Senin, 12 Oktober 2009

MENERIMA IMAM APA ADANYA (Warta Klara, 4 Oktober 2009)

MENERIMA IMAM APA ADANYA
Oleh Rini Giri

Membaca Buletin Refleksi Tahun Imam Keuskupan Agung Jakarta, membuat hati saya tergetar. Menjadi seorang imam itu ternyata tidak semudah yang saya lihat. Tinggal di pastoran yang bersih dan rapi, segala keperluan sudah dilengkapi, dan semua umat siap menghormati. Wah! Ternyata seorang imam harus selalu siap untuk melayani, mendampingi, berkolaborasi, menjalani hidup suci, tidak tergoda pada hal duniawi, domba yang hilang harus dicari, siap diomongi, bahkan juga harus siap mati. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi seorang imam. Belum lagi menghadapi umat yang aneka-ragam latar belakang, pandangan, dan keinginannya.
Umat dengan gampang mengajukan kriteria imam ideal. Antara lain: yang mengerti umatnya, yang membaur, yang gampang dihubungi, yang bisa jadi teladan, yang sederhana, yang komunikatif, yang setia pada janji Imamatnya, yang ngemong umat, yang selalu siap melayani, yang tidak galak, yang kotbahnya menggugah, yang memimpin misa-nya tidak bikin ngantuk, yang ramah, yang mudah bergaul, yang rendah hati, yang tidak gila hormat….walah, banyak banget!!! Biasanya umat akan ngedumel kalau ternyata imamnya tidak sesuai dengan gambaran ideal mereka.
Apakah para imam juga pernah melemparkan kriteria umat ideal baginya? Yang aktif, yang gampang diajak kerjasama, yang tidak ngumpet kalau dimintai iuran, yang punya inisiatif, yang kreatif, dll. Tidak! Imam yang datang ke dalam suatu paroki, selalu menerima begitu saja umat yang ada. Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Kekurangan umatnya biasanya akan dijadikan tantangan untuk menemukan format penggembalaan yang lebih tepat. Sedangkan kelebihan umat akan dijadikan sarana untuk semakin memajukan paroki yang dipimpinnya.
Sebagai umat, kitapun perlu menerima imam apa adanya. Apalagi mereka adalah orang-orang yang terpilih dan terpanggil. Sudah dipersiapkan dengan baik untuk melayani gereja Allah. Menerima kekurangan mereka secara manusiawi dan memberikan kelebihan umat untuk bersama-sama membangun paroki. Mensyukuri kelebihan mereka supaya dengan anugerah itu, kekurangan-kekurangan dalam diri umat dapat diolah untuk menjadi lebih baik. Intinya, tidak ada imam yang ideal. Hanya Yesus imam yang ideal. Tak ada pula umat yang ideal. Jemaat perdana adalah komunitas kristen yang paling ideal. Yang bisa kita lakukan bersama hanyalah meneladan imam dan jemaat ideal itu. Jadi, kerjasama antara gembala dan umatnya lah yang akan mengantar kita pada kondisi yang mendekati ideal. Para imam meneladan Yesus dalam melayani dan umat pun bahu-membahu meneladan jemaat perdana dalam membangun komunitas. Saling melayani. Bekerjasama.
Dalam Novel Pohon-Pohon Sesawi, karya Romo Mangunwijaya, bab Pohon-Pohon Di Pekarangan Paroki, diceritakan bahwa jika paroki itu diandaikan sebuah kebun maka di dalamnya ada pohon kelapa, sawo, sukun, durian, pisang, pepaya, bahkan berbagai jenis bunga. Begitu banyak dan berbeda-beda, namun toh semuanya anggota kebun dan punya kontribusi masing-masing pada si empunya kebun (Yesus). Si tukang kebun (imam) harus menerima dan merawat semuanya dengan baik. Sebab dia dipilih dan dipercaya oleh TUAN-nya. Meskipun si durian berduri, meski si pisang banyak getah, si sawo banyak ulat bulunya, dll. Tak boleh pilih kasih.
Dan para penghuni kebun itu tentunya akan tetap berbuah limpah pada musimnya, tanpa memandang siapa yang jadi tukang kebun kala itu bukan? Yang menjadi alasan bagi para pohon untuk selalu berbuah bukan tukang kebunnya tapi TUAN si empunya kebun. Jadi, dalam sebuah paroki, siapapun imam-nya, seyogyanya tidak jadi soal. Sebab umat berkarya bukan dalam nama imam tapi dalam nama IMAM AGUNG yaitu Yesus sendiri. Bekerjasama, saling melayani, dan saling mendukung antara imam dan umat adalah suatu relasi ideal demi kemajuan suatu paroki. Tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk saling mengkritik dan memberi masukan. Selamat Tahun Imam. Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar