Rabu, 02 September 2009

KEMBAR TAPI BEDA (Buat Ayu dan Ade juga buat Atala dan Atila)

KEMBAR TAPI BEDA
Oleh Rini Giri



Namaku Lintang. Aku dan Tawang anak perempuan kembar. Wajah dan gaya kami sama persis. Hanya ayah, ibu, dan pengasuh kami saja yang bisa membedakan. Orang lain sering keliru saat memanggil nama kami. Bahkan saudara dekat, guru, dan teman-teman sering keliru.
Sejak masih bayi hingga sekarang, ibu selalu mendandani kami seragam. Potongan rambut, baju, tas, sepatu, dan segala macam asesoris lainnya selalu sama. Warnanyapun sama. Itu membuat kami seperti pinang dibelah dua. Orang lain jadi sulit membedakan kami. Apalagi tidak ada tanda lahir, bekas luka, atau tahi lalat yang bisa dijadikan tanda.
Nama kami memang agak aneh. Biasanya anak kembar diberi nama hampir sama. Misalnya Dina dan Dini, Nina dan Nani, atau Rina dan Rini. Kata ayahku, nama kami diambil dari kosa kata Bahasa Jawa. Lintang artinya bintang. Tawang artinya cakrawala. Bintang selalu terlihat di cakrawala. Mereka selalu bersama dan bersatu. Bintang dan cakrawala tak akan pernah terpisahkan. Begitu juga harapan orang tuaku. Mereka ingin kami selalu rukun dan bersama dalam suka dan duka.
Tapi bagiku, menjadi anak kembar itu banyak dukanya. Tawang suka memanfaatkan kesamaan fisik kami. Kebetulan kami beda kelas. Tawang paling tidak suka pelajaran matematika. Setiap kali ulangan, dia selalu memintaku untuk bertukar tempat. Dia tidak ingin mendapat nilai jelek. Begitulah, aku pura-pura jadi Tawang. Tawang pura-pura jadi aku. Selama ini tidak ada yang curiga.
Pada lebaran tahun lalu, kami sekeluarga pulang ke rumah nenek. Nenek membagi-bagikan uang kepada cucu-cucunya. Waktu itu aku sedang bermain di kebun, sehingga tidak tahu. Nenek memberi uang lebih dulu kepada Tawang. Tawangpun disuruh memanggil aku. Tapi rupanya Tawang hanya pura-pura memanggilku. Dia datang lagi pada nenek dan mengaku bernama Lintang. Akhirnya dia mendapatkan dua amplop sekaligus. Aku cuma gigit jari. Aku benar-benar jengkel padanya.
“Aku tidak mau lagi, Ta. Kamu selalu curang! Lagipula nanti kalau Bu Guru tahu, kita bisa kena hukuman.” Aku berusaha menolak saat Tawang menyuruhku ikut ulangan matematika di kelasnya. Dulu, aku memang mau menggantikannya karena merasa kasihan. Aku tidak mau dipuji karena mendapat nilai bagus sementara saudaraku dimarahi karena nilainya jelek. Tapi lama-kelamaan aku menyadari bahwa perbuatan itu salah. Aku kesal karena Tawang selalu tergantung padaku. Akupun ketinggalan banyak pelajaran di kelasku.
“Tolong deh, Lin. Sekali lagi saja. Besok-besok enggak lagi kok.” Tawang berusaha merayu dengan wajah memelas. “Masa sih kamu tega kalau aku dapat nilai jelek? Kan malu, Lin.” Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Tapi aku benar-benar sudah bosan dengan itu semua.
“Aku tidak mau! Titik! Kamu harus berusaha sendiri, Ta!” Bentakku keras. Muka saudaraku jadi pucat seketika. Dia menangis.
“Kamu jahat, Lin! Kamu Jahat!” Katanya sambil berlari meninggalkanku. Dia marah dan sakit hati. Sejak saat itu kekompakan kami sebagai saudara kembar seolah-olah hilang.
Aku benar-benar kesal. Ayah dan ibu selalu memperlakukan kami dengan cara yang sama. Gara-gara Tawang suka menyanyi, akupun harus ikut les vokal bersamanya. Padahal aku tidak suka menyanyi. Aku ingin punya sepeda, maka ayah membelikan dua sepeda yang sama persis untuk kami. Semua makanan dan benda-benda yang kami miliki selalu sama. Bahkan nilai ulangan matematikapun harus sama. Sungguh menyebalkan! Padahal aku punya keinginan dan selera sendiri.
Ayahku berkata, semua itu dilakukan supaya kami selalu kompak. Tidak saling iri. Begitulah selayaknya menjadi anak kembar. Tapi ternyata, sama rata dan sama rasa itu malah membuat kami bertengkar. Orang lain juga tidak bisa membedakan kami dengan baik. Selalu salah memanggil. Itu benar-benar menjengkelkan.
Minggu sore yang cerah, ayah dan ibu mengajak kami jalan-jalan ke pertokoan. Kami ingin membeli baju. Aku bersemangat sekali. Kubayangkan sebuah celana jeans dengan bordir bunga dan blus pink dengan pita-pita akan menjadi milikku.
“Bu, aku mau jeans dan blus pink ya.” Pintaku.
“Ya, lihat saja nanti. Ibu akan cari yang cocok untuk kalian.” Jawab ibuku. Ibu terus memilih baju untuk kami. Aku dan Tawang sibuk dengan pilihan masing-masing. Tak lama kemudian ibu memanggil. Dua potong baju yang sama persis diperlihatkan pada kami.
“Tidak mau!” Teriak kami bersamaan. Muka kami cemberut. “Aku maunya yang ini!” Kataku sambil menunjuk pilihanku. Tawang pun demikian. Ibu kebingungan dengan sikap kami.
“Ada apa dengan kalian? Biasanya kalian selalu memilih baju yang kembar kan?”
“Tapi sekarang tidak, Bu. Aku mau yang ini.” Jawabku ngotot. Ibu semakin bingung. Segala bujuk rayunya tidak mempan lagi.
Ibu tidak ingin kami ribut di toko baju itu. Dia mengabulkan keinginan kami memilih baju yang beda. Setelah itu ayah dan ibu mengajak kami makan di gerai bakso agar kami bisa ngobrol.
“Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya kalian seperti ini?” tanya ayah. Kuceritakan semua kepada ayah dan ibu. Aku benar-benar ingin berbeda dari Tawang. Dengan begitu orang akan bisa mengenali kami satu persatu dengan baik. Tawang juga tidak akan bisa memanfaatkanku lagi demi nilai matematika yang sama. Ayah dan ibuku terkejut mendengarnya.
“Selama ini ayah dan ibu sama sekali tidak menyangka kalau perlakuan sama ternyata justru memecah belah kalian.” Ayah menyesal.
“Benar. Sekarang kalian sudah besar. Selama sepuluh tahun ini, kalian diam saja diperlakukan secara sama, karena kalian masih kecil. Mulai sekarang kalian boleh menentukan keinginan kalian sendiri. Tidak harus selalu seragam meskipun kalian anak kembar. Kalian adalah dua orang yang berbeda.” Ibu juga menyesal.
“Tawang, mulai sekarang kamu harus berusaha sendiri. Nilai matematika anak kembar kan tidak harus sama. Kemampuan kalian kan berbeda.” Nasihat ayahku. Tawang kelihatan lega.
“Nah, sekarang kalian harus baikan lagi. Ayo salaman!” Ibu meraih tangan kami agar bersalaman. Aku dan Tawang saling pandang dan tersenyum. Kamipun bersalaman.
“Ayah senang anak-anak ayah sudah akur lagi.”
“Kalian harus tetap kompak sebagai anak kembar. Kompak bukan berarti harus selalu berpenampilan sama. Juga bukan berarti bisa saling tukar tempat saat ulangan. Bohong itu dosa lho.” Ibu membelai rambut kami.
Aku senang sekali, ayah dan ibu mau mengerti aku. Aku berjanji akan selalu membantu Tawang belajar menjelang ulangan matematika. Bukankah itu kompak yang baik? Dia juga menyesal telah berbuat curang. (Bekasi Utara, Mei 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar