Selasa, 01 September 2009

KISAH PIRING DAN GELAS (Untuk Lintang dan Justine, rukun selalu)

Siang itu Gelas dan Sendok diambil dari rak. Mereka mendapat tugas untuk membuat es sirup. Gelas membuka mulutnya lebar-lebar agar es dan sirup bisa masuk ke dalam perutnya.
“Buka mulutmu lebar-lebar, Gelas! Aku akan menuang air ke dalam perutmu!” Teriak Pak Teko. Airpun segera mengucur dari corong Pak Teko. “Nah, sekarang giliranmu mengaduk, Sendok!” Ujar Pak Teko lagi. Dengan cekatan Si Sendok menceburkan kepalanya ke dalam perut Si Gelas dan mengaduk ramuan minuman itu. Setelah rasa manisnya merata, diapun melompat keluar. Bu Nampan segera memanggil Gelas agar buru-buru melompat ke atas punggungnya. Bu Nampan dan Gelas pun dibawa ke ruang tamu.
“Silakan diminum.” Ujar Bu Sanusi kepada tamu. Tamu pun segera meneguk minuman segar itu dan tersenyum senang. Cuaca panas begini memang paling cocok minum es sirup. Bu Nampan dan Gelas tersenyum bangga, karena bisa melayani tamu dengan baik.
Begitulah keluarga alat-alat dapur saling bekerjasama setiap hari. Gelas, Sendok, Garpu, Pak Teko, Bu Nampan, Paman Piring, Tante Mangkuk, dan tetangga-tetangga mereka lainnya, hidup rukun dan saling membantu. Masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri.
“Wuih, segarnya!” Ujar Gelas ketika mereka sedang mandi di bawah kran dapur. Wangi lemon dari sabun pencuci piring melekat di tubuh mereka. Busa yang digosokkan menghasilkan kilau yang memukau.
“Wah, wajahmu jadi bening sekali, Gelas.” Puji Sendok.
“Terimakasih. Wajahmu juga bercahaya.” Ujar Gelas. Sendok tersipu-sipu.
“Hai, Anak-anak! Terimakasih atas kerjasamanya ya!” Teriak Bu Nampan yang sudah tampak cantik dan bersih.
“Sama-sama!” Kata mereka serentak.
Malam Minggu ini, keluarga Bu Sanusi menyelenggarakan syukuran. Anaknya yang kuliah di luar kota sudah lulus. Maka Bu Sanusi mengadakan pesta sederhana dan mengundang kerabat dekat.
Gelas tampil sangat cantik. Minuman warna-warni membuat badannya terlihat menarik. Potongan buah strawberry yang ditancapkan di kepalanya sangat menawan. Belum lagi sebuah sedotan warna cerah yang disandarkan di mulutnya. Menambah keelokan wajahnya. Para tamu memuji kehebatan Bu Sanusi menghias gelas minuman. Gelas yang mendengar pujian itu, jadi besar kepala.
Paman Piring dan Tante Mangkuk juga tampil manis. Piring dihias dengan guntingan daun pisang sedangkan mangkuk dihias dengan selembar serbet makan yang diikat dengan pita. Wah, anggun sekali mereka.
Di dapur, Pak Teko dan Bu Nampan tidak kalah keren. Tangkai Pak Teko diberi pita kupu-kupu warna merah muda, sedangkan punggung Bu Nampan dihias dengan selembar kain berenda warna serupa. Mereka sangat serasi dan siap melayani para tamu.
Hei, dimana Sendok dan Garpu? Oh, itu dia! Mereka sudah siap di samping kanan dan kiri Paman Piring. Tapi kenapa mereka tampak murung? Bukankah ini pesta? Seharusnya mereka ikut bergembira seperti yang lain.
“Hei, Paman Piring! Lihatlah dandananku malam ini, hebat bukan?” Gelas memamerkan dandanannya. Dia merasa paling keren malam itu. “Akulah yang diberi hiasan paling lengkap! Lihat dirimu, masa sih cuma diberi sepotong daun pisang! Ih, kuno!Pastilah Bu Sanusi menganggap aku sebagai alat makan paling penting, sehingga aku diberi hiasan paling mewah!” Piring mencibir mendengar kesombongan Gelas.
“Hei, Gelas! Kamu jangan merasa paling jago deh! Tentu, akulah yang paling hebat. Sebab tamu akan menggunakanku untuk menyantap hidangan utama. Sedangkan kamu kan cuma tempat minuman! Tampilnya belakangan!” Balas Piring. Tante Mangkuk pun ikut-ikutan membela Paman Piring.
Sendok dan Garpu menjadi iri pada teman-temannya, karena mereka berdua tidak dihias. Mereka jadi kesal pada Bu Sanusi. “Bu Sanusi benar-benar tidak adil!” Gerutu mereka.
Malam itu, Sendok, Garpu, Paman Piring, Gelas, dan Tante Mangkuk tidak bisa bekerjasama dengan baik. Gelas merasa paling cantik, Piring dan Mangkuk merasa paling penting, sedangkan Sendok dan Garpu marah karena tidak diperhatikan Bu Sanusi. Akhirnya, pesta malam itu sedikit kacau. Ada minuman tumpah, nasi berhamburan, dan sendok jatuh.
Sejak kejadian malam itu, Gelas, Sendok, dan Piring menjadi tidak akur. Mereka saling mencurigai dan tidak mau diajak bekerjasama. Gelas bermain dengan sesama gelas saja. Piring hanya ngobrol dengan Mangkuk. Sedangkan Sendok hanya berkumpul dengan Garpu. Kehidupan di rak dapur yang semula tenang dan damai berubah menjadi kacau. Antar tetangga saling membenci, mencurigai, dan bermusuhan.
“Sebenarnya ada apa ini?” Tanya Pak Teko prihatin. Dia sudah tidak bisa membuat minuman segar lagi gara-gara Gelas dan Sendok tidak mau bertegur sapa.
“Gelas sekarang jadi sombong, Pak Teko! Dia merasa dirinya paling bagus! Menurutnya, dialah alat makan yang paling penting.” Ujar Piring.
“Si Piring itu yang merasa dirinya paling berguna. Padahal orang juga bisa makan pakai daun atau kardus!” Balas Si Gelas.
“Huh! Kalian memang suka pamer! Coba bayangkan kalau di pesta kemarin tidak ada sendok dan garpu! Orang mau makan pakai apa? Pakai tangan? Ya enggak lah ya! Sendok dan Garpu tiada duanya!” Timpal Sendok. Dia masih jengkel dengan ketidakadilan Bu Sanusi.
“Sudah-sudah, jangan bertengkar! Kalian semua benar! Gelas alat makan yang penting, Piring alat makan yang harus ada, dan Sendok juga alat makan yang tak kalah pentingnya. Kalian semua sama pentingnya! Kalian punya tugas masing-masing. Piring menjadi tempat makanan, Sendok alat untuk menyuap makanan, dan Gelas menjadi tempat minuman. Semuanya berguna dan harus saling membantu.” Nasihat Bu Nampan.
“Benar, Anak-anak. Kalian semua adalah satu tim. Meskipun berbeda-beda tapi harus bersatu untuk mencapai satu tujuan. Pesta kemarin menjadi sedikit kacau karena kalian tidak mau bersatu dan saling mencurigai. Yang dihias paling menarik bukan berarti yang paling penting. Yang tidak dihias bukan berarti tidak penting. Masing-masing punya peran sendiri-sendiri. Bayangkan jika Gelas dan Piring tampil apa adanya, tentu tamu tidak akan tertarik. Juga seandainya sendok dihias, tentunya malah akan kerepotan dalam menjalankan tugas.” Tutur Pak Teko.
Gelas, Piring, dan Sendok saling berpandangan. Bu Nampan dan Pak Teko benar. Perbedaan bentuk, penampilan, tugas, dan pendapat bukan alasan untuk tidak bersatu. Justru karena mereka berbeda, maka bisa saling melengkapi dan bekerjasama. Bayangkan jika piring hanya bekerjasama dengan piring saja, atau sendok dengan sendok saja, tentulah orang kesulitan saat makan. Akhirnya mereka bermaaf-maafan dan berjanji akan kembali kompak di meja makan dalam acara makan malam nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar