Rabu, 14 Juli 2010

UNTUKMU PARA GEMBALA (pernah ada di Warta Klara)

UNTUKMU PARA GEMBALA
Oleh Rini Giri


Dalam pesta penerimaan komuni pertama di paroki Santa Klara, Minggu, 6 Juni 2010, Romo Yustinus OFM, Cap. bertanya kepada 106 tunas gereja yang tengah menanti-nantikan tubuh dan darah Kristus dengan amat rindu untuk pertama kalinya. “Di antara sekian anak laki-laki, siapa yang ingin menjadi pastor? Ayo tunjuk jari!” Tak ada seorangpun yang tunjuk jari. Umat tertawa kecil dan Romo Yus pun tersenyum. “Kok nggak ada yang mau jadi pastor? Kenapa? Jadi pastor itu susah ya?” komentar Romo Yus dalam canda.
Saat Romo Alex dirawat di RS Elisabeth karena kena DBD, beberapa anak sekolah minggu kami ajak untuk menjenguk. Saat itu ada seorang suster biarawati yang kebetulan bertugas pula di rumah sakit itu. “Siapa yang mau jadi pastor atau suster? Nah, kamu yang senyum-senyum itu, pasti mau kan?” Tanya Romo sambil menunjuk seorang anak perempuan yang berdiri di samping ranjang rumah sakit bersama ayahnya. Anak kecil itu tersenyum malu merasa tersanjung, tapi ayahnya malah geleng-geleng. “Loh kenapa, Pak? Jadi romo atau suster itu susah ya, Pak?” Sang bapak hanya mengangguk mengiyakan.
Sepulang dari pesta penerimaan komuni pertama itu, anak saya langsung mengapresiasi pertanyaan Romo Yustinus seperti ini,”Misalkan aku laki-laki, aku juga nggak mau jadi romo.” Sayapun bertanya,”Loh kenapa? Bukannya jadi romo itu enak? Tinggal di pastoran yang bagus, disediakan mobil, fasilitasnya komplit?” Diapun segera menjawab,”Kan itu semua bukan punya dia sendiri, Bu. Lagipula apa enaknya mimpin misa tiap hari? Capek deh!” Dia memang pernah melihat jadwal kunjungan pastoral dimana tiap hari romo mempersembahkan misa di lingkungan-lingkungan.
Bahkan ketika saya menulis status di facebook, bahwa ketiga anak saya perempuan semua dan saya berdoa semoga ada yang jadi biarawati, salah seorang teman langsung kasih komentar,”Wah, jaman sekarang kalau mau jadi biarawati kayaknya tantangannya berat banget. Udah deh, doain aja anak-anakmu jadi orang-orang yang berguna. Itu sudah lebih dari cukup.”
Wah, di mata kami yang merupakan kaum awam ini, profesi sebagai biarawan atau biarawati ternyata kurang populer dan tampak begitu berat bila dijalani. Bahkan anak-anak pun jarang yang punya cita-cita jadi imam. Mungkin orangtuanya kurang restu atau kurang memperkenalkan profesi ini. Sebab di mata kami, ada anak yang jadi imam berarti keluarga itu harus siap kehilangan anak.
Lantas apa ya yang bisa kami lakukan untuk mendukung para gembala? Di sekolah minggu, saya selalu mempromosikan profesi ini kepada anak-anak. Lewat cerita dan lewat pujian. Jika ada anak yang mau suka rela memimpin doa, saya katakan,”Kamu memang pintar. Pasti kelak jadi pastor!” Tapi celakanya anak itu malah menjawab,”Saya nggak mau jadi pastor!” Loh? Lha mau jadi apa? “Mau jadi anggota legislatip!” Waduh! Rupanya anak-anak lebih banyak mengidolakan profesi-profesi yang bisa mendatangkan banyak penghasilan.
Kitapun tentunya memiliki talenta masing-masing yang unik. Ada baiknya talenta itu kita gunakan untuk berkarya di ladang Tuhan. Bukankah itu juga cara untuk mendukung para gembala dalam mewartakan Kerajaan Allah? Ada yang aktif dengan menjadi pengurus lingkungan, wilayah, dan paroki. Ada yang aktif dalam koor, prodiakon, lektor, komentator, dan putra-putri altar. Ada yang aktif dalam kelompok-kelompok kategorial. Semua tetap dalam satu Roh meski beda kemampuan. Termasuk mewarta lewat tulisan seperti ini. Semula saya tertarik untuk menulis di Warta Klara karena terinspirasi tulisan-tulisan Mbah Jito. Tulisanpun bisa bicara tentang iman dan mensharingkan pengalaman iman. Bukankah itu cara untuk mendukung para gembala dalam mewarta?
Sayapun termasuk orang yang beruntung sebab pernah berkesempatan memasak untuk makan siang dan malam para romo di paroki kita, meski hanya beberapa kali dan masakannya pun ala kadarnya. Maklum saya ini anak udik pegunungan yang hanya tahu bikin kluban (sayuran rebus) dan memasak tahu-tempe. Tapi saya yakin para romo menikmati buah tangan saya dengan suka-cita. Jadi, jika ibu-ibu mendapatkan kesempatan seperti saya, pakailah kesempatan itu sebagai cara untuk mendukung para gembala kita. Jangan pernah merasa direpotkan ya, Bu. Tapi kalau repot betulan ya jangan memaksakan diri. Lakukan dengan sukacita.
Untuk bapak-ibu di rumah, ceritakalah kisah-kisah orang kudus pada putra-putri kita. Sebagian besar dari mereka adalah para imam dan biarawati yang memberikan teladan iman begitu baik dan suci. Semoga lewat cerita-cerita itu, mereka akan tumbuh menjadi anak-anak yang selalu rindu untuk melayani Tuhan dan sesama. Syukur-syukur ada yang tertarik untuk jadi imam.
Seorang teman pernah menulis di blog-nya,”Siapakah yang paling butuh untuk kita doakan? Jawabannya adalah: para imam.” Marilah, kita senantiasa menyisipkan sepenggal doa untuk para gembala kita agar mereka selalu setia dalam panggilan dan menjadikan panggilannya sebagai perpanjangan tongkat penggembalaan Yesus di dunia ini. Dan selalu berdoa, semoga benih-benih panggilan tidak pernah kering di dunia ini. Sebab sampai kapanpun kita tetap butuh para imam untuk mempersatukan kita dengan kehadiran Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen kudus.
Dan bagaimana jika dukungan itu diwujudkan dalam sebuah buku berisi surat-surat cinta untuk para gembala? Sepertinya buku berisi kisah-kisah nyata seputar hubungan umat dengan imamnya itu akan segera terbit. Berisi kritikan, saran, dukungan, masukan, doa, lagu, dan kenangan bagi para gembala dari domba-domba yang digembalakannya. Mari kita terus dukung para gembala kita! Tuhan memberkati.