Rabu, 15 September 2010

APAKAH YESUS GEMBALA YANG LEBAI?

YESUS GEMBALA YANG LEBAI?
Oleh ini Giri

Apa tidak berlebihan jika satu domba kecil saja hilang, lantas sang gembala akan meninggalkan sembilanpuluh sembilan lainnya untuk mencari yang satu dan tak berguna itu? Sungguh kurang kerjaan si gembala ini.
Bukankah seharusnya dia tak perlu menempuh bahaya naik turun bukit dan jurang hanya untuk menemukan seekor domba yang lemah? Kalau dia domba yang kuat, sehat dan lincah, pastilah tidak akan tertinggal oleh kawanannya sampai-sampai tersesat.
Domba yang tersesat pastilah domba yang bandel dan kurang mau mendengar baik aba-aba dari sang gembala maupun embikan domba-domba lainnya. Pasti dia sangat nakal dan badung, sampai-sampai dia nekat menjauh terlalu lama dari kawanan sampai-sampai tidak tahu kalau kawanannya sudah lama berlalu dari tempat semula mereka berkumpul. Sungguh keterlaluan domba semacam itu! Buat apa dicari? Apa untungnya?
Bukankah sebaiknya sang gembala tetap saja tinggal di kandang menunggui domba-domba lain yang jauh lebih loyal padanya? Domba-domba ini toh kelak juga akan beranak pinak dan jumlahnya bisa lebih banyak lagi dari semula. Sehingga domba kecil yang hilang itu sudah tak ada artinya lagi! Lupakan saja! Dia pantas dilupakan karena ulahnya sendiri.
Tapi nyatanya si gembala lebih memilih mengambil resiko untuk meninggalkan kawanan untuk menemukan kembali domba yang hilang itu. Dia tahu konsekuensi bakal dipecat dari pekerjaannya karena telah lalai meninggalkan sejumlah besar domba yang mahal harganya itu.
Dia tahu bakalan kena marah majikan karena telah membahayakan kumpulan domba yang siap dipanen bulu, susu, daging, dan kulitnya itu. Bukankah pencuri bisa saja masuk ke kandang dan melarikan domba-domba itu ketika tanpa ada penjagaan? Bener-bener sudah nggak nalar si gembala ini. Dia bisa kehilangan mata pencaharian dan nafkahnya hanya demi mencari seekor domba kecil yang nggak jelas!
Tapi rupanya si gembala sudah punya perhitungan tersendiri. Sembilan puluh sembilan domba yang ditinggalkannya di kandang itu adalah domba-domba pilihan yang setia. Mereka tahu membedakan mana suara gembala dan mana suara orang lain, sehingga tak mungkin domba-domba itu menurut saja ketika akan digiring pencuri. Gembala juga sudah memastikan bahwa pintu kandang terkunci rapat ketika dia pergi. Hanya melalui dia sajalah domba-domba itu bisa keluar masuk. Jadi, menurut perhitungannya kondisi kandang seratus persen aman.
Maka diapun akan menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencari si domba yang tersesat. Naik turun bukit dan lembah pun akan dia lakukan asalkan dombanya bisa ditemukan kembali. Semua celah bukit diperiksa, semua lekuk jurang diintai, semua lobang goa digeledah, dan semua semak belukar disibakkan. Demi si domba kecil. Dengan sekuat tenaga dia berteriak memanggil si domba karena dia berharap domba itu masih mengenali suaranya.
Ketika didengarnya suara embikan lemah seekor domba, diapun buru-buru berlari menuju sumber suara. Mengangkat domba kecil itu, mengelusnya dengan kasih, dan dengan sukacita memanggulnya untuk dibawa pulang. Betapa girang hati sang gembala. Ternyata dombanya bisa ditemukan dalam keadaan selamat. Coba kalau dia terlambat, bukankah harimau dan serigala selalu siap memangsanya?
Terkadang ajaran Yesus tentang domba yang hilang ini memang tampak berlebihan. Tapi memang itulah yang dikehendaki-Nya. Untuk apa terus mengelus-elus orang-orang yang sehat jasmani dan rohani serta sudah memiliki kematangan iman? Bukankah yang butuh obat itu orang sakit bukan orang sehat? Mereka yang terlupakan dan jauh dari persekutan lah yang Dia ingin kita dekati dan ajak untuk kembali pada-Nya.
Apriori selalu terselip di hati, domba hilang itu kan tersesat karena ulahnya sendiri, karena kemalasannya sendiri, karena kelakuannya sendiri. Jadi ya harus tanggung resiko sendiri. Tapi rupanya Yesus tidak menginginkah hal seperti itu menjangkiti pengikut-Nya. Dia justru ingin umat-Nya mau merendahkan hati untuk menggandeng mereka yang selama ini menjauh dari komunitas kudus karena berbagai alasan. Yesus tak ingin umat-Nya selalu diselipi apriori dan sikap menghakimi orang lain. Yesus ingin umat-Nya menjadi gembala yang baik, yang mau mengorbankan kepentingan dirinya demi menemukan kembali saudaranya yang hilang. Sebab Dia bersabda bahwa seluruh isi surga akan bersukacita ketika satu saja umat-Nya di dunia ini mau bertobat.
Sudahkah aku mau merangkul saudaraku yang menjauh? Sudahkah aku bersedia menggandeng kembali saudaraku yang tersisihkan? Sudahkah aku mau menerima kembali saudaraku yang meminta maaf dan ingin bertobat? Sungguh, ajaran Yesus terdengar amat lebai dan sangat berat untuk diterapkan. Ajaran-Nya memang berat, namun hanya dengan merendahkan hati kita sedikit saja, maka ajaran itu akan terasa ringan untuk dilakoni. Dan dunia pun menjadi indah bersama-Nya. Amin.

Ditulis dalam sebuah permenungan pribadi,
Dikembangkan dari kotbah Romo Justinus OFM Cap.
Pada Minggu sore 18.00, 15 September 2010

Salam dan doa, Rini Giri

Minggu, 05 September 2010

MASIH JADI SINGLE FIGHTER? (pernah ada di Warta Klara)

MASIH JADI SINGLE FIGHTER?Oleh Rini Giri/ Antonius 3Sudah membaca SANDAL JEPIT GEREJA karya Anang YB, yang pernah dibuatkan resensi oleh saudara Panjikristo dan dimuat di Warta Klara beberapa minggu lalu? Saya sudah. Sangat terasa, saya menemukan teman seperjalanan setelah membacanya. Kebetulan suami saya juga ketua lingkungan. Seorang Anang YB yang masih sangat muda, siap melabeli diri sebagai sandal jepit kala menjabat sebagai ketua lingkungan di Paroki Arnoldus Bekasi..Menjadi ketua, dimanapun, bukankah harus menjadi yang paling siap untuk diinjak, agar yang lain tetap bisa berjalan. Begitu kira-kira pelajaran yang saya petik dari buku yang sangat laris itu. Tepat seperti ajaran Yesus. Yang terbesar adalah yang melayani. “Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang mampu membesarkan orang-orang yang dipimpinnya!” Tulis Anang YB di akhir buku. Jadi bukan yang malah jadi besar sendirian diantara yang dipimpinnya ya?Ini mengingatkan saya pada dua peristiwa. Sejak dulu saya memang paling senang jadi seksi acara dalam suatu pagelaran atau perayaan. Meskipun baru di lingkup sekolah saat perpisahan, kampus saat malam inagurasi, RT saat HUT RI, dan lingkungan saat natalan. Peristiwa pertama, saat saya dipercaya menjadi koordinator seksi acara natalan di lingkungan. Saya menganggap anggota seksi hanya berfungsi membantu saja, maka susunan acara, materi acara, berikut pengisinya saya tentukan semua sendirian. Yang lain hanya saya mintai tolong untuk menyiapkan properti. Itupun saya yang merancang dan yang lain tinggal melaksanakan.Semua berjalan baik, meriah, dan semua orang tampak senang. “Siapa yang menyiapkan tari anak-anak dan dramanya?” Saya dengar seorang ibu bicara pada salah satu anggota seksi acara. “Bu Giri.” Jawab anggota seksi acara itu. Serta merta sang ibu mendekati saya dan mengucapkan selamat serta pujian. Wah, bangga luar biasa. Saya jadi terkenal. Namun sesampai di rumah, saya merasakan kekosongan luar biasa. Semua pujian dilontarkan pada saya, padahal sebenarnya tanpa bantuan ibu-ibu anggota seksi acara, anak-anak yang turut pentas, orangtua anak-anak yang pentas, dan hadirin yang apresiatif, acara itu tak akan berjalan.“Kamu over acting! Kamu sombong sekali! Kamu lupa pada dukungan ibu-ibu yang lain! Kamu jadi gede rasa atas segala pujian itu! Tanpa mereka kamu nol sama sekali!” Nurani saya terus-menerus menuduh dan membuat hati gelisah. Saya jadi kapok dipuji dan jadi pusat perhatian. Saya disanjung tapi merasa gagal!Peristiwa kedua, kala menjadi koordinator seksi acara dalam HUT RI tingkat RT. Saya berusaha memperbaiki diri di sini. Anggota seksi acara yang lain saya libatkan dalam menentukan susunan, materi, dan pengisi acara. Masing-masing punya tanggungjawab untuk melatih anak-anak. Saya mengkoordinir anak-anak, Bu A melatih baca puisi, Bu B melatih tari, Bu C melatih fashion show, dst. Pokoknya bagi-bagi tugas. Acara lancar dan meriah. Semua yang hadir juga tampak senang. Dengan sangat bangga saya katakan pada ibu-ibu yang menanyakan siapa yang melatih tari, “Oh, Bu B yang melatih.” Merekapun berbondong-bondong menyalami Bu B. Entahlah, saya tidak cemburu meskipun tak ada yang memuji saya. Saya malah merasa sangat lega, lengkap, dan penuh. Ini kerja tim dan kebanggaan yang diperoleh adalah milik bersama. Lebih berbobot dan berisi.Sungguh, ternyata sebagai seorang pemimpin, sekecil apapun kelompok yang dipimpin, lebih baik untuk memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya daripada menjadi single fighter. Bekerja sendiri berarti belum bisa menjalin komunikasi dan kepercayaan pada yang dipimpin. Bisa bekerjasama dan membesarkan orang lain berarti orang-orang yang dipimpin benar-benar menaruh respek, kepercayaan, dan kepatuhan pada orang yang memimpinnya.Saya bisa dan berani menuliskan ini bukan karena saya sudah mahir soal kepemimpinan lho. Saya malah baru belajar. Justru ketika saya mengalami sebagai pemimpin kecil dan mendapatkan sentuhan dari buku Anang YB. Buku ini benar-benar inspiratif untuk dijadikan bahan referensi bagi para ketua lingkungan, calon ketua lingkungan, dan semua umat agar tidak keder untuk jadi ketua lingkungan. Tuhan memberkati.

Rabu, 01 September 2010

Anak-Anak pun Senang Mengenal Dia

ANAK-ANAK PUN SENANG MENGENAL DIA
Oleh Rini Giri


Malam itu Pastur akan mengunjungi umat. Anak-anak disuruh duduk bersila di depan altar. Katanya, agar lebih banyak mendapat berkat Tuhan. Orang-orang dewasa duduk di belakang. Rita kecil berdebar-debar hatinya. Itu adalah kesempatan pertamanya melihat Pastur dari jarak dekat. Ibunya selalu mengajak duduk di teras gereja jika misa, karena takut membuat kegaduhan kecil yang bisa mengganggu konsentrasi umat lain.
“Duduk yang manis ya, Anak-anak. Sebentar lagi Pastur datang. Selama misa, anak-anak harus tenang ya. Jangan ngobrol sendiri. Sebab saat berdoa, kita sedang bicara pada Tuhan. Jadi harus sungguh-sungguh.” Nasihat Bapak Ketua Lingkungan. Dengan masih sedikit bersuara, anak-anak mengangguk.
Tubuh Rita mungil, sehingga dia beberapa kali berdiri dan menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Pastur sudah datang atau belum. Di belakangnya, duduk sederet anak lelaki bertubuh bongsor. Dia penasaran dengan warna kasula Pastur yang berubah-ubah itu. Hari ini Pastur pakai warna putih, merah, atau hijau ya?
“Rita, duduk! Nanti Pastur marah!” Hardik ibunya dari belakang. Rita mendengus kesal lantas duduk kembali. Ah, nyatanya Pastur itu tidak pemarah kok. Buktinya begitu datang, anak-anak disalami satu-persatu dengan senyum ramah.
Ketika Pastur sedang berkotbah, Rita tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Pastur. Dia lebih tertarik untuk membahas warna jubah pastur dengan Andin yang duduk di sebelahnya. Pastur di sekolahnya memakai jubah putih tapi kenapa yang datang ini pakai jubah coklat? Lagi-lagi ibunya menghardik,” Rita! Diam! Nanti Tuhan marah! Tidak diberkati kamu nanti!” Hardikan ini membuat Rita terdiam. Lantas melirik gambar Yesus yang terpasang di dinding. Tangan kanan Yesus yang sedikit terangkat seolah menegurnya agar tidak berisik. Sejak saat itu, Rita tidak mau lagi duduk di depan dalam kegiatan lingkungan. Dia takut Tuhan marah dan tidak mau memberkatinya lagi. Lebih baik dia duduk di belakang, sehingga jika berisik, Tuhan tidak mendengar.
Setelah beranjak dewasa dan mengenal Kitab Suci, barulah Rita mendapat jawaban pasti. Tuhan itu Maha Baik. Dia menjadikan bumi seisinya dalam keadaan prima hanya untuk diberikan gratis pada manusia. Apa ada kerelaan cuma-cuma sebesar itu kalau bukan dari Tuhan? Diapun selalu memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat jika melakukan kesalahan. Meskipun bangsa Israel berkali-kali berpaling pada allah lain, namun dengan sabar Tuhan membimbing mereka sampai ke tanah terjanji. Bahkan dikirim-Nya nabi-nabi untuk memperingatkan mereka. Dan yang paling hebat lagi, Dia mengutus Putra-Nya Yang Tunggal untuk menderita sengsara demi penebusan dosa manusia. Ada cinta yang rela mengorbankan nyawanya demi sahabatnya, tapi apakah ada cinta lain yang rela mengorbankan nyawanya hanya untuk manusia yang pendosa dan tidak setia? Sungguh Tuhan itu baik, tidak menakutkan seperti yang selama ini dikenalnya.
“Sudah, Bu. Jangan dimarahi, nanti dia malah tidak mau ikut sekolah minggu lagi.” Tutur Rita pada seorang ibu yang menegur keras anaknya karena sedari tadi tidak mau duduk seperti teman yang lain. Gadis itu segera mengambil gambar Yesus yang sedang memberi makan limaribu orang dan memberikan pada anak itu supaya diwarnai. Tak apalah hari ini anak itu tidak mengikuti dinamika kelompok, yang penting dia tetap senang berada di tempat Bina Iman Anak itu.
Sungguh, Rita tidak ingin anak-anak mendapatkan gambaran yang menakutkan tentang Tuhan. Apalagi kalau hanya dipakai orang tua untuk menakut-nakuti anaknya agar menurut. Tuhan itu baik, sampai kapanpun sifat itu tidak akan berubah, dan Rita merasa punya hutang untuk mewartakan kabar gembira itu kepada anak-anak. Masa kecilnya dihantui gambaran Tuhan yang akan marah jika dia berisik dalam misa, tidak mau memberikan berkat jika dia ngobrol selama rosario, atau memotong lidah-tangan-kaki jika dia bicara buruk atau berbuat kenakalan. Dia tidak ingin anak-anak ketakutan seperti dirinya.
Rasa takut itu telah membuat imannya tidak bisa berkembang dengan baik. Dia melakukan segala kegiatan doa hanya karena takut. Bukan karena cinta-Nya pada Tuhan yang telah lebih dahulu mencintai dirinya. Bukankah hamba dengan satu talenta itu hanya menanam talentanya dalam tanah karena punya rasa takut luar biasa pada tuannya? Dia takut talentanya akan hilang dan akhirnya mendapat hukuman dari tuannya. Seandainya dia punya relasi yang baik dengan tuannya, pastilah dia akan lebih berani dan terbuka untuk melipatgandakan talentanya itu.
“Bang, Kitab Suci Untuk Anak-anak yang diceritakan kembali oleh Anne de Graaf itu harganya berapa ya?” Tanya Rita pada kakaknya yang menjadi staff marketing sebuah toko buku besar. Kakaknya hanya tersenyum. Mungkin perlu waktu dua bulan untuk menyisihkan uang jajan guna mendapatkan buku itu.
Menurut Rita, anak-anak juga harus mengenal kebaikan Tuhan secara benar sedari kecil. Satu-satunya cara adalah mendengarkan Sabda Tuhan supaya lebih mengenal Yesus. Sebab Yesus bersabda, barangsiapa mengenal Aku maka dia menganal Bapa yang mengutus Aku. Mereka akan kesulitan jika harus membaca Alkitab atau mendengar kotbah pastur di gereja. Satu-satunya sarana adalah cerita-cerita Kitab Suci dengan bahasa dan visualisasi yang mudah dimengerti anak-anak.
“Nih, bukunya.” Ujar kakaknya sambil menyerahkan sebuah buku tebal bersampul biru kelabu dengan gambar Yesus sedang memberkati anak-anak.
“Aku harus bayar berapa, Bang?” tanya Rita. Betapa gembira hati Rita menerima buku impiannya itu.
“Udah, nggak usah. Aku senang kok. Cuma itu yang bisa kuberikan. Aku salut pada orang-orang muda sepertimu yang peduli pada perkembangan iman anak-anak.” Rita tersipu.
Dalam pertemuan BIA, Rita menunjukkan buku baru itu pada anak-anak. Mereka sangat antusias ketika gadis itu mulai membuka halaman pertama dan mengisahkan Allah Menciptakan Semuanya Baik.
“Lihatlah gambar pohon-pohon, rumput, bunga, binatang di darat, ikan di laut, burung di udara, dan air jernih ini. Semua diciptakan untuk kita. Betapa baik Tuhan pada kita. Kitapun harus merawat dan memelihara ciptaan Tuhan ini sebagai tanda syukur kita.”
Rita berjanji akan menceritakan halaman berikutnya dalam pertemuan mendatang. Halaman demi halaman, hingga yang terakhir Dunia Baru Milik Allah. Dia bersyukur, dengan membacakan Sabda Tuhan berarti dia lebih mendengar-Nya. Mengajar mereka, berarti juga mengajar diri-sendiri. Dengan mengajarkan kebaikan Allah, kebaikan-Nya itu semakin nyata. Anak-anakpun senang mengenal Dia.