Kamis, 03 September 2009

TERIMAKASIHKU PADA TOLE (Yang membuat hatiku tidak miskin lagi)

TERIMAKASIHKU PADA TOLE
Oleh Rini Giri

Sore itu aku mendapat tugas untuk melakukan observasi ke panti asuhan bersama beberapa teman. Mudika Paroki akan menyelenggarakan bakti sosial. Dikota kami ada dua buah lembaga sosial semacam itu. Keduanya dikelola oleh yayasan-yayasan yang sudah mapan. Fasilitas fisik yang mereka miliki sangat bagus dan lengkap. Para donatur yang peduli pada keduanyapun sangat banyak. Bahkan ketika aku bertanya kapan kami bisa berkunjung, para petugas menyodorkan buku daftar calon tamu dan kami harus masuk dalam antrian. Kamipun pulang dengan perasaan bimbang. Keesokan harinya kami melaporkan hasil studi kelayakan itu dalam rapat panitia.
“Udah kaya masak masih akan disumbang? Lebih baik kita cari panti asuhan di luar kota yang benar-benar masih butuh bantuan. Jadi bantuan kita akan tepat sasaran.”
“Tapi ke luar kota kan biayanya juga besar? Daripada untuk ongkos transport lebih baik untuk tambahan sumbangan kan?” komentar yang lain.
“Eh, ngomong-omong, menyumbang itu kan nggak usah melihat kaya atau tidaknya sebuah yayasan sosial? Meskipun kelihatannya mapan, tapi kan mereka tetap butuh logistik dan dana untuk kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya?” sanggah yang lain.
“Atau kita ganti saja deh bentuk kegiatannya!” Usul yang lain lagi.
Rapat pagi itu jadi buntu. Mau tetap menyumbang ke salah satu panti asuhan itu tapi takut tidak tepat sasaran. Mau menyumbang ke panti asuhan di luar kota tapi khawatir menghabiskan banyak biaya transportasi. Lantas bagaimana dong? Aku sebagai bendahara hanya diam saja. Tidak bisa memberi masukan maupun usulan. Ketua Mudika juga tidak bisa membuat keputusan. Bentuk kegiatan bakti sosial yang akan diadakan kembali mentah.
“Mar, ini ada dana yang baru masuk dari Lingkungan Yohanes Pemandi. Jumlahnya satu juta tigaratus ribu rupiah. Tolong diterima ya.” Bosko, anggota Seksi Penggalangan Dana menyodorkan sebuah amplop coklat padaku. Segera kubuka dan kuhitung uang titipan umat itu. Jumlahnya pas. Segera kubuatkan tanda terima dan amploppun aku masukkan ke dalam tas.
Siang itu aku pulang dengan menumpang mini bus. Bangku penuh dan aku terpaksa berdiri dengan beberapa penumpang lainnya. Di sebuah halte, bus berhenti dan beberapa penumpang naik. Seorang bocah pengamen juga naik dan mulai memainkan alat musiknya…cik…icik…icik…icik…Aku merogoh kantong jeansku dan hanya kutemukan koin gopek di sana. Dia mengangguk penuh hormat ketika koin itu kumasukkan ke dalam kantung permen bekasnya. Aku tersenyum.
“Awas, Mbak! Ada copet!” Tiba-tiba pengamen cilik itu berteriak. Aku terkejut dan segera menoleh. Tanganku sepontan meraba tas dan sebuah tangan kekar sudah memasukinya. Segera kutarik tangan itu sekuatnya. Amplop cokelat dari Bosko akhirnya jatuh ke lantai bus dan segera kuraih. Si empunya tangan sudah keburu turun ketika bus berhenti. Amplop itu kumasukkan lagi ke dalam tas dan kudekap erat.
“Makasih ya, Dik.”
“Sama-sama, Mbak.” Anak laki-laki itu tersenyum bangga. Kami menjadi pusat perhatian para penumpang. “Lain kali hati-hati!” ujarnya, lantas bergegas turun ketika bus berhenti lagi untuk menaikkan penumpang. Buru-buru aku mengikutinya.
“Tunggu!” Anak itu menoleh. “Sekali lagi terimakasih ya.” Dia mengangguk. Segera kubuka dompetku dan kutemukan selembar uang ungu di dalamnya. “Ini untuk kamu. Terimalah, sebagai ucapan terimakasih.” Anak itu menatapku sejenak lantas menggeleng. Aku sedikit memaksanya untuk menerima tapi dia tetap tidak mau.
“Emak saya bilang, kalau menolong orang harus tulus. Nggak boleh pamprih. Saya takut kena marah Emak ah.”
“Ya sudah. Kalau begitu, mau ikut aku sebentar nggak?” Aku mengajaknya ke sebuah warung dan membeli beberapa bungkus biskuit. “Ini oleh-oleh buat Emakmu yang sangat bijaksana itu.” Kusodorkan tas plastik itu padanya. Dia menggeleng.
“Mbak aja deh yang kasih sendiri. Nanti Emak mengira saya nyolong.” Aku tersenyum. Lantas akupun mengikuti langkahnya menuju sebuah perkampungan di bawah jembatan tidak jauh dari tempat itu. Kamipun berkenalan. Anak itu bernama Tole. Perkampungan itu terbentang di sepanjang pinggir kali. Rumah-rumah kecil terbuat dari papan-papan kayu bekas dan tambalan kardus disana-sini.
“Kamu pemberani ya?”
“Yang mau nyopet Mbak Maria tadi cuma mahasiswa kurang uang, jadi penakut! Kalau yang nyopet preman daerah sini, mana saya berani, Mbak. Bisa digorok saya!”
Anak-anak telanjang dengan perut membusung berlari-larian di jalan setapak yang kami lalui. Bau kurang sedap merayapi hidungku. Beberapa perempuan duduk-duduk di depan pintu sambil mencari kutu. Seorang anak balita menangis di dekat jemuran dan lalat mengerumuninya. Aku bergidik. Tidak pernah terpikirkan olehku ternyata di salah satu sudut kota kelahiranku ini ada sebuah pemukiman seperti ini.
Emak Si Tole menyambutku dengan ramah di rumah gubuknya. Adik-adik Tole sangat senang menerima oleh-olehku. Emak Si Tole mengasuh empat anak yang semuanya ternyata bukan anaknya sendiri. Panti asuhan mini yang menyedihkan.
“Si Tole Ibunya sudah mati. Si Tika dulu dibuang di pinggir kali situ. Si Tini anak perempuan jalang yang nggak terawat. Si Tikno dititipkan di sini karena Ibunya masuk bui. Padahal saya ini cuma buruh cuci harian.” Tutur Sang Emak dengan air mata berlinang. Anak-anak di kampung itu kurang gizi, kurang diperhatikan kesehatan dan kebersihannya, serta tidak sekolah. Mereka sangat memprihatinkan.
Akhir bulan, Mudika menggelar pasar murah di kampung itu setelah minta ijin dari pengurus RT dan RW setempat. Beras, susu, terigu, minyak goreng, gula, sabun cuci, peralatan mandi, vitamin anak-anak, dan obat-obatan, yang kami beli dengan dana yang telah terkumpulkan, kami jual dengan harga sangat murah. Sepersepuluh dari harga sesungguhnya. Dengan membeli, harga diri warga kampung itu tetap terjunjung tinggi. Mereka tidak akan merasa diperlakukan sebagai penerima barang gratisan yang harus dikasihani seperti pengemis. Mereka lebih bangga jika bisa membeli di pasar murah daripada hanya menengadahkan tangan menerima barang sumbangan. Dengan membeli, mereka merasakan kesamaan derajat dengan si penjual. Kami bisa menjalin persaudaraan.
Mudika juga merencanakan sebuah program pendampingan belajar bagi anak-anak. Tole dan adik-adiknya tidak punya kesempatan untuk bersekolah karena tidak ada uang. Padahal mereka juga ingin bisa membaca dan berhitung seperti anak-anak lainnya.
Aku sangat bersyukur karena usulanku untuk mengadakan bakti sosial di kampung itu direalisasikan oleh Mudika. (Bekasi Utara, 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar