaminya saat ada arisan. Seharusnya dia bisa berkarier gemilang seperti mereka! Satu tahun tinggal di rumah telah menjauhkan dirinya dari teman-teman dan lingkungan yang serba produktif dan professional. Pergaulannya menjadi sempit, ilmunya menjadi mandeg, wawasannya ciut, dan mulai ada perasaan minder di hatinya. Dia bukan hanya iri pada suaminya tapi juga menjadi minder! Siska merasa dirinya benar-benar selevel dengan pembantunya. Hanya mengurus anak, membereskan pekerjaan rumah tangga, dan nonton sinetron atau infoteiment!
“Pa, aku mau kerja lagi!” Katanya pada suaminya suatu hari.
“Apa sudah siap untuk meninggalkan anak kita dan membiarkannya diasuh pembantu?”
“Harus siap, Pa. Kalau tidak nekat nanti aku keburu tua dan tidak laku di bursa kerja. Apalagi teman-temanku sudah jadi redaktur semua. Aku harus mengejar ketinggalanku.”
“Apa kamu benar-benar tega untuk menyapih anak kita?”
“Pa, jangan menyudutkan aku terus dong! Laki-laki bisa tega meninggalkan anaknya di rumah demi kariernya, kenapa perempuan tidak?” Berto hanya menarik nafas dalam. Dia tidak mau berdebat lagi karena tekat Siska begitu bulat. Seminggu kemudian Siska mulai bekerja sebagai koordinator liputan pada sebuah surat kabar ternama. Tugasnya menuntut dirinya untuk sering pulang larut malam. Saat berangkat kerja, anaknya belum bangun dan setelah pulang anaknya sudah tidur. Lama-kelamaan anaknya lebih lengket kepada pembantunya dan merasa tidak butuh ibunya. Pada awalnya Siska merasa sedih, tapi lama-lama situasi itu justru menguntungkan dirinya. Karena saat harus tugas ke luar kota, anaknya tidak perlu rewel!
Hari Minggu, mertuanya datang dan menginap. Otomatis keluarga adik iparnyapun datang. Kebetulan anak adik iparnya sebaya dengan anaknya. Ketika pamer kebolehan, anak berusia dua tahun itu sudah pintar berdoa, pandai menyanyikan lagu-lagu sekolah minggu, dan bicaranyapun sudah banyak dan jelas. Sementara itu, anaknya hanya diam, takut pada orang baru, dan sesekali rewel jika pembantunya sibuk di dapur. Adik iparnya begitu bangga pada anak balitanya. Sedangkan Siska, apa yang bisa dibanggakan dari anak yang pendiam, penakut, dan sering rewel? Siska kecewa sekali.
Sejak punya anak, adik iparnya memang dengan kesadaran penuh lebih memilih mendidik anak ketimbang mengejar karier. Tentu saja anak yang diasuh oleh ibunya sendiri akan jauh memiliki kemajuan dibanding anak yang diasuh pembantu. Semakin tinggi pendidikan si pengasuh bukankah akan semakin banyak kemampuan yang bisa ditransfer kepada anak?
Lama sekali Siska merenungkan hal itu. Untuk apa dia harus mati-matian menyaingi karier suaminya jika akhirnya anaknya sendiri yang menjadi korban. Dia mulai menyadari, suami memang bukan sosok untuk disaingi. Meskipun dulu mereka bersaing di bangku kuliah, bersaing meraih popularitas di kampus, bersaing siapa yang bakal lulus duluan, bersaing mendapatkan nilai A pada setiap mata kuliah, namun kini situasinya jauh berbeda. Mereka bukan teman kuliah lagi, melainkan sudah menjadi suami-istri.
Siska diingatkan pada isi Kitab Kejadian. Bukankah Allah menciptakan wanita sebagai penolong yang sepadan bagi pria? Adam dan Hawa diciptakan tidak untuk saling bersaing. Mereka diberi tugas dan posisi masing-masing sesuai dengan rencana Sang Pencipta, yaitu memenuhi bumi dan menakhlukkannya.Bagaimana bisa pria dan wanita menguasai bumi jika saling bersaing? Mereka harus saling menolong. Tuhan menciptakan mereka sama-sama menurut gambar dan citra Allah. Keduanya sama-sama diberkati oleh-Nya. Mereka sudah mempunyai kedudukan yang sepadan semenjak diciptakan. So, buat apa bersaing? Buat apa wanita sibuk mencari kesetaraan jika sejak dibentuk dari tulang rusuk pria, dirinya sudah sepadan dengan pria?
Pria akan meninggalkan keluarganya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Dalam satu daging, mana mungkin kehidupan harmonis bisa terselenggara jika anggotanya saling bersaing? Bisa-bisa jadi duri dalam daging! Masing-masing sudah diberi tugas sesuai rencana Allah. Bukankah yang lebih penting untuk diusahakan adalah saling mengasihi, saling menghargai, saling menghormati, dan saling mendukung, sehingga tidak akan ada penindasan atau sikap superior antara yang satu terhadap lainnya?
“Pa, aku mengundurkan diri dari pekerjaanku.” Siska memberitahu suaminya dengan hati-hati. Dia tidak mau dianggap plin-plan.
“Kenapa?”
“Anak kita jauh lebih penting. Toh di rumah aku masih bisa baca buku, browsing internet, dan bikin tulisan untuk kukirim ke media cetak. Jadi talentaku tetap bisa berkembang dan anak kita tidak akan ketinggalan lagi.” Suaminya tersenyum bahagia mendengarkan kebijaksanaan istrinya itu. Hati Siska pun berbunga karena akan semakin dekat dengan buah hati mereka. (Rini Giri, Bekasi Utara, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar