Senin, 14 September 2009

MENCINTAI SABDA-NYA SEJAK KECIL (Warta Klara 13 Sept 2009)

MENCINTAI SABDA-NYA SEJAK KECIL
Oleh Rini Giri


Ayah dan Ibu saya dulu bukan Katolik. Suatu berkah istimewa jika akhirnya mereka menikah di Gereja Katolik. Tapi, kekatolikan yang diturunkan pada saya sangat minim. Bahkan saya baru mulai sering mendengar sabda Tuhan setelah SMA dan kuliah, dari para pembimbing retret. Dan setelah dewasa, barulah saya tergerak untuk lebih banyak belajar. Seperti rusa di padang tandus yang rindu akan air.
Mengenal dan mencintai sabda-Nya sangat penting. Sebab sabda Tuhan adalah kebenaran dan hidup. Pegangan kita. Maka saya sebagai seorang ibu, tidak ingin anak-anak saya memiliki nasib serupa dengan saya. Menjadi Katolik sejak lahir bahkan dibabtis ketika umur baru beberapa bulan, namun malang, hanya sedikit sabda Tuhan yang sampai ke telinga saya.
“Ibu, tadi di sekolah, Bu Guru Agama nanyain : Nabi Musa waktu bayi dibuang ke sungai mana? Nggak ada satupun temanku yang tau! Lalu aku bilang : Sungai Nil. Bu Guru nanya : kok kamu tau? Lalu aku bilang : kan Ibu saya udah ceritain ke saya.” Tutur anakku saat kelas 1 SD. Puji Tuhan. Saya memang menceritakan tokoh-tokoh Alkitab sebelum mereka tidur.
Ketika anak saya batita, di bawah tiga tahun, saya hanya memperlihatkan gambar-gambar sambil menceritakan sedikit intinya dengan kata-kata sendiri. Lalu mereka jadi mengenal tokoh hanya dengan melihat gambar. Kalau melihat orang dengan kapal besar dan banyak binatang, mereka jadi tahu,”Itu Nabi Nuh!”
Ketia anak saya balita, saat TK, saya mulai memperkenalkan tokoh dan peristiwa. Masih menggunakan gambar namun disertai narasi singkat dengan kata-kata yang mudah dipahami anak. Mereka mulai tahu, gambar malaikat dan gadis itu adalah Malaikat Gabriel dan Maria. Maria menerima kabar gembira dari Allah yang disampaikan Malaikat Gabriel. Dia akan mengandung dan melahirkan Yesus.
Ketika anak saya mulai masuk SD, sayapun mulai bertanya, “Dari tokoh Alkitab itu, apa yang bisa kita contoh, atau apa yang tidak boleh kita tiru?” Alkitab menguak kebenaran dan tidak menutupi kesalahan. Sangat jujur dan berimbang. Misalnya tentang Kain dan Habel. Yang layak ditiru adalah ketulusan Habel dalam memberikan persembahan pada Tuhan. Yang tidak boleh ditiru adalah sifat iri Kain pada adiknya.
Ketika anak saya mulai lancar membaca dan bisa paham apa yang dibaca, diapun membaca buku Alkitab untuk anak-anak. Kadang dia dengan bangga mengatakan,”Bu, aku udah sampai di Zakeus!” Lalu kamipun menggosipkan Zakeus. Misalnya, “Kok Zakeus mau ya memberikan hartanya buat orang miskin?” Anak sayapun nyeletuk,”Kan udah tobat.” O, iya, ya. Lalu lagu Zakeus Orang Pendek pun kami dendangkan. Lagu ini memudahkannya untuk mengenang peristiwa Zakeus.
Ketika anak saya makin besar, diapun mulai berkenalan dengan Alkitab yang diterjemahkan langsung dari aslinya. Alkitab dengan tanda panduan untuk tiap kitab adalah pilihan saya. Sehingga mudah mencari posisi suatu kitab. Anak sayapun mulai belajar cara membuka Alkitab. Misalnya mencari Injil Matius 5: 13-16. “Cari tanda MAT, buka, setelah itu temukan angka besar 5, baru kemudian angka kecil 13 sampaidengan 16.” Setelah ketemu, saya akan bertanya,”Apa judulnya?” Diapun menjawab,”Garam dunia dan terang dunia.” Hebat! Puji saya.
Lomba baca Alkitab BIA dan BIR, yang diadakan di Kapel Asri tanggal 6 dan 13 September 2009, oleh ibu-ibu WP, dalam rangka HUT Klara ke-11, juga bisa menambah rasa cinta anak-anak pada Sabda Tuhan. Merekapun punya pengalaman tampil di depan umat. Apalagi setelah selesai, ada tambahan dari Dewan Juri (Pak Ernest Maryanto) tentang tips menjadi lektor yang baik. Anak saya jadi ketagihan. “Adain lomba baca Alkitab di lingkungan dong, Bu.” Puji Tuhan.

Rabu, 09 September 2009

BLEWAH MELIMPAH!!! OLAH SECARA MURAH!!!

BLEWAH MELIMPAH
MAU DIBIKIN APA???

Oleh Rini Giri

Bulan Ramadhan seperti ini, di Bekasi dan sekitarnya kebanjiran buah blewah. Buah dengan kandungan air dan serat yang tinggi. Rasa dan wanginyapun khas. Harganya murah. Tapi jika dimakan begitu saja rasanya kurang pas, sebab kadar rasa manisnya minim. Nah, ini dia beberapa resep yang telah dicoba BU GIRI. Mengolah BLEWAH dengan MURAH.
Resep-resep ini tentu sangat cocok untuk buka puasa. Dan memang dipersembahkan secara khusus bagi saudara-saudari yang tengah menjalankan ibadah puasa. Tapi yang gak puasa juga boleh mencoba. Ditanggung dapat ciuman deh setelah menyuguhkan resep ini. Soalnya saya juga dicium melulu nih sama Lintang dan Justine, anak saya. Bapaknya juga malah ikutan!!!
Udah murah, mudah, bergizi, tanpa zat-zat tambahan yang tidak alami, dan tentu bisa membawa berkah bagi anda sekeluarga. SELAMAT BERBUKA PUASA!!!!

1. JUICE JINGGA (Untuk 10 porsi) Hanya dengan modal -/+ Rp. 5.000,000

Bahan : 1 buah blewah kecil Rp. 2.000,00 + 4 buah tomat yang sudah merah Rp. 2.000,00 + 3 gelas belimbing air masak + 6 sendok makan gula pasir/ selera.
Alat : Blender, gelas kaca transparan 10 buah, sedotan, irisan tomat
Cara : Blender tomat, 1,5 gelas air, dan 3 sendok makan gula pasir. Setelah halus tuang ke
gelas, masing2 separoh gelas saja. Blender blewah yang sudah dibuang biji dan kulitnya
dengan 1,5 gelas air dan 3 sendok makan gula pasir. Tuang ke atas jus tomat. Simpan di
lemari es paling tidak 1 jam. Hidangkan dengan sedotan dan irisan tomat di bibir gelas.


2. ES CAMPUR MERAH (untuk 6 porsi) Hanya dengan modal -/+ Rp. 7.500,00

Bahan : 1 buah blewah kecil Rp. 2.000,00 dikeruk. + ¼ kg tape singkong, potong dadu Rp. 1.500,00 + 1 botol kecil Fanta merah Rp. 2.500,00 + 1 mangkuk es batu hancur + 2 gelas air matang + 4 sendok makan gula pasir.
Alat : mangkuk kaca bening besar, sendok makan untuk mengeruk, pisau untuk potong tape,
centong sayur, 6 gelas kaca bening dan sendok juice berwarna.
Cara : Masukkan fanta dan gula ke mangkuk kaca, aduk hingga gula larut. Masukkan es batu
hancur ke mangkuk. Lalu blewah keruk, tape potong, dan air. Aduk pelan sehingga
tercampur tapi tidak hancur. Siap deh jadi koktail.

3. YELOW LAKE (untuk 8 porsi) Hanya dengan modal -/+ Rp 9.000,-

Bahan : 1 buah blewah kecil Rp. 2.000,00 + 1 bungkus agar-agar jely rasa melon Rp. 2.800,00 + susu kental manis putih 2 sacet Rp. 2.600,00 + es batu hancur + 3 gelas air matang + 5 sendok makan gula pasir.
Alat : blender, panci, sendok sayur, sendok makan, gelas, mangkuk besar.
Cara : Blender separuh blewah yang dibuang isi dan kulitnya beserta 2 sendok gula dan 1 gelas
air. Taruh di mangkuk bersama es batu hancur dan 1 gelas air. Agar2 yang sudah
dimasak dengan 3 sendok gula dan 1 gelas air didinginkan lantas dipotong dadu.
Masukkan ke adonan. Tuang separuh blewah yang dikeruk. Tuang 2 sacet susu kental.
Aduk pelan hingga campur tapi tidak hancur. Siap jadi koktail.


SELAMAT MENCOBA. TUHAN MEMBERKATI. BOLEH DICONTEK/DIJIPLAK/DIKLAIM. Justru menguntungkan para petani dan pedagang blewah!!!!

Kamis, 03 September 2009

TERIMAKASIHKU PADA TOLE (Yang membuat hatiku tidak miskin lagi)

TERIMAKASIHKU PADA TOLE
Oleh Rini Giri

Sore itu aku mendapat tugas untuk melakukan observasi ke panti asuhan bersama beberapa teman. Mudika Paroki akan menyelenggarakan bakti sosial. Dikota kami ada dua buah lembaga sosial semacam itu. Keduanya dikelola oleh yayasan-yayasan yang sudah mapan. Fasilitas fisik yang mereka miliki sangat bagus dan lengkap. Para donatur yang peduli pada keduanyapun sangat banyak. Bahkan ketika aku bertanya kapan kami bisa berkunjung, para petugas menyodorkan buku daftar calon tamu dan kami harus masuk dalam antrian. Kamipun pulang dengan perasaan bimbang. Keesokan harinya kami melaporkan hasil studi kelayakan itu dalam rapat panitia.
“Udah kaya masak masih akan disumbang? Lebih baik kita cari panti asuhan di luar kota yang benar-benar masih butuh bantuan. Jadi bantuan kita akan tepat sasaran.”
“Tapi ke luar kota kan biayanya juga besar? Daripada untuk ongkos transport lebih baik untuk tambahan sumbangan kan?” komentar yang lain.
“Eh, ngomong-omong, menyumbang itu kan nggak usah melihat kaya atau tidaknya sebuah yayasan sosial? Meskipun kelihatannya mapan, tapi kan mereka tetap butuh logistik dan dana untuk kehidupan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anaknya?” sanggah yang lain.
“Atau kita ganti saja deh bentuk kegiatannya!” Usul yang lain lagi.
Rapat pagi itu jadi buntu. Mau tetap menyumbang ke salah satu panti asuhan itu tapi takut tidak tepat sasaran. Mau menyumbang ke panti asuhan di luar kota tapi khawatir menghabiskan banyak biaya transportasi. Lantas bagaimana dong? Aku sebagai bendahara hanya diam saja. Tidak bisa memberi masukan maupun usulan. Ketua Mudika juga tidak bisa membuat keputusan. Bentuk kegiatan bakti sosial yang akan diadakan kembali mentah.
“Mar, ini ada dana yang baru masuk dari Lingkungan Yohanes Pemandi. Jumlahnya satu juta tigaratus ribu rupiah. Tolong diterima ya.” Bosko, anggota Seksi Penggalangan Dana menyodorkan sebuah amplop coklat padaku. Segera kubuka dan kuhitung uang titipan umat itu. Jumlahnya pas. Segera kubuatkan tanda terima dan amploppun aku masukkan ke dalam tas.
Siang itu aku pulang dengan menumpang mini bus. Bangku penuh dan aku terpaksa berdiri dengan beberapa penumpang lainnya. Di sebuah halte, bus berhenti dan beberapa penumpang naik. Seorang bocah pengamen juga naik dan mulai memainkan alat musiknya…cik…icik…icik…icik…Aku merogoh kantong jeansku dan hanya kutemukan koin gopek di sana. Dia mengangguk penuh hormat ketika koin itu kumasukkan ke dalam kantung permen bekasnya. Aku tersenyum.
“Awas, Mbak! Ada copet!” Tiba-tiba pengamen cilik itu berteriak. Aku terkejut dan segera menoleh. Tanganku sepontan meraba tas dan sebuah tangan kekar sudah memasukinya. Segera kutarik tangan itu sekuatnya. Amplop cokelat dari Bosko akhirnya jatuh ke lantai bus dan segera kuraih. Si empunya tangan sudah keburu turun ketika bus berhenti. Amplop itu kumasukkan lagi ke dalam tas dan kudekap erat.
“Makasih ya, Dik.”
“Sama-sama, Mbak.” Anak laki-laki itu tersenyum bangga. Kami menjadi pusat perhatian para penumpang. “Lain kali hati-hati!” ujarnya, lantas bergegas turun ketika bus berhenti lagi untuk menaikkan penumpang. Buru-buru aku mengikutinya.
“Tunggu!” Anak itu menoleh. “Sekali lagi terimakasih ya.” Dia mengangguk. Segera kubuka dompetku dan kutemukan selembar uang ungu di dalamnya. “Ini untuk kamu. Terimalah, sebagai ucapan terimakasih.” Anak itu menatapku sejenak lantas menggeleng. Aku sedikit memaksanya untuk menerima tapi dia tetap tidak mau.
“Emak saya bilang, kalau menolong orang harus tulus. Nggak boleh pamprih. Saya takut kena marah Emak ah.”
“Ya sudah. Kalau begitu, mau ikut aku sebentar nggak?” Aku mengajaknya ke sebuah warung dan membeli beberapa bungkus biskuit. “Ini oleh-oleh buat Emakmu yang sangat bijaksana itu.” Kusodorkan tas plastik itu padanya. Dia menggeleng.
“Mbak aja deh yang kasih sendiri. Nanti Emak mengira saya nyolong.” Aku tersenyum. Lantas akupun mengikuti langkahnya menuju sebuah perkampungan di bawah jembatan tidak jauh dari tempat itu. Kamipun berkenalan. Anak itu bernama Tole. Perkampungan itu terbentang di sepanjang pinggir kali. Rumah-rumah kecil terbuat dari papan-papan kayu bekas dan tambalan kardus disana-sini.
“Kamu pemberani ya?”
“Yang mau nyopet Mbak Maria tadi cuma mahasiswa kurang uang, jadi penakut! Kalau yang nyopet preman daerah sini, mana saya berani, Mbak. Bisa digorok saya!”
Anak-anak telanjang dengan perut membusung berlari-larian di jalan setapak yang kami lalui. Bau kurang sedap merayapi hidungku. Beberapa perempuan duduk-duduk di depan pintu sambil mencari kutu. Seorang anak balita menangis di dekat jemuran dan lalat mengerumuninya. Aku bergidik. Tidak pernah terpikirkan olehku ternyata di salah satu sudut kota kelahiranku ini ada sebuah pemukiman seperti ini.
Emak Si Tole menyambutku dengan ramah di rumah gubuknya. Adik-adik Tole sangat senang menerima oleh-olehku. Emak Si Tole mengasuh empat anak yang semuanya ternyata bukan anaknya sendiri. Panti asuhan mini yang menyedihkan.
“Si Tole Ibunya sudah mati. Si Tika dulu dibuang di pinggir kali situ. Si Tini anak perempuan jalang yang nggak terawat. Si Tikno dititipkan di sini karena Ibunya masuk bui. Padahal saya ini cuma buruh cuci harian.” Tutur Sang Emak dengan air mata berlinang. Anak-anak di kampung itu kurang gizi, kurang diperhatikan kesehatan dan kebersihannya, serta tidak sekolah. Mereka sangat memprihatinkan.
Akhir bulan, Mudika menggelar pasar murah di kampung itu setelah minta ijin dari pengurus RT dan RW setempat. Beras, susu, terigu, minyak goreng, gula, sabun cuci, peralatan mandi, vitamin anak-anak, dan obat-obatan, yang kami beli dengan dana yang telah terkumpulkan, kami jual dengan harga sangat murah. Sepersepuluh dari harga sesungguhnya. Dengan membeli, harga diri warga kampung itu tetap terjunjung tinggi. Mereka tidak akan merasa diperlakukan sebagai penerima barang gratisan yang harus dikasihani seperti pengemis. Mereka lebih bangga jika bisa membeli di pasar murah daripada hanya menengadahkan tangan menerima barang sumbangan. Dengan membeli, mereka merasakan kesamaan derajat dengan si penjual. Kami bisa menjalin persaudaraan.
Mudika juga merencanakan sebuah program pendampingan belajar bagi anak-anak. Tole dan adik-adiknya tidak punya kesempatan untuk bersekolah karena tidak ada uang. Padahal mereka juga ingin bisa membaca dan berhitung seperti anak-anak lainnya.
Aku sangat bersyukur karena usulanku untuk mengadakan bakti sosial di kampung itu direalisasikan oleh Mudika. (Bekasi Utara, 2007)

Rabu, 02 September 2009

KEMBAR TAPI BEDA (Buat Ayu dan Ade juga buat Atala dan Atila)

KEMBAR TAPI BEDA
Oleh Rini Giri



Namaku Lintang. Aku dan Tawang anak perempuan kembar. Wajah dan gaya kami sama persis. Hanya ayah, ibu, dan pengasuh kami saja yang bisa membedakan. Orang lain sering keliru saat memanggil nama kami. Bahkan saudara dekat, guru, dan teman-teman sering keliru.
Sejak masih bayi hingga sekarang, ibu selalu mendandani kami seragam. Potongan rambut, baju, tas, sepatu, dan segala macam asesoris lainnya selalu sama. Warnanyapun sama. Itu membuat kami seperti pinang dibelah dua. Orang lain jadi sulit membedakan kami. Apalagi tidak ada tanda lahir, bekas luka, atau tahi lalat yang bisa dijadikan tanda.
Nama kami memang agak aneh. Biasanya anak kembar diberi nama hampir sama. Misalnya Dina dan Dini, Nina dan Nani, atau Rina dan Rini. Kata ayahku, nama kami diambil dari kosa kata Bahasa Jawa. Lintang artinya bintang. Tawang artinya cakrawala. Bintang selalu terlihat di cakrawala. Mereka selalu bersama dan bersatu. Bintang dan cakrawala tak akan pernah terpisahkan. Begitu juga harapan orang tuaku. Mereka ingin kami selalu rukun dan bersama dalam suka dan duka.
Tapi bagiku, menjadi anak kembar itu banyak dukanya. Tawang suka memanfaatkan kesamaan fisik kami. Kebetulan kami beda kelas. Tawang paling tidak suka pelajaran matematika. Setiap kali ulangan, dia selalu memintaku untuk bertukar tempat. Dia tidak ingin mendapat nilai jelek. Begitulah, aku pura-pura jadi Tawang. Tawang pura-pura jadi aku. Selama ini tidak ada yang curiga.
Pada lebaran tahun lalu, kami sekeluarga pulang ke rumah nenek. Nenek membagi-bagikan uang kepada cucu-cucunya. Waktu itu aku sedang bermain di kebun, sehingga tidak tahu. Nenek memberi uang lebih dulu kepada Tawang. Tawangpun disuruh memanggil aku. Tapi rupanya Tawang hanya pura-pura memanggilku. Dia datang lagi pada nenek dan mengaku bernama Lintang. Akhirnya dia mendapatkan dua amplop sekaligus. Aku cuma gigit jari. Aku benar-benar jengkel padanya.
“Aku tidak mau lagi, Ta. Kamu selalu curang! Lagipula nanti kalau Bu Guru tahu, kita bisa kena hukuman.” Aku berusaha menolak saat Tawang menyuruhku ikut ulangan matematika di kelasnya. Dulu, aku memang mau menggantikannya karena merasa kasihan. Aku tidak mau dipuji karena mendapat nilai bagus sementara saudaraku dimarahi karena nilainya jelek. Tapi lama-kelamaan aku menyadari bahwa perbuatan itu salah. Aku kesal karena Tawang selalu tergantung padaku. Akupun ketinggalan banyak pelajaran di kelasku.
“Tolong deh, Lin. Sekali lagi saja. Besok-besok enggak lagi kok.” Tawang berusaha merayu dengan wajah memelas. “Masa sih kamu tega kalau aku dapat nilai jelek? Kan malu, Lin.” Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Tapi aku benar-benar sudah bosan dengan itu semua.
“Aku tidak mau! Titik! Kamu harus berusaha sendiri, Ta!” Bentakku keras. Muka saudaraku jadi pucat seketika. Dia menangis.
“Kamu jahat, Lin! Kamu Jahat!” Katanya sambil berlari meninggalkanku. Dia marah dan sakit hati. Sejak saat itu kekompakan kami sebagai saudara kembar seolah-olah hilang.
Aku benar-benar kesal. Ayah dan ibu selalu memperlakukan kami dengan cara yang sama. Gara-gara Tawang suka menyanyi, akupun harus ikut les vokal bersamanya. Padahal aku tidak suka menyanyi. Aku ingin punya sepeda, maka ayah membelikan dua sepeda yang sama persis untuk kami. Semua makanan dan benda-benda yang kami miliki selalu sama. Bahkan nilai ulangan matematikapun harus sama. Sungguh menyebalkan! Padahal aku punya keinginan dan selera sendiri.
Ayahku berkata, semua itu dilakukan supaya kami selalu kompak. Tidak saling iri. Begitulah selayaknya menjadi anak kembar. Tapi ternyata, sama rata dan sama rasa itu malah membuat kami bertengkar. Orang lain juga tidak bisa membedakan kami dengan baik. Selalu salah memanggil. Itu benar-benar menjengkelkan.
Minggu sore yang cerah, ayah dan ibu mengajak kami jalan-jalan ke pertokoan. Kami ingin membeli baju. Aku bersemangat sekali. Kubayangkan sebuah celana jeans dengan bordir bunga dan blus pink dengan pita-pita akan menjadi milikku.
“Bu, aku mau jeans dan blus pink ya.” Pintaku.
“Ya, lihat saja nanti. Ibu akan cari yang cocok untuk kalian.” Jawab ibuku. Ibu terus memilih baju untuk kami. Aku dan Tawang sibuk dengan pilihan masing-masing. Tak lama kemudian ibu memanggil. Dua potong baju yang sama persis diperlihatkan pada kami.
“Tidak mau!” Teriak kami bersamaan. Muka kami cemberut. “Aku maunya yang ini!” Kataku sambil menunjuk pilihanku. Tawang pun demikian. Ibu kebingungan dengan sikap kami.
“Ada apa dengan kalian? Biasanya kalian selalu memilih baju yang kembar kan?”
“Tapi sekarang tidak, Bu. Aku mau yang ini.” Jawabku ngotot. Ibu semakin bingung. Segala bujuk rayunya tidak mempan lagi.
Ibu tidak ingin kami ribut di toko baju itu. Dia mengabulkan keinginan kami memilih baju yang beda. Setelah itu ayah dan ibu mengajak kami makan di gerai bakso agar kami bisa ngobrol.
“Ada apa sebenarnya? Tidak biasanya kalian seperti ini?” tanya ayah. Kuceritakan semua kepada ayah dan ibu. Aku benar-benar ingin berbeda dari Tawang. Dengan begitu orang akan bisa mengenali kami satu persatu dengan baik. Tawang juga tidak akan bisa memanfaatkanku lagi demi nilai matematika yang sama. Ayah dan ibuku terkejut mendengarnya.
“Selama ini ayah dan ibu sama sekali tidak menyangka kalau perlakuan sama ternyata justru memecah belah kalian.” Ayah menyesal.
“Benar. Sekarang kalian sudah besar. Selama sepuluh tahun ini, kalian diam saja diperlakukan secara sama, karena kalian masih kecil. Mulai sekarang kalian boleh menentukan keinginan kalian sendiri. Tidak harus selalu seragam meskipun kalian anak kembar. Kalian adalah dua orang yang berbeda.” Ibu juga menyesal.
“Tawang, mulai sekarang kamu harus berusaha sendiri. Nilai matematika anak kembar kan tidak harus sama. Kemampuan kalian kan berbeda.” Nasihat ayahku. Tawang kelihatan lega.
“Nah, sekarang kalian harus baikan lagi. Ayo salaman!” Ibu meraih tangan kami agar bersalaman. Aku dan Tawang saling pandang dan tersenyum. Kamipun bersalaman.
“Ayah senang anak-anak ayah sudah akur lagi.”
“Kalian harus tetap kompak sebagai anak kembar. Kompak bukan berarti harus selalu berpenampilan sama. Juga bukan berarti bisa saling tukar tempat saat ulangan. Bohong itu dosa lho.” Ibu membelai rambut kami.
Aku senang sekali, ayah dan ibu mau mengerti aku. Aku berjanji akan selalu membantu Tawang belajar menjelang ulangan matematika. Bukankah itu kompak yang baik? Dia juga menyesal telah berbuat curang. (Bekasi Utara, Mei 2008)

Selasa, 01 September 2009

KISAH PIRING DAN GELAS (Untuk Lintang dan Justine, rukun selalu)

Siang itu Gelas dan Sendok diambil dari rak. Mereka mendapat tugas untuk membuat es sirup. Gelas membuka mulutnya lebar-lebar agar es dan sirup bisa masuk ke dalam perutnya.
“Buka mulutmu lebar-lebar, Gelas! Aku akan menuang air ke dalam perutmu!” Teriak Pak Teko. Airpun segera mengucur dari corong Pak Teko. “Nah, sekarang giliranmu mengaduk, Sendok!” Ujar Pak Teko lagi. Dengan cekatan Si Sendok menceburkan kepalanya ke dalam perut Si Gelas dan mengaduk ramuan minuman itu. Setelah rasa manisnya merata, diapun melompat keluar. Bu Nampan segera memanggil Gelas agar buru-buru melompat ke atas punggungnya. Bu Nampan dan Gelas pun dibawa ke ruang tamu.
“Silakan diminum.” Ujar Bu Sanusi kepada tamu. Tamu pun segera meneguk minuman segar itu dan tersenyum senang. Cuaca panas begini memang paling cocok minum es sirup. Bu Nampan dan Gelas tersenyum bangga, karena bisa melayani tamu dengan baik.
Begitulah keluarga alat-alat dapur saling bekerjasama setiap hari. Gelas, Sendok, Garpu, Pak Teko, Bu Nampan, Paman Piring, Tante Mangkuk, dan tetangga-tetangga mereka lainnya, hidup rukun dan saling membantu. Masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri.
“Wuih, segarnya!” Ujar Gelas ketika mereka sedang mandi di bawah kran dapur. Wangi lemon dari sabun pencuci piring melekat di tubuh mereka. Busa yang digosokkan menghasilkan kilau yang memukau.
“Wah, wajahmu jadi bening sekali, Gelas.” Puji Sendok.
“Terimakasih. Wajahmu juga bercahaya.” Ujar Gelas. Sendok tersipu-sipu.
“Hai, Anak-anak! Terimakasih atas kerjasamanya ya!” Teriak Bu Nampan yang sudah tampak cantik dan bersih.
“Sama-sama!” Kata mereka serentak.
Malam Minggu ini, keluarga Bu Sanusi menyelenggarakan syukuran. Anaknya yang kuliah di luar kota sudah lulus. Maka Bu Sanusi mengadakan pesta sederhana dan mengundang kerabat dekat.
Gelas tampil sangat cantik. Minuman warna-warni membuat badannya terlihat menarik. Potongan buah strawberry yang ditancapkan di kepalanya sangat menawan. Belum lagi sebuah sedotan warna cerah yang disandarkan di mulutnya. Menambah keelokan wajahnya. Para tamu memuji kehebatan Bu Sanusi menghias gelas minuman. Gelas yang mendengar pujian itu, jadi besar kepala.
Paman Piring dan Tante Mangkuk juga tampil manis. Piring dihias dengan guntingan daun pisang sedangkan mangkuk dihias dengan selembar serbet makan yang diikat dengan pita. Wah, anggun sekali mereka.
Di dapur, Pak Teko dan Bu Nampan tidak kalah keren. Tangkai Pak Teko diberi pita kupu-kupu warna merah muda, sedangkan punggung Bu Nampan dihias dengan selembar kain berenda warna serupa. Mereka sangat serasi dan siap melayani para tamu.
Hei, dimana Sendok dan Garpu? Oh, itu dia! Mereka sudah siap di samping kanan dan kiri Paman Piring. Tapi kenapa mereka tampak murung? Bukankah ini pesta? Seharusnya mereka ikut bergembira seperti yang lain.
“Hei, Paman Piring! Lihatlah dandananku malam ini, hebat bukan?” Gelas memamerkan dandanannya. Dia merasa paling keren malam itu. “Akulah yang diberi hiasan paling lengkap! Lihat dirimu, masa sih cuma diberi sepotong daun pisang! Ih, kuno!Pastilah Bu Sanusi menganggap aku sebagai alat makan paling penting, sehingga aku diberi hiasan paling mewah!” Piring mencibir mendengar kesombongan Gelas.
“Hei, Gelas! Kamu jangan merasa paling jago deh! Tentu, akulah yang paling hebat. Sebab tamu akan menggunakanku untuk menyantap hidangan utama. Sedangkan kamu kan cuma tempat minuman! Tampilnya belakangan!” Balas Piring. Tante Mangkuk pun ikut-ikutan membela Paman Piring.
Sendok dan Garpu menjadi iri pada teman-temannya, karena mereka berdua tidak dihias. Mereka jadi kesal pada Bu Sanusi. “Bu Sanusi benar-benar tidak adil!” Gerutu mereka.
Malam itu, Sendok, Garpu, Paman Piring, Gelas, dan Tante Mangkuk tidak bisa bekerjasama dengan baik. Gelas merasa paling cantik, Piring dan Mangkuk merasa paling penting, sedangkan Sendok dan Garpu marah karena tidak diperhatikan Bu Sanusi. Akhirnya, pesta malam itu sedikit kacau. Ada minuman tumpah, nasi berhamburan, dan sendok jatuh.
Sejak kejadian malam itu, Gelas, Sendok, dan Piring menjadi tidak akur. Mereka saling mencurigai dan tidak mau diajak bekerjasama. Gelas bermain dengan sesama gelas saja. Piring hanya ngobrol dengan Mangkuk. Sedangkan Sendok hanya berkumpul dengan Garpu. Kehidupan di rak dapur yang semula tenang dan damai berubah menjadi kacau. Antar tetangga saling membenci, mencurigai, dan bermusuhan.
“Sebenarnya ada apa ini?” Tanya Pak Teko prihatin. Dia sudah tidak bisa membuat minuman segar lagi gara-gara Gelas dan Sendok tidak mau bertegur sapa.
“Gelas sekarang jadi sombong, Pak Teko! Dia merasa dirinya paling bagus! Menurutnya, dialah alat makan yang paling penting.” Ujar Piring.
“Si Piring itu yang merasa dirinya paling berguna. Padahal orang juga bisa makan pakai daun atau kardus!” Balas Si Gelas.
“Huh! Kalian memang suka pamer! Coba bayangkan kalau di pesta kemarin tidak ada sendok dan garpu! Orang mau makan pakai apa? Pakai tangan? Ya enggak lah ya! Sendok dan Garpu tiada duanya!” Timpal Sendok. Dia masih jengkel dengan ketidakadilan Bu Sanusi.
“Sudah-sudah, jangan bertengkar! Kalian semua benar! Gelas alat makan yang penting, Piring alat makan yang harus ada, dan Sendok juga alat makan yang tak kalah pentingnya. Kalian semua sama pentingnya! Kalian punya tugas masing-masing. Piring menjadi tempat makanan, Sendok alat untuk menyuap makanan, dan Gelas menjadi tempat minuman. Semuanya berguna dan harus saling membantu.” Nasihat Bu Nampan.
“Benar, Anak-anak. Kalian semua adalah satu tim. Meskipun berbeda-beda tapi harus bersatu untuk mencapai satu tujuan. Pesta kemarin menjadi sedikit kacau karena kalian tidak mau bersatu dan saling mencurigai. Yang dihias paling menarik bukan berarti yang paling penting. Yang tidak dihias bukan berarti tidak penting. Masing-masing punya peran sendiri-sendiri. Bayangkan jika Gelas dan Piring tampil apa adanya, tentu tamu tidak akan tertarik. Juga seandainya sendok dihias, tentunya malah akan kerepotan dalam menjalankan tugas.” Tutur Pak Teko.
Gelas, Piring, dan Sendok saling berpandangan. Bu Nampan dan Pak Teko benar. Perbedaan bentuk, penampilan, tugas, dan pendapat bukan alasan untuk tidak bersatu. Justru karena mereka berbeda, maka bisa saling melengkapi dan bekerjasama. Bayangkan jika piring hanya bekerjasama dengan piring saja, atau sendok dengan sendok saja, tentulah orang kesulitan saat makan. Akhirnya mereka bermaaf-maafan dan berjanji akan kembali kompak di meja makan dalam acara makan malam nanti.