Minggu, 25 Oktober 2009

JANGAN PERNAH MENOLAK (Warta Klara, 25 Okt 2009)

JANGAN PERNAH MENOLAK!
Oleh Rini Giri

Menurut surat edaran Dewan Paroki Santa Klara, proses peremajaan pengurus lingkungan/wilayah dimulai bulan Oktober ini. Kepengurusan baru periode 2010-2013 akan dilantik Ketua Dewan Paroki akhir Februari 2010. Puji Tuhan, tugas keluarga kami untuk memimpin lingkungan pun akan segera berakhir dan digantikan keluarga yang lain. Lega rasanya.
“Kenapa kok belakangan suamimu tampak kurus?” Tanya ibu mertua suatu kali.
“Oh, dia sekarang jadi ketua lingkungan, Bu.” Jawab saya jujur. Sejujur-jujurnya. Ibu mertua sampai mengernyitkan dahi.
Nah, adik ipar lah yang akhirnya menemukan relasi kedua variabel di atas. Dia datang ke rumah karena kangen pada abangnya dan ingin ngobrol. Jauh-jauh, kok cuma dapat jatah waktu beberapa menit untuk ketemu. Padahal hari Minggu. Pagi jam 09.00, suami saya ke lahan gereja mengikuti suatu rapat. Pulang, makan sebentar, lalu ke rumah sakit menengok umat yang sedang dirawat. Hingga sore. Habis mandi, pergi lagi ke doa lingkungan. Waduh !
“Mau-maunya jadi ketua lingkungan. Dapet apa coba?” Komentar kakak ipar. Mungkin adik ipar berkeluh kesah padanya tentang pertemuan yang kurang memuaskan itu.
“Secara materi aku gak dapet apa-apa. Tapi secara rohani, hidup keluarga kami terasa lebih kaya akhir-akhir ini. Aku agak kurus tapi imanku tambah gemuk rasanya.“ Itu jawaban suami saya. Dan saya amini. Amin. Amin. Amin.
Memang benar. Selama tiga tahun terakhir ini, kami semakin menemukan Cinta Yesus. Mungkin Tuhan ingin menjadikan keterlibatan kami dalam kepengurusan ini untuk semakin dekat pada-Nya. Menjadi lebih sering hadir dalam kegiatan lingkungan dan lebih banyak mengenal umat lain. Cinta tidak selalu mulus, termasuk dalam menemukan Cinta Yesus. Banyak suka-duka keluarga kami dalam menjalankan tanggung-jawab dan kepercayaan ini. Waktu, tenaga, dan pikiran lebih banyak tercurah ke sana. Puji Tuhan, kami bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Apalagi untuk melayani Tuhan dan sesama. Semuanya kami anggap sebagai proses pendewasaan kami sebagai salah satu umat Allah.
Dengan menjadi ketua lingkungan, ada suatu keuntungan tersendiri. Kami bisa mengenal puluhan KK dengan lebih baik, karena mereka selalu datang ke rumah untuk lapor dan minta tanda tangan. Kami jadi semakin sering berinteraksi dengan umat lain. Makin belajar untuk sabar dan menjadi pendengar yang baik akan segala curhat maupun masukan umat. Makin sadar akan peranan kerjasama umat basis dalam menumbuhkan iman bersama. Kegiatan di wilayah maupun paroki juga dapat menambah pertemanan kami dalam nama Yesus. Ya, jadi ketua lingkungan bukan hanya memperkaya rohani kami, tapi juga memperkaya jalinan silaturahmi. Juga menjadi suatu tantangan untuk selalu berlaku dan bersikap baik dan benar. Bukan sekedar “ja-im” lho! Soalnya yang namanya ketua dimana-mana kan harus bisa jadi panutan dan andalan.
“Lha, tapi kok badanmu kian makmur saja? Apa gak bantu suamimu dalam melaksanakan tugasnya?” tanya ibu mertua lagi. Saya hanya tersenyum.
“Putra ibu yang menabur, saya yang memanen berkah-Nya.” Jawab saya dalam hati. Soalnya, ssstttt ini rahasia, umat lebih cinta pada istri ketua lingkungan dibanding pada ketua lingkungannya. Kalau ada doa syukur di rumah umat, yang dikasih buah tangan bukan ketua lingkungannya tapi istrinya. Hehehehe.
Suatu harapan, jangan pernah menolak berkah Tuhan untuk menjadi pengurus lingkungan/wilayah. Sebab berkah Tuhan hadir saat kita mau diutus. Duabelas rasul tak pernah keberatan diutus Yesus. Bahkan Saulus yang kejipun tak kuasa menerima perutusan-Nya. Padahal tugas mereka tidak ringan. Namun nyatanya kita bisa melihat perubahan hidup rohani setelah para rasul dan Paulus rela bekerja untuk Yesus. Suatu pertobatan. Dan itu indah. Tuhan memberkati.

TUHAN MENJADIKAN SEMUA BAIK (Warta Klara, 25 Okt 2009)

TUHAN JADIKAN SEGALANYA BAIK
Oleh Rini Giri


Aku senang sekali, ketika membuka facebook dan mendapatkan permintaan pertemanan dari seseorang yang istimewa. Kawan dari masa lalu yang sangat berarti bagiku. Mungkin sudah 15 tahun kami tidak berkomunikasi. Dia yang mengajarkan lagu berbahasa Inggris pertamaku. Saat itu umurku 11 tahun. Lagu milik John Lennon…Oh, my love for the first time in my life…my eyes are wide open...Oh, my love for the first time in my life…my eyes can see…Dengan gitar dia mengiringiku menyanyi dalam suatu acara muda-mudi. Pengalaman ini membuatku membuka mata untuk pertama kalinya pada kemurahan karunia Tuhan padaku.
“Suaramu keren. Kamu pasti bisa. Menyanyi itu bisa jadi pintu untuk mendapatkan banyak teman lho.” Ujarnya menyemangatiku. Itu adalah penampilan pertamaku menyanyi solo di depan umum, sehingga aku masih malu dan ragu. Dia benar. Puji Tuhan, aku mendapat banyak teman ketika terlibat dalam beberapa kelompok koor.
Kawanku ini tidak pernah sekolah. Dia belajar segala sesuatu secara otodidak. Panas tinggi waktu kecil, membuat kakinya lumpuh dan kursi roda menjadi kepanjangan langkahnya. Namun kekurangan fisiknya tertutupi kelebihan iner-nya. Dia jago main gitar, cas-cis-cus bahasa Inggrisnya, pinter nulis, pinter ngomong, wawasannya luas, jadi penyemangat banyak teman, rendah hati, dan dalam usia muda sudah mampu memimpin doa di lingkungan. Temannya banyak. Usianya yang sepuluh tahun lebih tua, membuatku menghormatinya sebagai kakak.
Dulu, di mata kanak-kanakku, aku sangat kasihan padanya. Kenapa Tuhan memberikan tubuh yang tidak sempurna pada orang sebaik itu. Apa dosanya? Apa Tuhan yang Maha Adil juga Maha Tidak Adil sekaligus? Ketika guru SD-ku tidak jadi melibatkanku dalam lomba koor gara-gara aku tidak jitu baca not, dia malah mendukungku untuk menyanyi solo di depan banyak tamu. Bahkan dia juga mengajakku mendiskusikan lagu berbahasa Inggris itu agar aku lebih menghayatinya. Dia begitu peduli pada anak baru gede yang masih minder dan gampang patah sepertiku. Dan membantuku menemukan rasa percaya diri.
Dengan keterbatasan fisik dan talenta yang dimilikinya, dia melayani gereja maupun komunitas kaum muda di tempat tinggal kami. Dia selalu penuh senyum dan binar ceria terus memancar dari balik kaca mata minusnya. Apa dia tidak kecewa pada Tuhan? Apa dia tidak protes pada-Nya? Jika kulihat dari apa yang dikerjakannya dengan sepenuh hati, aku bisa melihat rasa syukur selalu mengalun dari hatinya. Kekurangannya justru menjadi kelebihannya dalam memuliakan nama Tuhan. Dia tidak pernah mengeluh. Tidak pernah kecil hati. Merasa dirinya tidak beda dengan kawan yang lain.
“Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?” Roma 9: 21. Dari kutipan itu, kusadari, Tuhan menciptakan setiap insan secara unik. Masing-masing dengan lebih dan kurangnya. Semua untuk tujuan mulia. Agar kemuliaan nama-Nya semakin dinyatakan. Meskipun tugas dan peranannya berbeda-beda.
Kadang, dengan segala lebih yang ada padaku, akupun masih mengeluh dan merasa kurang berguna. Apalagi jika melihat kawan-kawan lain sangat sukses dalam kariernya. Aduh, rasanya aku ini seperti katak dalam batok kelapa. Kuper banget. Kegiatanku cuma muter-muter di situ-situ saja. Di rumah, RT, sekolah anak-anak, dan paling pol lingkungan gereja. Seandainya dulu aku terus bekerja, tentu akupun tak jauh dari apa yang mereka capai. Begitu pikirku.
Tapi begitu melihat kawan lamaku nongol lagi di facebook dan kabarnya dia masih giat melayani Tuhan sesuai panggilan-Nya, cara pandangku begeser. Tuhan menjadikan segalanya baik. Tidak satupun hal diciptakan untuk tujuan hina apalagi jahat. Rencana dan rancangan-Nya untuk kita adalah sesuatu yang indah. Bahkan segala kekurangan pun mampu dijadikan-Nya kelebihan untuk berkarya. Dan segala keterbatasan lingkup bergaulku, mungkin memang harus kukelola untuk lebih maksimal dalam melayani sesama di lingkup itu. Terimakasih Tuhan. Tuhan kan memberkati.

Senin, 12 Oktober 2009

MENERIMA IMAM APA ADANYA (Warta Klara, 4 Oktober 2009)

MENERIMA IMAM APA ADANYA
Oleh Rini Giri

Membaca Buletin Refleksi Tahun Imam Keuskupan Agung Jakarta, membuat hati saya tergetar. Menjadi seorang imam itu ternyata tidak semudah yang saya lihat. Tinggal di pastoran yang bersih dan rapi, segala keperluan sudah dilengkapi, dan semua umat siap menghormati. Wah! Ternyata seorang imam harus selalu siap untuk melayani, mendampingi, berkolaborasi, menjalani hidup suci, tidak tergoda pada hal duniawi, domba yang hilang harus dicari, siap diomongi, bahkan juga harus siap mati. Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi seorang imam. Belum lagi menghadapi umat yang aneka-ragam latar belakang, pandangan, dan keinginannya.
Umat dengan gampang mengajukan kriteria imam ideal. Antara lain: yang mengerti umatnya, yang membaur, yang gampang dihubungi, yang bisa jadi teladan, yang sederhana, yang komunikatif, yang setia pada janji Imamatnya, yang ngemong umat, yang selalu siap melayani, yang tidak galak, yang kotbahnya menggugah, yang memimpin misa-nya tidak bikin ngantuk, yang ramah, yang mudah bergaul, yang rendah hati, yang tidak gila hormat….walah, banyak banget!!! Biasanya umat akan ngedumel kalau ternyata imamnya tidak sesuai dengan gambaran ideal mereka.
Apakah para imam juga pernah melemparkan kriteria umat ideal baginya? Yang aktif, yang gampang diajak kerjasama, yang tidak ngumpet kalau dimintai iuran, yang punya inisiatif, yang kreatif, dll. Tidak! Imam yang datang ke dalam suatu paroki, selalu menerima begitu saja umat yang ada. Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka. Kekurangan umatnya biasanya akan dijadikan tantangan untuk menemukan format penggembalaan yang lebih tepat. Sedangkan kelebihan umat akan dijadikan sarana untuk semakin memajukan paroki yang dipimpinnya.
Sebagai umat, kitapun perlu menerima imam apa adanya. Apalagi mereka adalah orang-orang yang terpilih dan terpanggil. Sudah dipersiapkan dengan baik untuk melayani gereja Allah. Menerima kekurangan mereka secara manusiawi dan memberikan kelebihan umat untuk bersama-sama membangun paroki. Mensyukuri kelebihan mereka supaya dengan anugerah itu, kekurangan-kekurangan dalam diri umat dapat diolah untuk menjadi lebih baik. Intinya, tidak ada imam yang ideal. Hanya Yesus imam yang ideal. Tak ada pula umat yang ideal. Jemaat perdana adalah komunitas kristen yang paling ideal. Yang bisa kita lakukan bersama hanyalah meneladan imam dan jemaat ideal itu. Jadi, kerjasama antara gembala dan umatnya lah yang akan mengantar kita pada kondisi yang mendekati ideal. Para imam meneladan Yesus dalam melayani dan umat pun bahu-membahu meneladan jemaat perdana dalam membangun komunitas. Saling melayani. Bekerjasama.
Dalam Novel Pohon-Pohon Sesawi, karya Romo Mangunwijaya, bab Pohon-Pohon Di Pekarangan Paroki, diceritakan bahwa jika paroki itu diandaikan sebuah kebun maka di dalamnya ada pohon kelapa, sawo, sukun, durian, pisang, pepaya, bahkan berbagai jenis bunga. Begitu banyak dan berbeda-beda, namun toh semuanya anggota kebun dan punya kontribusi masing-masing pada si empunya kebun (Yesus). Si tukang kebun (imam) harus menerima dan merawat semuanya dengan baik. Sebab dia dipilih dan dipercaya oleh TUAN-nya. Meskipun si durian berduri, meski si pisang banyak getah, si sawo banyak ulat bulunya, dll. Tak boleh pilih kasih.
Dan para penghuni kebun itu tentunya akan tetap berbuah limpah pada musimnya, tanpa memandang siapa yang jadi tukang kebun kala itu bukan? Yang menjadi alasan bagi para pohon untuk selalu berbuah bukan tukang kebunnya tapi TUAN si empunya kebun. Jadi, dalam sebuah paroki, siapapun imam-nya, seyogyanya tidak jadi soal. Sebab umat berkarya bukan dalam nama imam tapi dalam nama IMAM AGUNG yaitu Yesus sendiri. Bekerjasama, saling melayani, dan saling mendukung antara imam dan umat adalah suatu relasi ideal demi kemajuan suatu paroki. Tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk saling mengkritik dan memberi masukan. Selamat Tahun Imam. Tuhan memberkati.

SEMUA JADI JUARA (Warta Klara, 11 Oktober 2009)

