Minggu, 30 Agustus 2009

PENGHARAPAN DAN DOA TIDAK PERNAH SIA-SIA (KUASA DOA vol 4, 7 Sept 2009)

PINTUPUN DIBUKAKAN BAGIKU
Dari Caecilia Rini Giri



Siang itu putri keduaku yang masih duduk di bangku TK A pulang dengan membawa hadiah. Satu tas jinjing kertas berisi boneka, satu pak kartu bahasa inggris, dan satu set alat mewarnai dari merek terkenal. Dia bilang baru saja memenangkan lomba menggambar di sekolah. Kupeluk dan kucium dia sambil mengatakan bahwa aku sangat bangga. Hatikupun bersyukur.
Paginya, saat kuantar dia ke sekolah, kutanyakan perihal hadiah itu pada guru kelasya. Ibu Guru itu memberiku ucapan selamat. Bahkan memberitahu bahwa putriku menjadi juara dua dari sekian ratus anak yang ikut lomba. “Gambarnya sudah bertema. Tarikan garisnya tegas dan mewarnainyapun rapi. Dia baru empat tahun, tapi sudah sangat menonjol prestasi gambarnya.” Ujar Ibu Guru sambil menunjukkan hasil karya anakku. Gambar rumah dengan pohon, taman, langit cerah, dan seorang anak perempuan memetik apel.
Air mataku meleleh. Ibu Guru sampai heran. Seharusnya aku tersenyum senang tapi kenapa malah menangis. Buru-buru kuhapus air mata dan berusaha tersenyum, lalu menjabat erat tangan Ibu Guru.”Terimakasih ya, Bu.” Ucapku, lantas buru-buru berlalu. Aku sangat bersyukur sampai-sampai bukan tawa lagi yang terlontar, melainkan tangis bahagia.
Betapa tidak, saat berumur dua tahun, putriku belum bisa berjalan. Padahal, anak tetangga yang sebaya sudah bisa berlari kesana-kemari. Dia susah makan dan mudah muntah sehingga tampak begitu kurus, matanya sayu, gampang sakit dan kakinya kecil serta lemas. Berat badannya terus menurun. Bahkan dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang diberikan Posyandu, berat badan anakku sudah nyaris menyentuh garis merah, yang artinya berat badan sangat kurang. Aku khawatir anakku lumpuh.
Saat itu aku sering menyalahkan diri-sendiri. Kenapa saat mengandung tidak doyan makan dan dilanda morning sickness terus-menerus? Kenapa aku tidak mau melawan rasa mual untuk meminum susu khusus untuk ibu hamil? Kenapa tidak mau mengalahkan rasa nek untuk meminum vitamin-vitamin yang diberikan dokter? Lihatlah akibatnya, anak yang kulahirkan menjadi kekurangan gizi dan pertumbuhannya tidak wajar. Air mata penyesalan tak ada guna. Sudah terlambat.
“Bapa, aku tidak pernah minta yang muluk-muluk. Aku hanya minta anak yang sehat. Tapi kenapa anakku sakit?” Protesku kala itu. Bahkan kadang setiap kali menyuapinya aku mengucap, “Dengan nama Tuhan Yesus.” Aku memaksa Yesus untuk melindungi usahaku sehingga makanan itu tidak dimuntahkan putriku. Tapi toh akhirnya muntah juga, dan aku kecewa.
Saat lahir pada 4 Februari 2004, dia tidak menangis, sampai-sampai bidan menjungkirkan tubuhnya dan menepuki pantatnya. Akhirnya dia menangis sebentar lantas lebih sering tertidur sampai aku kesulitan untuk menyusui. Sehabis menyusu pun dia mudah muntah padahal sudah disendawakan. Kata dokter lambungnya kecil, jadi perlu jarak dua jam untuk menyusui. Saat mulai mengenal makanan lembek pun dia gampang muntah. Sampai-sampai tubuhnya menjadi kurus sekali. Menu yang bisa masuk ke lambungnya hanya itu-itu saja, sehingga asupan gizinya tidak seimbang. Sebab jika diperkenalkan pada menu lain dia akan muntah-muntah hebat. Sampai menjelang masuk TK, makananya hanya bubur halus. Hanya itu yang bisa diterimanya tanpa muntah. Jika ada segelintir nasi saja yang tertelan, maka seluruh isi lambungnya akan keluar. Itu membuatku stress. Bahkan saking tertekannya, aku tidak pernah bisa menangis, padahal sangat ingin menangis.
Saat berumur satu tahun, bayiku belum bisa bangun sendiri. Dokter tumbuh kembang anak yang memeriksanya mengatakan, pertumbuhan motoriknya terganggu akibat gizi buruk. Otaknya tidak bisa memerintahkan syaraf-syaraf motorik untuk bekerja dengan baik. Bayi-bayi normal lain secara alami, akan menggunakan telapak tangan untuk menyangga tubuh jika akan jatuh. Bayiku tidak bisa melakukan gerakan naluriah yang paling dasar itu.
Orang-orang yang melihat anakku selalu merasa prihatin. Ibu-ibu lain pasti sangat bangga jika bayinya dicolek atau digemesin karena sehat dan montok. Sedihnya hatiku karena tidak ada orang yang mencolek atau gemas pada putriku. Semua orang selalu tampak prihatin karena kondisi bayiku yang memelas. Bahkan ketika ibu mertuaku bertandang, beliau malah menangis saat melihat cucunya dan membuatku tambah sedih.
“Anak saya tidak kena folio kan, Dok? Anak saya tidak lumpuh layuh kan, Dok?” Ketakutanku teramat dalam.
“Anak ibu belum terlambat untuk ditangani. Kita harus memperbaiki gizinya dulu. Usahakan makan sedikit-sedikit tapi sering sehingga tidak mudah muntah. Saya berikan vitamin untuk merangsang nafsu makannya. Susunya juga diganti dengan susu khusus, supaya kebutuhan gizinya tercukupi. Setelah tubuhnya lebih kuat, anak ibu bisa diterapi. Otaknya harus diberi memori tentang cara-cara bangun, duduk, jongkok, berdiri, kemudian berjalan. Sabar ya, Bu. Prosesnya akan lama. Tapi jika kontinyu, anak ibu pasti tertolong.” Beban hatiku sedikit teringankan. Ada secercah harapan.
Aku harus meluangkan banyak waktu untuk menyuapi bayiku. Harus sabar mendampinginya menerima susu formula baru yang diresepkan dokter. Akupun dituntut untuk setia memeriksakan putriku secara rutin.
“Maafkan aku telah menyangsikan-Mu, Bapa. Kauberi aku jalan. Terimakasih” Ucapku dalam doa malam ketika berat badan anakku mulai bertambah. Bayiku dinyatakan siap untuk mengikuti terapi. Pemberian nutrisi otak dengan obat yang mengandung piracetam pun dimulai.
Terapi dilakukan dua kali seminggu. Senin dan Kamis. Diawali dengan memiringkan tubuh anak, menapakkan tangannya ke matras, lantas pelan-pelan memutarnya ke depan agar bisa duduk. Ruangan ber-AC sejuk, matras bersih, ruangan dengan gambar warna-warni dan terapist yang ramah membuat anakku betah dan tidak rewel selama latihan dan penyinaran. Aku harus mengulang-ulang gerakan itu di rumah agar otak anakku merekam gerakan-gerakan itu, sehingga saatnya nanti bisa melakukan sendiri tanpa bantuan. Tiga bulan kemudian, dia bisa duduk sendiri.
Proses pengobatan itu cukup menguras keuangan keluarga. Setiap datang untuk terapi, sedikitnya seratus delapan puluh ribu rupiah harus keluar. Belum termasuk menebus resep obat, vitamin, dan susu khusus. Batinku menjadi ciut. Sanggupkah aku dan suamiku melalui tahapan-tahapan terapi sampai putri kami benar-benar bisa berjalan? Sementara penghasilan suamiku hanya cukup? Memang segala pengeluaran pengobatan keluarga bisa mendapat ganti 60% dari kantor, tapi kan tetap harus keluar uang dulu.
Tiada henti aku berdoa. Aku yakin, Tuhan akan memenuhi kebutuhanku. Hingga suatu hari aku mencari informasi ke rumah sakit negeri, ternyata di sanapun terapi semacam itu bisa dilakukan. Tentu saja ongkosnya jauh lebih murah. Bahkan hanya seperempatnya saja. Harapan baru muncul kembali.
Aku rela mengantri berjam-jam untuk mendaftar, membayar biaya pengobatan di loket dan menunggu giliran dipanggil di depan ruang terapi. Tentu saja ruangannya kini tidak ber-AC, tidak ada gambar warna-warni yang disukai anakku, matrasnya usang, pelayanan para medisnya tidak seramah yang dulu, dan harus mau berdesak-desakan dengan pasien lain yang jumlahnya bejibun. Tapi aku terus menguatkan hati. Semua kulakukan demi kesembuhan buah hati kami. Mungkin aku kuat untuk menunggu berjam-jam sebelum dipanggil ke ruang terapi, tapi tidak dengan putriku. Kadang dia sudah terlanjur kelelahan menunggu sebelum jatuh gilirannya untuk mengikuti terapi.
Di rumah sakit negeri, putriku mulai belajar posisi merangkak, dilanjutkan dengan posisi jongkok, lantas dilatih berdiri. Dia tidak pernah mau merangkak, tapi mengesotkan pantat dan kakinya setiap kali ingin berpindah tempat. Perkembangannya memang sangat lambat. Setiap posisi atau gerakan dasar kira-kira dibutuhkan waktu tiga bulan untuk bisa melakukan sendiri tanpa bantuan. Tapi aku terus bertahan dan berusaha tersenyum penuh syukur.
Suatu ketika, saat sedang menjalani terapi di atas matras, bayiku muntah. Tambah kotorlah matras untuk umum itu. Seorang perawat marah-marah. Dia menegurku dengan nada tinggi. “Lain kali kalau mau terapi, anaknya jangan disuapi dulu!” Katanya. Kami sudah menunggu begitu lama sedari pagi sampai tibalah waktu untuk makan siang bagi anakku. Apa aku akan membiarkannya tidak makan sampai terapi selesai? Tentu aku tak sampai hati membiarkan dia lapar. Ruangan menjadi kotor dan bau. Berulang-ulang aku minta maaf. Buru-buru kubersihkan bekasnya dengan selendang yang biasa kupakai untuk menggendong putriku. Di tempat itu tidak ada lap atau tisyu.
Bayiku mengalami trauma sejak kejadian itu. Dia ketakutan, menangis keras, dan mengamuk jika diajak ke ruang terapi. Akhirnya terapist-pun kesulitan untuk melatihnya. Bahkan ketika baru sampai di pintu gerbang rumah sakit, dia sudah meraung-raung minta pulang. Aku jadi bingung dibuatnya.
Karena tidak tega pada anakku, aku tidak pernah datang ke rumah sakit lagi. Untuk kembali ke rumah sakit swasta yang dulu, aku tidak yakin dengan kondisi keuangan kami. Aku sempat kehilangan semangat dan dilanda kekhawatiran. Jangan-jangan putriku tidak bisa berjalan jika terapi itu dihentikan. Akhirnya aku melatihkan gerakan-gerakan, yang pernah diajarkan oleh terapist pada putriku di rumah. Sedikit demi sedikit, sesuai kemampuannya.
“Bapa, aku percaya, bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Engkau pasti selalu memperhatikan usahaku demi kesembuhan anakku. Aku tahu, Engkau mencintai umat-Mu yang mau berusaha. Aku serahkan semua usahaku ini hanya pada-Mu ya, Bapa. Aku percaya Engkau tidak akan berpaling dariku. Hanya pada-Mu aku berharap, Bapa.” Aku percaya, Bapa tidak pernah memberi harapan kosong.
Saat perayaan Natal 2005 di lingkungan, Sinter Klas bertanya,”Justine, apa yang menjadi harapanmu di Natal ini?” Aku sebagai ibunya mewakilinya menjawab,”Dia ingin cepat bisa jalan, Om Sinter Klas.” Tokoh itupun kaget. Masa ada anak umur dua tahun belum bisa jalan? Diapun buru-buru menyalami tangan kecil anakku sambil berkata,”Semoga Tuhan Yesus mendengarkan doa dan harapanmu ya, Justine.” Amin, jawabku.
Dan keajaiban itupun datang. Maret tahun 2007, saat putriku berusia dua tahun satu bulan, dia berjongkok, memegang kedua lututnya, mengangkat tubuhnya, berdiri sempoyongan, lantas melangkah dua kali ke arahku dan jatuh. Aku terbelalak melihatnya.
“Puji Tuhan!” Aku semakin percaya, pengharapan yang disertai doa dan usaha, tidak pernah sia-sia. “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7) Terimakasih Tuhan, Kau dengar suara ketukanku dan Kaubukakan pintu untukku. Tuhan selalu memberi kesempatan pada umat-Nya untuk berusaha, supaya mereka semakin kuat, tambah dewasa jiwanya, dan tidak lupa diri atas keberhasilan yang dicapainya. Itu yang kurasakan. Tuhan menyertai segala usaha manusia, namun semuanya butuh proses, tidak serta-merta datang seperti sulap. Justru proses itulah yang membuat manusia semakin menemukan dirinya sebagai yang berarti dan berharga. Hasil memang penting, tapi tak ada maknanya jika tanpa proses usaha dan campur tangan Tuhan sendiri.
Kini Justine sudah berumur 5,5 tahun dan duduk di bangku TK B. Badannya memang tidak bisa gemuk, larinyapun tidak sekencang anak-anak lain, bahkan jika sedang bermain dan ada anak yang lebih agresif dia memilih untuk menyingkir karena takut tersenggol dan jatuh. Namun kemampuan motorik halusnya luar biasa. Apalagi dalam hal menggambar dan mewarnai. Bahkan dalam beberapa kali pentas tari Natal dan HUT Kemerdekaan RI di lingkungan tempat tinggal kami, dia selalu di barisan depan karena paling cepat hafal gerakannya dan bisa ditiru teman yang lain. Matanya bulat dan berbinar cerdas. Aku yakin, itulah keadilan Tuhan. Diapun kini mulai belajar makan nasi dan makanan padat lainnya, tanpa muntah.
“Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Mat 7: 11) Kesembuhan Justine adalah pemberian Bapa yang terbaik dalam hidupku. Aku memintanya, dan Dia memberikan padaku. Jumlah waktu selama satu tahun satu bulan pengobatan dan terapi itu, dulu kulalui dengan sangat berat. Tapi itu tak ada artinya dibanding dengan hikmah Kasih Tuhan kepada keluarga kami. Aku belajar sabar, setia, lebih mencintai keluargaku, dan kamipun jadi team work yang kompak. Terimakasih, Bapa.

1 komentar:

  1. Yap...bener itu....satu2nya pengharapan hanya pada Dia...yang mengetahui segala sesuatu dan membuatnya indah pada waktunya......! Selamat untuk perkembangan Justine.....GBU

    BalasHapus