Rabu, 24 Februari 2010

SUSTER ROSITA KAMI

Suster Rosita Kami
Oleh Rini Giri


Dia adalah gadis paling menakjubkan di asrama kami. Bukan karena paling modis. Tapi, paling alami, trengginas, dan cerdas. Gadis lain tidak akan percaya diri jika ke kampus tanpa bedak, lipstik, dan parfum. Dia cukup menyisir rambut dan merapikan alisnya yang tebal itu. Kecantikannya sudah terpancar sempurna. Rambut hitam panjangnya, bulu mata lentiknya, bibir ungunya, dan kulitnya yang bersih. Benar-banar anugerah Surga yang jarang dimiliki sekaligus oleh seorang gadis.
Aku menjadi dekat dengannya karena tinggal dalam satu unit. Bersamanya terasa nyaman dan percaya. Mungkin karena dialah yang pertama kali menyambutku saat aku datang ke asrama. Dia yang membawakan rantang makan siangku.
“Aku dengar dari Suster Kepala siang ini akan datang warga baru, jadi tadi kuambilkan makan siang. Pastilah kamu belum sempat makan. Apalagi menempuh perjalanan jauh. Tapi sayangnya siang ini aku ada kuliah, jadi harus buru-buru ke kampus. Maaf ya, tidak bisa menemanimu makan. Sampai nanti, Nania.” Tutur katanya bersahabat dan gerak tubuhnya seperti malaikat. Dia begitu baik, bahkan mau mengambilkan jatah makan siang untuk seseorang yang belum dikenalnya.
Dia memang berbeda. Setiap gadis akan merasa geer jika diperhatikan lawan jenisnya. Dia tidak. Bahkan sering menjodohkan teman-teman di asrama dengan pemuda yang sedang mendekatinya. Padahal pemuda-pemuda itu ganteng, berotak cemerlang, berhati berlian, kuliah di fakultas favorit, dan berkecukupan materi. Lantas apa yang dia cari? Atau jangan-jangan dia penyuka sesama jenis? Hi!
“Kalau aku lesbian, tentunya sudah sejak dulu aku naksir kamu, Nania!” Jawabnya gemas sambil menarik hidungku hingga pedas. Dia sebenarnya mau berteman dengan siapa saja tanpa pilih kasih. Bahkan teman yang sering datang menemuinya di asrama kebanyakan laki-laki. Begitu banyak sahabatnya, sampai-sampai banyak yang iri padanya. Tapi tak ada seorangpun yang berhasil jadi pacarnya. Katanya, kalau lebih tua dianggap kakak. Sedangkan yang sepantaran dianggap adik. Dia pernah cerita sudah terlanjur jatuh cinta pada seseorang yang menjadi pegangan hidupnya selama ini. Siapa?
Tidak berbedakpun seperti bidadari. Lantas dia terpikir untuk memotong rambutnya supaya terlihat jelek. Tapi yang ada justru dia semakin menawan karena kulit bersihnya kian memancar. Dan suatu malam aku berhasil mencegahnya merusak wajah dengan silet.
“Kenapa, Ros?” tanyaku sambil memeluknya erat. Rosita menangis, seolah menyesali keelokan jasmaninya. “Cerita, Ros. Cerita!” Bujukku.
“Nan, aku ingin sekali masuk biara.” Jawabnya dengan bibir bergetar.
“Kalau mau masuk biara gampang, Ros, tinggal daftar saja. Tapi nggak perlu membenci diri-sendiri. Yang barusan kaulakukan itu dosa, Ros. Kau sudah diberi keindahan oleh Tuhan, kenapa justru tidak bersyukur?” Aku hampir marah.
“Kecantikan ini menghalangiku, Nan.” Dia menangis sejadi-jadinya. Lantas setelah reda, dia mulai bercerita. Dulu, waktu masih SMU dia terkesan pada kata-kata seorang biarawati. Katanya, jika ingin menjadi orang berguna, bersiap-siaplah untuk bersedia bekerja bagi orang lain tanpa bayaran. Rosita gundah dengan ucapan itu.
Di sekitarnya, semua profesi dihargai dengan gaji bulanan atau honor. Satu-satunya profesi tanpa bayaran yang dikenalnya adalah menjadi rohaniwan atau rohaniwati. Mereka mengabdi sepenuh hati dalam kaul kemiskinan dan tulus bekerja agar orang lain merasa bahagia. Tanpa bayaran.
“Aku berfikir, hanya dengan menjadi seorang biarawati aku akan menemukan hidupku, Nan. Aku akan menemukan Tuhan. Tapi orangtuaku menentangnya. Aku ini anak perempuan satu-satunya. Semua yang dimiliki orangtuaku akan diwariskan padaku. Bahkan ayahku dengan keras mengatakan, buat apa aku jadi suster. Tidak punya keturunan, tidak punya harta, tidak punya kedudukan dalam masyarakat. Pekerjaannya berat tapi tetap saja dicela umat. Lagipula, siapa yang akan mengurus perusahaan dan ayah-ibu jika sudah tua. Semua dibebankan padaku. Toh jika ingin berguna, katanya, aku bisa jadi pengusaha yang gemar berderma. Tapi bukan itu maksudku, Nan. Lalu ayahku mengirimku ke sini, agar masuk ke Fakultas Ekonomi. Dia berharap, kelak aku menjadi pengusaha sukses. Apalagi wajahku menarik, tidak sulit untuk menjerat anak pejabat.”
“Oh, My God.” Mulutku hanya bolong melompong mendengar kisahnya. Kini aku jadi paham, kenapa dia jarang pulang ke rumahnya. Kami boleh pulang dua minggu sekali. Tapi Rosita bahkan tiga atau empat bulan baru pulang, itupun setelah dijemput oleh seseorang. Sepupu yang diutus ayahnya.
Sore itu saat aku akan pulang ke rumah dan melewati ruang tamu asrama, seorang pemuda yang biasa menjemput Rosita berdiri di pintu. Sepertinya, Rosita tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Mungkin pemuda itu belum janjian. Dengan sopan pemuda itu tersenyum padaku. Kuminta dia menunggu dan aku kembali ke kamar memanggil Rosita.
“Ros, sepupumu datang.” Tapi Rosita tidak mau menemui, bahkan menyuruhku untuk mengatakan kalau dia sedang istirahat tak bisa diganggu. “Ros, dia datang dari jauh membawa mandat ayahmu. Tolong hargai dia dong, Ros!” Bujukku. Rosita menggeleng. “Kamu boleh menolak tidak mau pulang, tapi paling tidak temui dia!” Rosita tetap membatu. Aku jadi hilang kesabaran. “Ros, dengar ya, percuma saja kamu ingin menjadi orang berguna bagi sesama tapi kamu tidak peduli pada keluargamu sendiri. Kamu tidak tahu kan sepupumu itu datang membawa berita apa? Bagaimana kalau ternyata ayah atau ibumu sakit? Kau tetap tidak peduli?” Akhirnya sahabatku itu luluh dan minta ditemani untuk bertemu sepupunya.
Ternyata benar, ayahnya sakit keras. Suster Kepala dan beberapa teman turut menjenguk. Rupanya ayahnya itu terhibur dengan kedatangan kami. Terlebih karena tersentuh oleh doa yang dipanjatkan Suster Kepala bagi kesembuhannya. Dengan suara lirih ayahnya ingin Rosita mendekat. Lantas membisikkan sesuatu ke telinganya. Senyum pun merekah di bibir ungu sahabatku itu dan cepat-cepat dipeluknya ayahnya.
Sebulan kemudian, Rosita sudah tidak tinggal di asrama lagi. Tapi saudara sepupunya itu masih sering datang untuk menemuiku. Dan pagi ini, adik iparku Suster Rosita, baru saja selesai mengucapkan kaul kekalnya. Nanti sore, dia akan berangkat ke Papua untuk melayani pendidikan anak-anak suku Amungme.
“Nan, titip ayah dan ibuku ya.” Ucapnya. Aku mengangguk pasti. Ayah dan ibu nya tampak haru dan merasa menjadi yang paling berbahagia atas peristiwa penuh berkat-Nya ini.
“Itu Suster Rosita kami!” Teriak anak-anakku sambil memeluk buliknya.
“Bukan. Sekarang sudah menjadi Suster Rosita milik semua orang.” Kami tertawa.

Jangan Lupakan Lingkungan! (Warta Klara 21 Februari 20010)

JANGAN LUPAKAN LINGKUNGAN!
Oleh Rini Giri


Dulu waktu masih jadi Mudika dan tinggal di kaki Merbabu, Jawa Tengah, para remaja biasanya dikirim ke Boyolali, Salatiga, Solo, Semarang, atau Yogyakarta untuk bersekolah. Sebab di kota kecil kami belum ada sekolah yang bermutu. Di kota-kota tempat kami menimba ilmu itu, sebagian besar diantara kami aktif dalam kegiatan kelompok orang muda berbendera Katolik. Menjadi anggota koor di lingkungan tempat kami kost, mengikuti misa mahasiswa di kampus, menjadi petugas Misa Jumat pertama di sekolah, menjadi volunteer LSM berbendera Katolik, bahkan ada juga yang menjadi pengurus PMKRI dan menjadi ketua KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) di lingkungan kampusnya.
Namun setiap hari Sabtu dan Minggu kami selalu pulang kampung. Memang ada juga yang hanya pulang dua minggu atau sebulan sekali karena kesibukan tertentu di tempatnya bersekolah. Kami selalu berkumpul di kapel kota kecil kami mulai pukul 17.00. Kadang kami latihan koor, membantu merangkai bunga dan membersihkan kapel, mendampingi sekolah minggu, mendiskusikan kegiatan Mudika yang akan datang, memperbincangkan kondisi terbaru kapel berikut umatnya, menengok saudara seiman yang sakit, melakukan kunjungan anjangsana, mengikuti kegiatan doa di suatu lingkungan, atau bahkan kadang hanya duduk di teras kapel sambil gitaran.
Sabtu dan Minggu adalah waktu istimewa bagi kami untuk bertemu kembali setelah hari-hari biasa kami lewatkan di kota lain. Sabtu dan Minggu juga menjadi saat yang spesial sebab kami bisa kembali melayani lingkungan kami yang telah beberapa hari kami tinggalkan. Sampai-sampai setelah beberapa anggota senior bekerja di kota yang lebih jauh seperti Jakarta atau Surabaya atau sudah menikah, dan jumlah kami berkurang, sebuah lagu sendu dari Koes Plus sering didendangkan sambil duduk-duduk di teras kapel, “Sabtu malam kusendiri….tiada yang menemani….di sekitar kulihat diam…tiada seindah dulu…” Setelah kami semua pergi, kini kapel kami hanya dihadiri kaum sepuh. Benar-benar Kisah Sedih Di Hari Minggu! Bahkan yang dulu statusnya stasi kini turun menjadi wilayah karena jumlah umatnya menyusut. Mudikanyapun habis.
Tapi suatu semangat yang bisa kami pelajari dari masa-masa Mudika kami adalah : janganlah pernah melupakan lingkungan! Sejauh apapun kita sudah mengikuti kegiatan gerejawi, tetap perhatikanlah lingkungan kita. Selalu kembalilah kepada lingkungan. Sebab di sanalah kehidupan umat basis berakar dan bertumbuh. Saudara seiman selingkungan adalah saudara terdekat kita. Kalau kita sedang sakit, berduka karena ada anggota keluarga yang meninggal, butuh bantuan karena mau menikahkan anak, atau butuh dukungan doa, siapa yang akan kita datangi pertama kali kalau bukan orang-orang di lingkungan?
Lingkungan pula yang telah membesarkan dan menginspirasi kita. Bukankah kita bisa aktif berkiprah di tingkat wilayah, paroki, keuskupan, dan kelompok-kelompok kategorial lainnya juga karena berangkat dari kegiatan kita di lingkungan? Di lingkunganlah kaki kita berpijak. Jika kita bisa berkarya di mana-mana tetapi melupakan lingkungan kita sendiri, bukankah seperti kacang lupa kulit? Atau berkiprah di mana-mana tapi tidak dikenal saudara selingkungan, bukankah bagaikan kecambah tanpa menyentuh tanah? Tumbuh sih tumbuh, tapi apakah akan sempurna?
Seorang saudara, aktivis perhimpunan karyawan Katolik di suatu kawasan industri, pernah mengeluh, merasa kesepian di gereja Katolik. Sebab setiap kali ke gereja, tak ada orang yang dikenalnya. Kasihan dia, aktif menggereja di tempatnya bekerja tapi tak dikenal oleh saudara selingkungannya sendiri. “Daftarkanlah dirimu di lingkungan tempat kamu tinggal. Ikuti kegiatannya dan kenali orang-orangnya. Pasti deh kamu bakalan menemukan sebuah keluarga dan tidak akan kesepian lagi jika pergi ke gereja parokimu. Namanya juga keluarga, pasti ada lebih dan kurangnya. Ada suka dan dukanya. Tapi nikmati aja demi pertumbuhan iman kita.” Usul saya. Diapun membuktikannya.
“Pak, setelah aktif di tingkat wilayah nanti, semoga semangat menggerejamu di tingkat lingkungan tidak mengendur ya.” Saya mengingatkan suami yang kebetulan dipercaya menjadi Ketua Wilayah baru. “Bukankah jika kita berani merantau biasanya juga tidak lupa kirim uang ke kampung? Jadi semakin kita banyak berkiprah di luar lingkungan, semakin banyak pula kontribusi yang kita berikan pada lingkungan. Bukan malah lupa-lupa lali. Saudara-saudara selingkungan pasti kangen. Gitu, Pak’e!” Lanjut saya. Selamat atas dilantiknya para pengurus wilayah dan lingkungan di Paroki St. Klara. Semoga Tuhan kan selalu memberkati tugas pelayanan Bapak dan Ibu sekalian.

MASIH JADI SINGLE FIGHTER? (Warta Klara 31 januari 2010)

MASIH JADI SINGLE FIGHTER?
Oleh Rini Giri/ Antonius 3


Sudah membaca SANDAL JEPIT GEREJA karya Anang YB, yang pernah dibuatkan resensi oleh saudara Panjikristo dan dimuat di Warta Klara beberapa minggu lalu? Saya sudah. Sangat terasa, saya menemukan teman seperjalanan setelah membacanya. Kebetulan suami saya juga ketua lingkungan. Seorang Anang YB yang masih sangat muda, siap melabeli diri sebagai sandal jepit kala menjabat sebagai ketua lingkungan di Paroki Arnoldus Bekasi..
Menjadi ketua, dimanapun, bukankah harus menjadi yang paling siap untuk diinjak, agar yang lain tetap bisa berjalan. Begitu kira-kira pelajaran yang saya petik dari buku yang sangat laris itu. Tepat seperti ajaran Yesus. Yang terbesar adalah yang melayani. “Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang mampu membesarkan orang-orang yang dipimpinnya!” Tulis Anang YB di akhir buku. Jadi bukan yang malah jadi besar sendirian diantara yang dipimpinnya ya?
Ini mengingatkan saya pada dua peristiwa. Sejak dulu saya memang paling senang jadi seksi acara dalam suatu pagelaran atau perayaan. Meskipun baru di lingkup sekolah saat perpisahan, kampus saat malam inagurasi, RT saat HUT RI, dan lingkungan saat natalan. Peristiwa pertama, saat saya dipercaya menjadi koordinator seksi acara natalan di lingkungan. Saya menganggap anggota seksi hanya berfungsi membantu saja, maka susunan acara, materi acara, berikut pengisinya saya tentukan semua sendirian. Yang lain hanya saya mintai tolong untuk menyiapkan properti. Itupun saya yang merancang dan yang lain tinggal melaksanakan.
Semua berjalan baik, meriah, dan semua orang tampak senang. “Siapa yang menyiapkan tari anak-anak dan dramanya?” Saya dengar seorang ibu bicara pada salah satu anggota seksi acara. “Bu Giri.” Jawab anggota seksi acara itu. Serta merta sang ibu mendekati saya dan mengucapkan selamat serta pujian. Wah, bangga luar biasa. Saya jadi terkenal. Namun sesampai di rumah, saya merasakan kekosongan luar biasa. Semua pujian dilontarkan pada saya, padahal sebenarnya tanpa bantuan ibu-ibu anggota seksi acara, anak-anak yang turut pentas, orangtua anak-anak yang pentas, dan hadirin yang apresiatif, acara itu tak akan berjalan.
“Kamu over acting! Kamu sombong sekali! Kamu lupa pada dukungan ibu-ibu yang lain! Kamu jadi gede rasa atas segala pujian itu! Tanpa mereka kamu nol sama sekali!” Nurani saya terus-menerus menuduh dan membuat hati gelisah. Saya jadi kapok dipuji dan jadi pusat perhatian. Saya disanjung tapi merasa gagal!
Peristiwa kedua, kala menjadi koordinator seksi acara dalam HUT RI tingkat RT. Saya berusaha memperbaiki diri di sini. Anggota seksi acara yang lain saya libatkan dalam menentukan susunan, materi, dan pengisi acara. Masing-masing punya tanggungjawab untuk melatih anak-anak. Saya mengkoordinir anak-anak, Bu A melatih baca puisi, Bu B melatih tari, Bu C melatih fashion show, dst. Pokoknya bagi-bagi tugas. Acara lancar dan meriah. Semua yang hadir juga tampak senang. Dengan sangat bangga saya katakan pada ibu-ibu yang menanyakan siapa yang melatih tari, “Oh, Bu B yang melatih.” Merekapun berbondong-bondong menyalami Bu B. Entahlah, saya tidak cemburu meskipun tak ada yang memuji saya. Saya malah merasa sangat lega, lengkap, dan penuh. Ini kerja tim dan kebanggaan yang diperoleh adalah milik bersama. Lebih berbobot dan berisi.
Sungguh, ternyata sebagai seorang pemimpin, sekecil apapun kelompok yang dipimpin, lebih baik untuk memberdayakan orang-orang yang dipimpinnya daripada menjadi single fighter. Bekerja sendiri berarti belum bisa menjalin komunikasi dan kepercayaan pada yang dipimpin. Bisa bekerjasama dan membesarkan orang lain berarti orang-orang yang dipimpin benar-benar menaruh respek, kepercayaan, dan kepatuhan pada orang yang memimpinnya.
Saya bisa dan berani menuliskan ini bukan karena saya sudah mahir soal kepemimpinan lho. Saya malah baru belajar. Justru ketika saya mengalami sebagai pemimpin kecil dan mendapatkan sentuhan dari buku Anang YB. Buku ini benar-benar inspiratif untuk dijadikan bahan referensi bagi para ketua lingkungan, calon ketua lingkungan, dan semua umat agar tidak keder untuk jadi ketua lingkungan. Tuhan memberkati.

SALDO KEBAIKAN (Warta Klara 8 November 2009)

SALDO KEBAIKAN
Oleh Rini Giri


Ibu saya sudah berusia 62 tahun, tapi masih sangat enerjik. Bahkan saya yang 29 tahun lebih muda, kalah lincahnya. Waktu datang ke Bekasi dan mengajak jalan-jalan ke sebuah mal di Bekasi Barat, dengan cekatan dia menggandeng anak-anak saya untuk naik-turun jembatan penyeberangan. Sementara saya ditinggal begitu saja agak di belakang karena ngos-ngosan.
Puji Tuhan kesehatan ibu saya begitu baik. Bahkan ketika teman-teman dekat seangkatannya mulai kurang aktif karena terserang diabetes atau kolesterol, ibu masih gesit berorganisasi dan menggereja. Dasawisma, PKK, posyandu, senam jantung sehat, WK, paguyuban lansia, ziarah, retret…wah seabrek kegiatannya. Itulah cara ibu menikmati masa pensiun.
Tante saya, adik ibu yang berusia beberapa tahun lebih muda, bahkan mulai keluar-masuk rumah sakit. Ibu juga yang mengantar dan menjaganya. Sampai-sampai saya dan adik-adik protes. Takut ibu kelelahan dan malah gantian jatuh sakit.
“Aku malah akan sakit kalau melihat saudariku menderita sementara aku diam saja. Saudara bulikmu yang paling dekat kan hanya aku. Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir. Kalau kita melakukan sesuatu yang baik, percayalah Tuhan pasti memberi kekuatan.” Begitu kilah ibu. Bahkan dia sempat menggalang dana dari saudara-saudara lain untuk biaya kemoterapi bulik. Ibu memang merasa tidak mampu memberi bantuan uang. Setiap ada saudara dan tetangga yang sakit atau sedang kesusahan dia lebih banyak memberikan tenaga dan perhatiannya.
Saya jadi mengerti kenapa Yesus saat mengutus para murid pergi berdua-dua, tidak memperbolehkan mereka membawa bekal apapun selain tongkat. Juga seorang pemuda kaya yang ingin mengikuti Yesus harus menjual dulu hartanya dan membagikannya pada orang miskin. Kalau mereka punya uang, punya banyak perbekalan, punya barang bawaan banyak, maka dalam melayani harta benda itulah yang akan mereka berikan. Tapi ketika mereka tak punya apa-apa, mereka malah memberikan lebih dari itu. Yaitu tenaga, pikiran, waktu, bahkan nyawa. Yesus berharap para murid, pemuda kaya itu, dan kita memberikan diri. Seperti Dia. Menyerahkan seluruh dirinya demi cinta-Nya pada kita.
Lantas kalau sudah begitu, nyambung juga nalar kita pada sabda bahagia Yesus. “Berbahagialah yang miskin di hadapan Allah.” Yaitu yang tidak menaruh harapan pada harta duniawi tetapi lebih mengandalkan karunia surgawi. Ya, sabda Tuhan kadang baru bisa dipahami betul jika kita melihat atau mengalami suatu pengalaman iman.
“Ibu tidak capek?” tanya saya suatu ketika.
“Apa kamu pernah capek menabung? Bisa menabung dan punya uang simpanan rasanya senang kan? Hati tentram. Hidup terasa terjamin.”
“Lho?”
“Bukan hanya tabungan uang yang kita butuhkan dalam hidup ini. Kita juga perlu tabungan kebaikan. Berbuat baik itu seperti menabung. Mungkin bukan kita yang mengunduh hasilnya. Tapi orang lain dan anak-cucu kita. Berbuat baik ya berbuat baik saja, tidak perlu berpamprih. Namun bagaimanapun juga setiap kali kita berbuat baik, apapun bentuknya, kita sudah memiliki saldo untuk kehidupan.” Wah, hebat dia. Saya tak menyangka, dibalik kesederhanaan dan bibirnya yang mudah tersenyum itu tersimpan sesuatu yang berharga.
Mungkin kesehatan, kegesitan, dan kelincahan yang dimilikinya di usia senja ini juga berkah Tuhan atas saldo-saldo kebaikan yang pernah ditabungnya sedari muda dulu. Semakin banyak menabung, semakin banyak saldonya. Semakin banyak melakukan penarikan tunai, semakin susutlah saldonya. Makin banyak berbuat baik, saldo kebaikan bertambah. Makin tegar tengkuk dan kerasan melakukan dosa, makin habislah saldo kebaikan itu. Saya pun disadarkan untuk mulai giat mengumpulkan saldo kebaikan itu. Tuhan memberkati.