SEMUA JADI JUARA
Oleh Rini Giri


“Hai, kamu nomor undian berapa? Doain aku ya! Kelompokku sebentar lagi maju nih!” Ujar seorang anak pada teman di depannya. “Habis kamu, baru kelompokku. Deg-degan nih. Doain aku juga ya.” Jawab kawan di depannya. Tapi MC segera memberi aba-aba pada hadirin untuk mengucapkan kata “Bayem!” Supaya mulut terkunci dan ruangan menjadi tenang. Acara akan segera dimulai. Pukul 09.00 thet! Obrolan kedua anak beda lingkungan itupun terputus. Tapi toh ada anak lain yang usil dan malah mengucapkan kata ”Kangkung!” atau “Buncis!”sehingga ruangan tak kunjung reda dari gemuruh obrolan setengah berbisik.
Itulah sekelumit perbincangan anak-anak yang sempat terdengar dalam Festival Koor Anak dalam memeriahkan HUT Paroki Santa Klara ke-11. Ada 15 kelompok paduan suara anak yang hadir dalam perhelatan tanggal 27 September 2009, di Gedung Serba Guna Seroja itu. Masing-masing dengan kekhasan-nya sendiri, baik pakaian, suara, maupun geraknya. Semua ingin menampilkan yang terbaik. Nyatanya, kelimabelas kontingen pun menjadi yang terbaik, sebab tak ada pujian dan nyanyian yang cela di hadapan Tuhan. Apalagi jika dilantunkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Meskipun di akhir acara, juri memberikan banyak koreksi tehnis, tapi kan kesungguhan dan semangat untuk memuliakan Tuhan tak bisa dikoreksi.
Panitia rupanya berhasil menjadikan festival koor ini sebagai ajang pesta, bukan perlombaan yang penuh persaingan. Sukses buat panitia. Apalagi dekorasi balon dan bingkisannya, meski sederhana, cukup mendukung. Terdengar seorang anak berujar,”Wah, gerakan dan kanon kelompok Si Anu kompak banget ya. Latihannya pasti lama tuh.” Temannya nimbrung, ”Kelompok kita cuma latihan empat kali, mana bisa begitu.” Sebuah pujian tulus bagi kelompok lain yang tampil lebih OK dan pengakuan sportif atas kekurangan diri.
Apalagi dalam ajang ini, anak-anak bertemu dengan teman satu sekolah yang kebetulan beda lingkungan. Atau pernah jadi sesama peserta komuni pertama. Sehingga persaingan ketat seperti pada kebanyakan lomba tidak terjadi. Mungkin mereka tahu bahwa peserta lain adalah teman seiman dan segereja, yang sama-sama ingin memuji Tuhan. “Nyanyinya yang sungguh-sungguh, tapi jangan jadi beban ya. Pokoknya kayak kalau tugas koor di gereja itu. Menyanyi untuk Tuhan Yesus. Bagi Yesus, suara nyanyian semua anak bagus kok.” Ujar seorang pembina menyemangati.
Setelah semua peserta menampilkan yang terbaik untuk Yesus, para hadirin dihibur dengan lagu-lagu yang dilantunkan peserta KEP. “Lho, kok ibu-ibu juga ikut lomba, Bu?” tanya seorang anak. Dia mengira ibu-ibu peserta KEP dengan seragam putih dan selendang batik itu juga saingan mereka. Setelah itu, Romo Alex dan Romo Justin juga menyumbang lagu. Romo Dominikus pun hadir dan disambut meriah oleh anak-anak. Menjelang pengumuman hasil lomba, seorang pemuda bernama Doni melantunkan “Status Palsu” dan “Tak Gendong Kemana-mana”. Anak-anak sangat antusias ikut menyanyi. “Wah, ironis sekali. Coba kalau nyanyi lagu pujian sesemangat dan seheboh ini.” Komentar seorang ibu. Itulah tantangan kita, terutama para pembina BIA, untuk membuat lagu-lagu rohani jadi “hit” di telinga dan hati anak-anak. Apalagi Seksi Liturgi sudah menyumbangkan 20 lagu untuk dipelajari.
Sepulang dari acara itu, tak tampak mendung dari wajah anak-anak yang tidak berhasil membawa piala. Bahkan di panggung, saat pengumuman pemenang dan pembagian hadiah, sempat terjadi seorang anak yang kalah menyalami temannya yang menang. Puji Tuhan. Ada 3 pemenang Lomba Baca Kitab Suci BIA, 3 pemenang Lomba Baca Kitab Suci BIR, 1 pemenang Lomba Menulis BIA, 1 pemenang Lomba Menulis BIR, 1 dirijen terbaik, dan 6 kelompok pemenang Festival Koor. Selamat untuk para pemenang.
“Ma, kita sudah kompak banget. Bandana kita saja keren. Pakai kupu-kupu lagi. Barisnya rapi. Suaranya kenceng. Tapi kok nggak dapat piala ya, Ma?” tanya seorang anak, saat acara usai pukul 12.00. “Yang penting kamu dan teman-teman punya pengalaman. Sudah bekerjasama dengan kompak. Ketemu banyak teman dari lingkungan lain. Di mata Tuhan Yesus, semua anak jadi juara kok.” Anak itupun tersenyum. Puji Tuhan. Kami merindukan acara seperti ini lagi.