Sabtu, 29 Agustus 2009

SAHABAT PENA DARI SIBERUT (HIDUP No 22 tahun ke-61 14 Oktober 2007)

SAHABAT PENA DARI SIBERUT
Oleh Rini Giri


“Siapa aku? Anak hutan belantara yang biasa bermain dengan alam dan bergurau dengan hijaunya dedaunan. Ya, berbeda sekali dengan dirimu yang tinggal di kota dengan mobil dan bangunan megah yang kau sebut dengan apa itu…mall?
Rumahku? Aku tinggal di dalam uma di tengah rimba. Rumah panjang untuk ditinggali keluarga besar kami. Kau pernah cerita soal rumah tradisional joglo di daerahmu itu kan? Yah, boleh dibilang uma itu rumah tradisional kami.
Hobiku? Hobiku berburu. Aku sudah mengenal kegiatan ini selagi masih orok…ha… ha…ha…Kami sudah bisa membuat busur dan anak panah sendiri sejak kecil. Ujung anak panah kulumuri racun mematikan dari kulit kayu dan akar tumbuhan khusus. Tapi tenang saja, kau tak perlu takut bergaul denganku. Berburu adalah kebanggaan lelaki Mentawai sepertiku. Kami punya etika dalam berburu kok.
Kau tahu letak Pulau Siberut kan? Di lepas pantai barat Sumatera. Di Kepulauan Mentawai. Pulau Siberut yang terbesar dan paling utara dari kepulauan itu. Keluargaku tinggal di kota kecamatan bagian tenggara dari pulau itu, namanya Muarasiberut. Jauh sekali dari Kota Semarang-mu bukan?
Makanan kami? Kami makan sagu hutan. Berlauk ikan, daging binatang buruan, atau tempayak. Kau pasti belum pernah mencicipi gurihnya tempayak. Binatang kecil itu muncul dari dalam pohon sagu yang dibelah dan dibiarkan selama beberapa minggu. Proteinnya tinggi.
Ah, tapi aku sedih menceritakan semua itu padamu. Itu hanya tinggal kenangan yang diceritakan Bajaj (ayah) padaku. Semua yang kupaparkan itu bukan masa kecilku, tapi masa kecil Bajaj. Aku sudah tidak mengenal uma lagi, tapi tinggal di perkampungan. Jangankan punya panah beracun dan membidik babi hutan, berburupun sekarang dilarang keras dan senjata-senjata tajam dirazia. Hutan dibabat para cukong. Tapi kami yang dituding telah merusak ekosistem, menjarah hutan, dan melakukan perburuan liar. Aku sudah tak pernah makan sagu, makananku beras seperti orang Jawa. Dan kami, anak-anak di kecamatan-kecamatan telah belajar di sekolah-sekolah yang didirikan para misionaris. Orang luar bilang, orang Mentawai itu suku primitif yang harus dibikin beradab. Mereka datang dengan pembangunan dan telah merusak hidup kami. Tatanan adat hilang, tradisi leluhur dilarang, kami harus meninggalkan agama nenek moyang dan berganti agama baru yang diijinkan pemerintah, hutan belantara tempat kami menyandarkan hidup dibabat habis, dan kami harus menyingkir dari uma seperti siput yang dicopot dari cangkangnya.
Sudahlah, mungkin harus begitu supaya modern. Selalu butuh tumbal. Tapi dengan bersekolah aku bisa membaca, menulis, mengetahui dunia luar, termasuk mengenal dirimu yang jauh. Dari Pastur Kepala Sekolahlah aku mendapat majalah yang memuat berita tentang keberhasilanmu menjadi Siswa Teladan SMA Tingkat Nasional. Sehingga aku bisa kenalan denganmu. Jangan berhenti mengirim surat padaku ya, karena dengan itu aku bisa melihat dunia…”
Itu isi surat kedua dari sahabat penaku di Siberut. Kuterima awal Januari 1990. Lantas di akhir bulan, kutulis padanya, bahwa pembangunan justru meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran, kesehatan, dan pendidikan warga. Jadi janganlah memandang buruk pembangunan. Coba, lihatlah Pulau Jawa yang telah terlebih dahulu dibangun. Hidup di sana sungguh nyaman dan mudah karena segala fasilitas ada. Universitas-universitas berkualitaspun dibangun di seantero Jawa. Kuusulkan padanya untuk kuliah di Jawa saja setamat SMA nanti. Dia kini mendapat beasiswa dari yayasan misi di daerahnya, sehingga bisa duduk di bangku SMA Katolik di Padang Pariaman. Dengan begitu, kelak dia bisa membangun tanah kelahirannya. Dia juga kuberitahu tentang komputer yang semakin canggih, bahkan internet dan telepon seluler mulai dikonsumsi kalangan tertentu di Jawa. Hebat bukan?
Surat balasanku itu adalah surat terakhirku. Dia terus menulis, tapi aku tak membalas karena harus kuliah ke Tokyo atas beasiswa yang kuterima. Kini, delapanbelas tahun telah berlalu. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Mungkin sudah pulang ke Siberut dan menjadi guru di sekolah misi.
Tiap hari, dari televisi ruang kerjaku di Jakarta, kulihat bencana terus melanda negeri ini. Banjir melahap Metropolitan dua kali dalam satu tahun. Ibukota sudah menjadi hutan beton yang tidak mampu menyerap air hujan. Dulu aku membanggakan mall-mall yang bertebaran di Semarang, tapi kini aku pusing melihatnya. Sungai-sungai di Jawa yang tenangpun meluber akibat pendangkalan oleh sampah dan menggenangi kota-kota yang dilaluinya. Di mana-mana tanah longsor karena tanaman-tanaman keras yang menyangga perbukitan telah ditebang. Lumpur panas pun merendam puluhan kampung karena ambisi pengeruk isi perut bumi yang ingin tambah kaya. Aku rindu untuk menulis lagi bagi sahabat lamaku itu.
“Sekarang, hampir setiap orang punya telepon seluler dan bisa mengakses internet semau gue. Tapi pulau yang kubangga-banggakan padamu karena kemajuannya, kini sedang menuai bencana. Aku lahir, tumbuh, dan besar di pulau kaya ini, sehingga terlena dalam kenikmatan hasil-hasil pembangunannya. Fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi, komunikasi, tehnologi, rekreasi semua serba tersedia dalam kondisi prima. Aku penikmat pembangunan yang tulen, sampai-sampai tak punya kepekaan sepertimu.
Tuhan memang memberi hak pada manusia untuk memenuhi dan menaklukkan bumi serta menguasai isinya. Bukankah itu tugas untuk memiliki, memanfaatkan, merawat, dan memelihara? Bukan untuk merusak, memusnahkan, dan membinasakan? Manusia hanya membanggakan hasil tanpa peduli dampak. Pembangunan memang membawa kemajuan dan kemudahan hidup. Tapi jika dilakukan tanpa perencanaan, tanpa pertimbangan pada dampak lingkungan dan sosial, pasti kamu telah melihat sendiri akibatnya, banjir, tanah longsor, lumpur panas meluap, penggusuran.
Aku saat ini bukan hanya merasa seperti siput yang dipaksa keluar dari cangkang, tapi merasa sudah dipotong-potong, ditusuk satai dan dihidangkan di meja makan VIP hotel berbintang lima. Kelihatannya mewah dan penuh gengsi, namun ternyata menderita. Pernah aku terpaksa meninggalkan mobilku yang terbenam banjir di jalan dan mencapai kantor dengan diangkut gerobak sampah berongkos limapuluh ribu rupiah. Oh Tuhan…”
Kutelepon Istriku apakah surat-surat sahabat penaku dari Siberut itu masih tersimpan baik, karena aku membutuhkan alamat yayasan misi yang dulu menyekolahkannya. Dia bilang, semua barang di lantai bawah sudah dihancurkan air dan lumpur saat banjir lalu. Termasuk surat-surat itu. Oh, bagaimana kabar hutan rimbamu, Siberut? Jakarta kebanjiran…(Bekasi Utara, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar